Nationalgeographic.co.id—Julius Caesar merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Romawi. Meski berjasa bagi Romawi, Caesar merupakan penguasa yang otoriter. Senat pun takut jika Caesar berusaha mengamankan kekuasaannya dengan rencananya membawa kembali monarki ke Romawi. Karena itu, muncul banyak perlawanan terhadap sang diktotar Romawi itu.
Perlawanan terhadap pemerintahan Julius Caesar berakhir dengan pembunuhan tokoh sohor itu. Ada beberapa tokoh penting yang sangat gigih membela Republik Romawi. Mereka adalah Cato the Younger dan Marcus Junius Brutus.
Cato memimpin perlawanan terhadap Caesar di Senat. Sedangkan Brutus memimpin konspirasi untuk membunuh Caesar. Selain itu, ada pemain kunci lain dalam peristiwa penuh gejolak seputar akhir hidup Caesar. “Ia adalah seorang wanita yang mampu mewujudkan kekuatan di bawah tekanan dan kesetiaan yang tak tergoyahkan,” tulis Juan Luis Posadas di laman National Geographic. Namanya Porcia.
Porcia merupakan putri Cato dan istri Brutus. “Porcia Catonis (73-43 SM) adalah satu-satunya wanita yang mengetahui rahasia plot tersebut,” seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Romawi Cassius Dio.
Keberanian, pemikiran logis, dan kesediaan Porcia untuk berkorban dirayakan oleh para sejarawan Romawi. Berabad-abad kemudian, kisahnya diabadikan dalam tragedi William Shakespeare tahun 1599, Julius Caesar.
Banyak faktor yang membentuk sosok luar biasa ini, namun ada dua faktor yang paling menonjol: iklim politik yang bergejolak dan ajaran ayahnya.
Tumbuh di tengah filosofi stoikisme
Banyak hal yang diketahui tentang Porcia sebagian besar berasal dari sejarawan Yunani Plutarch (dalam bukunya tentang Brutus dan Cato). Roman History karya Cassius Dio juga menyebutkan soal Porcia.
Dalam semua referensi kuno, ia dikenang sebagai anggota keluarga Cato the Younger yang paling berkomitmen pada perjuangan ayahnya. Hal ini diungkap oleh Judith P. Hallett, profesor di Universitas Maryland.
Ayah Porcia, Cato the Younger, adalah seorang bangsawan dan republikan. Sebagai penganut stoikisme, Cato mengutamakan kebajikan dan tanggung jawab sipil di atas segalanya. Hal ini merupakan sebuah idealisme tanpa kompromi yang sangat memengaruhi putrinya.
Pada awal abad kedua Masehi, Plutarch menulis bahwa Porcia kecanduan filsafat. Ia dipuji akan hidup yang tenang dan keagungan semangatnya. Semua itu sesuai dengan penolakan stoikisme terhadap kemewahan dan komitmen terhadap keadilan.
Pernikahan dan perceraian
Saat masih sangat muda, Porcia menikah dengan sekutu politik ayahnya. Dia dan Marcus Calpurnius Bibulus akan memiliki dua anak bersama sebelum hubungan mereka menjadi rumit karena praktik khas Romawi. Selain perjodohan, kaum elite Romawi juga melakukan perjodohan, mengakhiri satu perjodohan demi perjodohan lain yang lebih menguntungkan.
Porcia berusia sekitar 20 tahun ketika salah satu lamaran datang kepadanya. Sekutu ayahnya yang lain, Quintus Hortensius Hortalus, meminta untuk menikahinya. Duda berusia lanjut yang tidak memiliki anak itu menginginkan Porcia sebagai istrinya agar dapat memiliki ahli waris bersamanya. Setelah dia melahirkan, dia berjanji akan mengembalikannya ke Bibulus.
Bibulus tidak menyukai usulan ini dan menolaknya. Cato juga tidak menyukai gagasan memutuskan kontraknya dengan Bibulus. Agar Hortensius tidak sakit hati, Cato setuju untuk menceraikan istrinya sendiri, Marcia. Sebagai gantinya, Cato mengusulkan agar Hortensius menikahi Marcia. Hortensius setuju dan rencananya dilanjutkan. Setelah kematian Hortensius, Cato menikah lagi dengan Marcia.
Keluarga besar Porcia sangat terlibat dengan perang saudara Romawi yang dimulai pada tahun 49 SM. “Saat itu Caesar menolak menyerahkan pasukan dan wilayahnya kepada Republik Romawi,” tambah Posadas. Romawi akan terpecah menjadi dua faksi, satu dipimpin oleh Caesar dan yang lainnya dipimpin oleh Pompey.
Cato dan Bibulus yang konservatif bersekutu dengan Pompey dan mendapati diri mereka berada di pihak yang kalah dalam perang. Bibulus, pemimpin armada Pompey di Laut Adriatik, meninggal karena sakit sekitar tahun 48 SM. Cato bunuh diri di Utica (Tunisia modern) ketika pasukan Caesar memenangkan Pertempuran Thapsus di dekatnya pada tahun 46 SM.
Di Kota Roma, Porcia menyaksikan Caesar mengumpulkan kekuasaan. Alih-alih menyerah pada kediktatoran, dia tetap percaya pada republik lama. Pada tahun 45 SM, Porcia menikah dengan Marcus Junius Brutus.
Brutus pernah menjadi sekutu Caesar yang terkenal menentangnya. Selama perang, Brutus memihak Pompey. Tetapi setelah perang, Caesar memaafkannya dan bahkan mengangkatnya menjadi gubernur Cisalpine Gaul (Italia utara). Namun, simpati Brutus terhadap republik lama tidak berkurang. Menikahi putri Cato (dan menceraikan istrinya, Claudia) adalah cara untuk menegaskan kembali komitmennya.
Rencana dan plot pembunuhan Julius Caesar
Pada bulan-bulan berikutnya, Brutus, bersama senator lain yang khawatir dengan ambisi Caesar, memulai rencana untuk membunuhnya. Meskipun politik pada dasarnya adalah ranah laki-laki dalam budaya Romawi, Porcia berjanji untuk membantu suaminya karena keyakinan keluarganya.
Menurut Plutarch, dia melihat perubahan pada suaminya dan menanyainya. Ketika Brutus tidak menjawab, dia melukai pahanya sendiri dengan pisau. Tindakan tersebut merupakan permohonan agar suaminya menunjukkan kepercayaan dan rasa hormatnya.
“Brutus, saya putri Cato. Saya dibawa ke rumahmu, bukan seperti selir belaka. Bukan untuk berbagi tempat tidur dan makanan saja, tetapi untuk menjadi pasangan dalam kegembiraanmu. Dan menjadi teman dalam kesulitanmu.”
Tekadnya mendorong Brutus untuk mengungkapkan rencananya untuk membunuh Caesar. Terlebih lagi, tulis Plutarch, dia menginspirasinya untuk melihat plotnya sampai akhir.
“Ketika dia melihat lukanya, Brutus, takjub, dan mengangkat tangannya ke surga. Ia berdoa agar berhasil dalam usahanya dan dengan demikian menunjukkan dirinya sebagai suami yang layak bagi Porcia.”
Setelah kematian Caesar pada tanggal 15 Maret 44 SM, Brutus melarikan diri dari Roma untuk menghindari kemarahan loyalis Caesar. Sementara Porcia tetap tinggal di ibu kota. Dia mengikuti nasib suaminya saat dia berjuang mempertahankan republik melawan Oktavianus, pewaris Caesar, yang bersekutu dengan Mark Antony. Akhirnya, Porcia menerima kabar bahwa Brutus telah dikalahkan dalam Pertempuran Filipi (42 SM). Dan seperti ayahnya, Cato, suaminya pun bunuh diri.
Apa yang terjadi selanjutnya tidak diketahui secara pasti. Akhir yang lebih dramatis adalah Porcia yang hancur dan bunuh diri, baik dengan menelan batu bara panas atau menghirup karbon monoksida.
Dalam salah satu versi, penyair Martial menulis bahwa Porcia mencari senjata untuk mengakhiri hidupnya. Konon senjata itu disembunyikan oleh pelayan. Ia berseru, “'Kamu belum tahu bahwa kematian tidak dapat disangkal. Aku mengira ayahku yang mengajarimu pelajaran ini dari takdirnya.”
“Dia berbicara dan dengan mulut penuh semangat menelan bara api itu,” Plutarch menceritakan kisah serupa.
Simbol kekuatan dalam sejarah Romawi
Namun, ada satu bukti penting yang meragukan tindakan bunuh diri Porcia. Negarawan dan orator Romawi, Cicero, menulis surat kepada Brutus pada tahun 43 SM. Cicero meratapi kematian Porcia, artinya Porcia meninggal sebelum suaminya. Kata-kata Cicero menyiratkan bahwa dia meninggal karena sebab alamiah.
Legenda bunuh diri dengan kekerasan muncul belakangan, namun mengakar dalam imajinasi populer.
Brutus berkomentar tentang istrinya, “Meskipun dia tidak sekuat laki-laki, dia sama gagah berani dan aktifnya demi kebaikan negaranya seperti yang terbaik di antara kita.” Tidak diragukan lagi, Porcia dipandang sebagai simbol kekuatan dalam sejarah Romawi.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR