Nationalgeographic.co.id—Vercingetorix merupakan seorang pangeran Galia dan pemimpin perang yang tangguh. Hampir seluruh kisahnya yang diketahui hingga saat ini bersumber dari musuhnya yang mematikan, Julius Caesar.
Jendral brilian dari Kekaisaran Romawi ini, nyaris dikalahkan oleh Vercingetorix dan pasukannya. Caesar mengakui bahwa ia adalah seorang pemimpin yang cakap dengan berbagai strategi canggih.
Namun, siapa Vercingetorix sebagai seorang pria sulit untuk diukur, dan perasaan Caesar yang sebenarnya terhadapnya sangatlah kompleks.
Memahami Vercingetorix
Muncul pada masa-masa akhir Perang Galia (58-50 SM), Vercingetorix merupakan tokoh penting dalam perlawanan bangsa Galia terhadap penaklukan Romawi, kata Colin J Campbell, seorang penulis dan peneliti dari Melbourne, Australia.
Sebagai seorang pangeran dari Arverni, Vercingetorix mungkin berusia 30-an tahun ketika peristiwa itu terjadi.
Dalam perang sengit melawan pasukan Romawi yang superior, Vercingetorix menunjukkan keberanian dan strategi perang yang luar biasa. Dia berhasil menyatukan suku-suku Galia di bawah panji perlawanan mereka, memimpin mereka dalam pertempuran-pertempuran epik melawan tentara Romawi yang dipimpin oleh Julius Caesar.
Dalam kisah epik ini, Vercingetorix harus tidak hanya melawan penjajah Romawi tetapi juga menghadapi tantangan internal yang mengancam kesatuan bangsa Galia.
Dengan kepemimpinan dan kebijaksanaannya yang luar biasa, apakah Vercingetorix mampu mempertahankan persatuan suku-suku Galia dan melawan penaklukan Romawi hingga akhir?
Di Balik Perang Galia
Awalnya Julius Caesar memulai perang untuk mencegah migrasi besar-besaran suku Helvetti pada tahun 58 SM. Namun, Caesar kemudian menggunakan alasan tersebut sebagai pembenaran untuk memperluas perang demi ambisi pribadinya.
Dia bersekutu dengan sekutu-sekutu lokal seperti suku Aedui dan menggunakan mereka untuk membenarkan perang yang membawanya ke berbagai wilayah di Eropa barat laut.
“Ambisi pribadi adalah pendorong utama Caesar,” kata Colin. “Meskipun dia bukan komandan Romawi pertama yang bertindak seperti itu, tingkat ambisinya sangat besar.”
Motif Caesar sebenarnya tidak lebih dari mengejar kekuasaan, mengumpulkan kekayaan, serta karirnya dalam militer dan politik.
Demi mencapai semua itu, dia rela melakukan apa saja, termasuk Caesar bertempur melawan berbagai suku, termasuk suku Gallia, suku Belgia, suku Aquitani, suku Britania, dan berbagai suku Jermanik.
Namun, jauh di dalam jiwa prajurit Romawi terdapat fakta yang mengejutkan. Dalam kesempatan tertentu, orang Romawi takut pada Galia.
Sejarah menunjukkan bahwa suku-suku Gallia pernah menjadi ancaman serius bagi Roma, terutama pada masa ketika hampir berhasil menghancurkan Roma pada sekitar tahun 390 SM.
Pemberontakan
Tindakan-tindakan pasukan Romawi yang kian menekan, menyulut kemarahan suku Galia. Pemberontakan yang gagal oleh Ambiorix dan suku Eburon pada tahun 54/53 SM, ditindas secara brutal. Hal ini hanya memicu kebencian Galia yang lebih luas.
Dengan suasana yang semakin memanas, Vercingetorix sendiri diusir dari ibu kotanya, Gergovia, ketika ia berusaha mendorong anggota sukunya untuk memberontak.
Colin mengungkapkan, dengan menarik banyak prajurit, Vercingetorix mengumpulkan pasukan untuk merebut kembali ibukotanya. Setelah berhasil mengendalikan rakyatnya sendiri, seruan itu kemudian disebarkan ke suku-suku Galia lainnya.
“Berbagai suku seperti Senones, Parisii, Pictones, Cadurci, Turones, Aulerci, Lemovice, dan banyak kelompok lain yang berada di wilayah pesisir mulai bergabung. Hal Ini menandai awal dari pemberontakan berskala besar di seluruh wilayah Galia,” jelas Colin.
Dalam sebuah pertemuan besar, suku-suku tersebut mendeklarasikan perjuangan untuk kebebasan bersama. Dalam kesempatan itu pula, Vercingetorix Terpilih sebagai raja dan pemimpin tertinggi.
“Tidak pernah sebelumnya suku-suku Galia bersatu dengan cara seperti ini, tidak pernah sebelumnya kelangsungan hidup mereka begitu terancam secara kritis,” imbuh Colin.
Pada musim dingin, Caesar dan pasukannya berbaris untuk menghadapi pemberontakan. Mereka berusaha mengamankan pusat-pusat perbekalan yang penting.
Vercingetorix paham betul dengan kekuatan dan kelemahan pasukan Kekaisaran Romawi. Hal inilah yang ia jadikan dasar dalam merancang strategi.
Dengan mengandalkan pasukan kavalerinya, Vercingetorix melakukan kebijakan "bumi hangus". Dia meyakinkan kepada seluruh suku koalisinya untuk membawa perbekalan secukupnya, dan sisanya dihanguskan. Sementara para wanita dan anak-anak dibawa kehutan, seluruh pemukiman dibakar.
Hal ini membuat pasukan Romawi kewalahan dalam bertahan hidup. Mereka terpaksa mengembara untuk mencari persediaan di tanah yang kekurangan sumber daya. Dan inilah yang diharapkan Vercingetorix.
Ketika pasukan Romawi berpencar mencari persediaan logistik, Galia dengan keunggulan pasukan kavalerinya, menyerang dengan semangat. Dengan demikian, pertempuran besar pun terhindarkan.
Pertarungan semakin memuncak di Alesia. Baik Vercingetorix maupun Caesar akan mempertaruhkan segalanya di sini.
“Membiarkan diri mereka terperangkap di Alesia, Vercingetorix membuat kesalahan strategis yang sangat besar. Menguasai seni pengepungan, Caesar mengambil kesempatan untuk "mengurung" kepala suku Galia dan 80.000 anggota sukunya,” kata Colin.
Bangsa Romawi sekarang berusaha untuk membuat Galia yang dipimpin oleh Vercingetorix kelaparan dan takluk.
Pada tahap akhir pertempuran, pasukan bantuan Galia yang sangat besar, berusaha mengerumuni pertahanan luar. Sementara itu, pasukan Vercingetorix di dalam melakukan penyerangan untuk keluar.
Serangan yang dilakukan sepanjang siang-malam tentu membuat Romawi terdesak. Meskipun demikian pertahanan Romawi tidak jebol. Di sisi lain, pasukan Vercingetorix terus melemah.
Pertempuran akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya, meskipun kekuatan Galia yang sebenarnya telah dipatahkan.
Dalam sebuah pertemuan suku-suku terakhir, Vercingetorix menawarkan nyawanya kepada rekan-rekannya sesama suku. Hal ini dimaksudkan sebagai penebusan atas kegagalannya.
“Ditahan di penangkaran hingga 46 SM, nasib raja pejuang Galia ini akan diarak dalam sebuah parade Kemenangan sebelum akhirnya dieksekusi,” jelas Colin.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR