Pengelolaan Sampah Mandiri
Secara ragam destinasi, Desa Taro mampu menawarkan paket kegiatan wisata cukup lengkap, mencakup aspek lingkungan, alam, budaya, agama, dan edukasi. Desa wisata ini punya beragam bentang alam yang terus dijaga kelestarian dan keasriannya karena peraturan adat yang melekat padanya.
Di desa ini kita bisa melakukan trekking santai di sungai ataupun di padang rumput luas yang bagai sabana. Ada juga jalur bersepeda yang melewati hutan. Ada tempat konservasi kunang-kunang, lembu putih, hingga lebah madu. Yang juga salah satu keunggulan desa peraih penghargaan Kalpataru ini adalah keberadaan objek-objek wisata edukasi. Salah satunya lokasi pengelolaan sampah mandiri desa.
Melalui peraturan adat berwujud awig-awig dan pararem, Desa Taro telah mengatur setiap warganya agar melakukan pemilahan sampah mandiri di rumah-rumah mereka. Sanksi dari pelanggaran peraturan ini adalah sanksi adat yang membuat malu secara sosial.
Sampah yang telah dipilah di masing-masing rumah kemudian diangkut pengelola ke tempat pengolahan sampah. Sampah organik dijadikan pupuk organik. Sampah anorganik yang bisa didaur ulang kemudian dikumpulkan untuk dijual. Adapun sisanya, sampah residu, baru dibuang ke tempat pembuangan akhir milih pemerintah daerah.
Peraturan adat yang kuat juga membuat tingkat pemerkosaan atau hamil di luar nikah di Desa Taro menjadi sangat kecil, nyaris tidak ada. Sebab, menurut penuturan Ardika, orang yang melanggarnya akan dikenai sanksi adat berupa pengadaan upacara adat yang besar dan mahal. Bisa menguras harta kekayaan keluarga, bahkan membuatnya bangkrut.
Kita tahu belaka bahwa hukuman paling menakutkan bagi para koruptor kelas kakap nasional pun adalah dimiskinkan atau dibangkrutkan. Orang-orang lebih takut dirinya dan keluarganya menjadi miskin ketimbang dikurung dalam penjara selama beberapa tahun yang setelah bebas masih bisa menikmati kekayaannya kembali.
Pada sekitar abad ke-8 Rsi Markandeya melakukan perjalanan dari India melalui Jawa Timur dengan tujuan mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat Bali. Rsi percaya pada prinsip hidup harmonis dengan alam.
Dia membantu suku-suku lokal untuk hidup sebagai komunitas dan belajar pertanian sehingga mereka dapat hidup dari lahan secara berkelanjutan tanpa harus berpindah. Warisannya masih hidup hingga saat ini dan dikenal sebagai subak, sistem pengelolaan air yang kompleks untuk sawah yang didasarkan pada dukungan ekosistem alami kita.
Air alami dialirkan secara merata ke semua sawah anggota kelompok agar tak terbuang sia-sia. Pemakaian air seefisien mungkin.
Cara hidup seperti ini telah diturunkan dari generasi ke generasi masyarakat Bali. Dan sistem kemasyarakatan sebagai Desa Adat juga masih terpelihara dengan baik hingga saat ini.
Dari masyarakat setempat yang tadinya suka hidup berpindah-pindah, Rsi membangun permukiman yang menetap dan desa adat pertama di Pulau Bali yang kini menjadi Desa Taro. Rsi juga membangun pura pertama di Desa Taro yang dikenal sebagai Pura Agung Gunung Raung. Ini adalah pura pertama dan tentunya tertua di Pulau Dewata.
Pura ini menghadap ke Barat dan memiliki empat gerbang masuk di empat mata angin. Beberapa bagian arsitektur bangunan pura ini masih asli dari abad ke-8. Bahkan ada juga bangunan dari abad ke-4 ketika masih area pura ini masih dijadikan tempat ibadah para penganut kepercayaan. Setelah agama Hindu dibawa dan disebarkan oleh Rsi ke Desa Taro, wilayah ibadah itu kini menjadi kompleks Pura Agung Gunung Raung.
Pura ini bisa dimasuki oleh siapa saja dengan pakaian adat, kecuali oleh perempuan yang sedang menstruasi atau warga adat yang sedang memiliki halangan atau kedukaan kematian. Warga negara asing pun bisa memasuki tempat ibadah umat Hindu di Desa Taro ini.
Lokasi Desa Taro yang hanya berjarak sekitar 30 menit dari pusat keramaian Ubud, atau sekitar 2 jam dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Denpasar, membuat tempat ini memang berpotensi dikunjungi lebih banyak wisatawan di masa depan. Apalagi pada 2023 Desa Taro masuk menjadi salah satu dari 20 desa wisata dunia yang dipersiapkan untuk menjadi Best Tourism Villages dari United Nations World Tourism Organization (UNWTO) di periode selanjutnya, yang berarti pada tahun 2024 ini.
Banyak pula prestasi tingkat provinsi dan nasional yang telah diraih oleh Desa Taro. Namun, bagi Ardika, "semua itu hanya bonus." Bonus dari segala upaya masyarakat dalam menjaga dan melestarikan alam, lingkungan, budaya, dan tradisi desa mereka sendiri.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR