Nationalgeographic.co.id–Setelah Yeh Pikat, destinasi kedua kami di Desa Taro adalah Objek Wisata Lembu Putih. Ini adalah tempat konservasi sapi yang terlahir albino sehingga kulitnya berwarna putih pucat. Total ada 56 lembu putih dan keturunannya yang dipelihara dan dirawat di kawasan konservasi ini.
Lembu putih merupakan hewan langka yang sangat disakralkan oleh masyarakat Desa Taro di Kabupaten Gianyar, Bali. Lembu putih ini disucikan oleh masyarakat setempat karena diyakini merupakan penjelmaan dari Nandini, lembu kendaraan Dewa Siwa.
Keberadaan lembu putih ini menjadi sakral karena sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan kegiatan-kegiatan upaca besar seperti mepada, melasti, Panca Wali Krama, dan lain sebagainya. Desa Taro merupakan satu-satunya desa di Bali yang memiliki kawasan konservasi khusus lembu putih. Banyak desa lain di Bali yang kerap meminjam lembu putih dari Desa Taro saat hendak mengatakan upacara agama atau upacara adat.
Tidak hanya sosok lembu putih yang disakralkan, beberapa unsur hewan ini seperti kotoran, urine, susu, dan air matanya sangat dipentingkan sebagai sarana upacara maupun terapi pengobatan herbal/nonmedis. Keberadaan lembu putih ini terkait erat dengan kedatangan Ida Maha Rsi Markandeya ke Bali pada abad ke-8 Masehi.
Rsi Markandeya adalah tokoh pemuka agama Hindu dari India yang melakukan perjalanan ke Bali lewat Jawa Timur. Rsi Markandeya diyakini membawa lembu putih ke Desa Taro sehingga sapi-sapi albino ini kemudian ditemukan hidup dan berkembang biak di Pulau Dewata hingga saat ini.
Di Objek Wisata Lembu Putih, populasi sapi albino dilestarikan agar tidak punah sekaligus juga dijaga jumlahnya agar tidak membludak atau mengalami ledakan populasi. Sebab, bagaimanapun, peternakan sapi, bahkan sekadar sendawa sapi, juga ikut menyumbang menghasilkan gas rumah kaca yang bisa meningkatkan efek rumah kaca di atmosfer bumi.
Wakil Ketua Pengelola Objek Wisata Lembu Putih, I Made Neteg, mengatakan bahwa biaya operasional untuk mengelola kawasan konservasi lembu putih telah mencapai Rp40 juta per bulan. Biaya pengelolaannya ditangani oleh Yayasan Lembu Putih yang dibentuk oleh Lembaga Desa Adat Taro.
Menurutnya, jumlah maksimal lembu putih yang bisa dipelihara di kawasan konservasi ini berdasarkan daya dukung biaya yang dimiliki yayasan adalah "maksimal angka 60" ekor. Upaya menekan laju reproduksi sapi albino ini telah dilakukan antara lain dengan mengikat para pejantannya agar tidak kawin dengan betina. Namun ajaibnya, "tetap ada yang hamil, padahal yang jantan semuanya terikat," ujar Neteg.
Neteg juga punya cerita ajaib lain menyangkut kehidupannya. Pria berusia 47 tahun itu mengaku telah menjadi sukarelawan pengurus Objek Wisata Lembu Putih sejak tahun 2017. Sebagai sukarelawan, Neteg tidak digaji sepeser pun selama menjadi pengurus kawasan konservasi lembu putih ini. Baginya ini adalah bentuk pengabdiannya terhadap kepentingan agama dan adat.
Balasan dari pengabdian ini adalah berkah, begitulah yang Neteg yakini. Neteg punya pekerjaan tetap lain di luar kegiatannya di kawasan konservasi lembu putih ini. Secara spiritual, dia meyakini bahwa dengan menjadi sukarelawan pengelola kawasan konservasi lembu putih, dirinya dan keluarganya akan mendapat kecukupan dari pekerjaan tetap lainnya itu.
Bahkan, Neteg akhirnya merasa mendapatkan bonus "kelengkapan keluarga" sebagai berkah dari pengabdiannya. Dia membeberkan bahwa anak pertama dan keduanya yang lahir pada tahun 2001 dan 2008 adalah perempuan. Lalu, pada 2019, dua tahun setelah mengabdi di kawasan konservasi lembu putih ini, Neteg dan istri mendapatkan anak ketiga yang ternyata laki-laki.
"Mungkin itu sebagai berkah pelengkap keluarga," ucap Neteg lagi. "Kalau di Bali kan harus ada cowok." Maksudnya, secara adat, setiap keluarga di Bali biasanya sangat berharap bisa memiliki anak laki-laki karena dianggap sebagai penerus keluarga.
Keberadaan sapi-sapi albino ini tidak hanya penting bagi spiritual masyarakat adat Desa Taro, tetapi juga bagi lingkungan karena kotoran mamalia tersebut bisa diolah menjadi pupuk kompos untuk lahan perkebunan dan pertanian warga setempat. Penggunaan pupuk organik ini tentu lebih ramah lingkungan ketimbang pupuk kimia.
Delodsema Village dan Semara Ratih
Destinasi ketiga kami di Desa Taro adalah Semara Ratih. Ini adalah kawasan konservasi hutan bambu dengan sungai yang memiliki tepat melukat yang disebut sebagai Semara Ratih.
Untuk bisa pergi ke kawasan Semara Ratih kami harus melewati Delodsema Village, kawasan rumah-rumah warga bergaya arsitektur khas Bali yang rapi dan cocok buat tempat selfie-selfie. Jalanan dan fasad bagunan-bagunan di Delodsema Village ini mirip dengan suasana permukiman khas Bali yang ada di Desa Penglipuran.
Di Delodsema Village juga terdapat beberapa rumah yang menjadi sentra kerajinan perak. Para pengunjung bisa mencoba membuat kerajinan dari perak, bambu, ataupun tanah liat dan kemudian membawa hasil karya tangan mereka sendiri itu.
Di Desa Taro juga ada tempat kursus memasak makanan khas Bali. Program cooking class ini banyak diminati oleh wisatawan mancanegara dan omzetnya mencapai miliaran rupiah per tahun.
Adapun kawasan Semara Ratih yang jenama dari kawasan hutan bambu yang kami datangi sebenarnya merujuk pada tempat pengelukatan khusus berupa pancuran dua mata air yang bertemu dengan arah berlawanan. Pertemuan dua mata air ini diyakini sebagai penyatuan energi cinta dan kasih sayang. Energi dari Dewa Semara sebagai dewa asmara dan Dewa Ratih sebagai dewi kasih sayang.
Konon, pertemuan dua mata air ini dipercaya mampu memberikan vibrasi kedamaian, kerukunan, serta kesejukan batin. Tempat pembersihan diri secara alami ini dapat kita temukan di banyak lokasi lain di Desa Taro. Salah satunya di Yeh Pikat, seperti yang telah saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya.
Di kawasan konservasi hutan bambu Semara Ratih ini juga ada kafe yang di pinggir tebing. Kami ini dibangun seperti menggantung. Jadi para pengunjung dapat menikmati makanan dan minuman di kafe sambil berfoto ria dari ketinggian dengan berlatar pemandangan hutan bambu.
Hutan bambu ini dijadikan kawasan konservasi oleh Lembaga Adat Desa Taro karena keberadaan pohon bambu dinilai sangat penting bagi kehidupan masyarakat, Elemen-elemen bambu biasa digunakan dalam acara upacara agama atau upacara adat. Batang bambu juga menjadi sumber penghasilan warga yang hidup dari kegiatan membuat kerajinan bambu.
Selain itu, akar pohon bambu juga berfungsi sebagai pengikat tanah tebing yang miring agar terhindar dari erosi dan longsor. Jadi pohon bambu sangat penting untuk dilestarikan di Desa Taro ini dan sebaiknya juga dilestarikan di daerah lainnya di Indonesia.
Kegiatan konservasi yang bertahan selama berabad-abad inilah yang membuat Desa Taro seolah memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk upacara adat. Misalnya lembu putih dan batang bambu nan melimpah.
Oleh karena itulah banyak warga desa lain, dengan keyakinan mereka, kerap mencari banyak hal di Desa Taro. Sebab desa ini dikenal juga sebagai tempat di mana segala keinginan akan terkabul.
Bahkan dahulu desa ini sempat diberi nama Bhumi Sarwa Ada yang berarti bumi serba ada. Sebab, desa ini memiliki kekayaan alam melimpah, flora dan fauna yang beragam yang kerap tak ada di desa lain.
Julukan lain yang juga masih melekat pada desa ini adalah Pusering Jagat yang berarti pusat semesta atau pusat dunia. Ini karena lokasi Desa Taro yang berada di tengah-tengah Pulau Bali dan kemudian diartikan di tengah-tengah semesta atau di tengah dunia.
Desa Taro juga menjadi pusat peradaban Pulau Dewata. Di wilayah inilah pura pertama dan desa adat pertama di Bali dibangun. Sistem subak di Bali juga diyakini berasal dari desa ini.
Desa Eco-Spiritual
Desa Taro perlahan mulai dikenal banyak orang di Indonesia bahkan dunia sebagai desa wisata yang kuat dengan aspek ekologi dan spiritual. Ini desa wisata eco-spiritual.
Banyak cerita terkait spiritual yang terjadi di desa ini. Salah satunya yang saya dengar dari Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Taro, I Wayan Gede Ardika.
Suatu malam Ardika bercerita kepada saya bahwa ayahnya adalah seorang jero mangku atau pemuka adat sekaligus pemimpin agama di Desa Taro. Terpilihnya sang ayah menjadi jero mangku adalah berdasarkan wahyu yang sifatnya spiritual.
Awalnya, sang ayah yang bekerja sebagai kontraktor di Denpasar, menolak penunjukan dirinya sebagai jero mangku di Desa Taro. Seorang jero mangku memiliki tugas yang sangat penting di dalam masyarakat sebagai penuntun sekaligus penghubung umat dengan Sang Pencipta. Jadi, dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan di Desa Taro pasti menghadirkan seorang pemangku sebagai pemimpin upacara.
Seorang jero mangku harus siap sedia selama 24 jam di rumahnya, menerima setiap tamu atau masyarakat yang datang. Dia harus siap melayani kebutuhan masyarakat yang hendak melakukan upacara keagamaan. Dia juga tidak boleh pergi keluar desa.
Tentu dengan jabatan atau tugas ini, sang ayah merasa hidupnya akan terkekang tak bisa lagi mencari penghasilan sebagai kontraktor yang harus memiliki mobilitas tinggi. Ardika menceritakan bahwa penghasilan ayahnya selama menjadi kontraktor sangat besar, tetapi karena gaya hidup dan pergaulan yang buruk seolah tak ada uang yang terkumpul untuk keluarga.
Justru setelah akhirnya sang ayah menerima tugas menjadi jero mangku, dia jadi tak bergaul ke luar desa dan gaya hidupnya membaik. Dia jadi lebih bisa berfokus berkegiatan di rumah dan di kebun dekat rumah. Seolah mendapat berkah, sang ayah justru kemudian jadi bisa mengumpulkan penghasilan lebih layak dari hasil berkebun dan lainnya, serta menabung untuk kebutuhan keluarga. "Karena sudah tidak ke mana-mana, jadi tidak ada pengeluaran boros lagi, kan?" ujar Ardika.
Hal mistis yang pernah dialami sang ayah saat masih menolak tugas ditunjuk menjadi jero mangku adalah mobil sang ayah pernah jatuh masuk jurang hingga rusak parah. Ajaibnya, sang ayah bisa selamat dan masih hidup hingga sekaran.
Selain itu, suatu ketika sang ayah pernah mengendarai mobil. Lalu salah satu roda mobilnya tiba-tiba terlepas dan menggelinding sendiri ke depan. Jadi mobil itu sempat bergerak dengan hanya tiga roda sebelumnya akhirnya ambruk dan berhenti.
Kejadian-kejadian ajaib itu membuat sang ayah berpikir dan merenung. Hingga pada akhirnya dia menerima penunjukkan dirinya sebagai jero mangku di desa adat tertua di Bali ini.
Jero Mangku Gede Ketut Telaga selama bertahun-tahun telah bertugas melayani seluruh umat yang tangkil dan melakukan persembahyangan di Pura Agung Gunung Raung, termasuk upacara-upacara yang diselenggarakan di pura atau merajan lainnya. Di rumah keluarganya ini terdapat dua kamar tamu yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana akomodasi pengunjung maupun wisatawan.
Pada awalnya, kedua kamar ini dihuni keluarga. Namun karena ada banyak pemedek (penangkilan) dari luar pulau Bali maupun dari Bali sendiri yang ingin bermalam di Desa Taro saat mereka melakukan persembahyangan di Pura Agung Gunung Raung, kamar tersebut dijadikan sebagai Guest House.
Rumah Jero Mangku Gede House menggunakan konsep rumah tradisional Bali yang dipadukan dengan unsur klasik dengan corak Majapahit. Penataan kebun yang sangat rapi namun simpel di sekeliling rumah, membuat suasana rumah menjadi rindang. Rumah yang mungil, tetapi tetap memiliki kesan royal.
Yang paling menarik di Desa Taro, peraturan adat yang menjunjung tinggi kepentingan agama dan adat selama berabad-abad terbukti membantu melindungi lingkungan dan masyarakat setempat dari berbagai ancaman dan perubahan destruktif. Peraturan adat menegaskan bahwa tanah adat tidak boleh dijual, bahkan disewakan.
Oleh karena itu saat ada warga negara asing hendak membeli tanah untuk dijadikan tempat wisata gajah, Lembaga Adat Desa Taro menolak menjualnya. Mereka akhirnya membuat kerja sama dan perjanjian bagi hasil atas penggunaan tanah adat itu.
Kini Mason Elephant Park & Lodge telah berdiri dan beroperasi di wilayah Desa Taro. Pengunjungnya melimpah. Dari kegiatan objek wisata premium itu, Lembaga Adat Desa Taro mendapatkan bagi hasil keuntungan ratusan juta rupiah per bulan. "Bahkan di November dan Desember tahun lalu, kita mendapat bagi hasil Rp500 juta per bulannya," ujar Ardika.
Tanah adat tidak hilang. Keuntungan bagi hasil yang didapat bisa dipakai untuk kepentingan masyarakat adat, termasuk membantu biaya operasional konservasi lembu putih dan pembangunan sarana-prasarana lainnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR