Banjir bukan satu-satunya risiko yang harus dihadapi oleh para penjaga Petra. Karena ekosistem gurunnya sudah terbatas, kebun gandum dan buah-buahan yang tersisa akan semakin tertekan oleh kekeringan. Pasalnya, suhu terus meningkat dan gelombang panas semakin sering terjadi. Badai pasir juga diperkirakan akan meningkat dalam ukuran, frekuensi, dan tingkat keparahan. Semua itu berpotensi menggerogoti bagian depan batu pasir makam dan kuil Petra. Hembusan pasir dan perubahan suhu yang dramatis antara siang dan malam, memecahkan dan menghancurkan struktur batu pasir.
Di belahan dunia lain, kenaikan permukaan laut, kekeringan, banjir, dan bencana lainnya mengancam situs budaya.
“Akan terjadi peningkatan kekeringan dan suhu, serta peningkatan banjir,” kata Salma Sabour, seorang insinyur fisik dan lingkungan yang bekerja sebagai direktur sains proyek Preserving Legacies. “Apa yang tidak dapat kami temukan dalam ilmu pengetahuan adalah risiko yang dirasakan oleh masyarakat dan bagaimana mereka dapat meresponsnya.”
Pekerjaan di Petra adalah semacam proyek percontohan untuk menunjukkan bagaimana adaptasi dan respons terhadap perubahan iklim dapat membawa perbedaan besar terhadap situs warisan budaya. Tim Preserving Legacies mengatakan bahwa risiko terhadap Petra selama beberapa dekade mendatang adalah moderat. “Bukan karena tidak ada bahaya,” kata Sabour, “tetapi karena masyarakat dan pihak berwenang telah mencari cara-cara kreatif untuk beradaptasi. Mereka juga melatih orang untuk merespons.”
Beradaptasi menggunakan “kebijaksanaan kuno”
Pihak berwenang yang mengelola Petra dan daerah sekitarnya telah menerapkan program pelatihan ekstensif dan latihan evakuasi. Mereka memastikan staf di Petra untuk siap menghadapi banjir. Sistem peringatan digital melacak curah hujan dan membunyikan alarm ketika kondisi sudah siap untuk banjir.
Selama banjir yang melanda lokasi tersebut pada akhir tahun 2022, persiapannya membuahkan hasil. 1.700 wisatawan dan staf dievakuasi dari Petra dalam hitungan jam, tanpa dilaporkan adanya korban cedera.
Pembelajaran dari masa lalu juga digunakan untuk membantu beradaptasi dengan kondisi ekstrem di masa depan. “Ada kearifan kuno yang dibangun secara fisik di situs ini,” kata Herrmann. “Dikombinasikan dengan solusi modern, sistem pengelolaan air Nabatean memiliki potensi terbesar dalam mengadaptasi Petra terhadap banjir bandang.”
Selama 3 tahun terakhir, Falahat bekerja dengan masyarakat setempat untuk memperbaiki dan menghidupkan kembali hasil karya masyarakat Nabatean. Mereka membersihkan dan memperbaiki bendungan dan teras kuno. Pekerjaan tersebut, yang harus dilakukan berulang kali setiap tahun untuk membersihkan lumpur dan batu yang menumpuk selama musim hujan musim dingin. Aktivitas ini menciptakan lapangan kerja sekaligus membantu menjaga situs tersebut.
Upaya tersebut memberikan apresiasi baru bagi Falahat atas karya kaum Nabatean. “Sekarang minat saya adalah terasering Nabatean,” dia tertawa. “Mereka jenius dalam mengumpulkan air. Dengan mengikuti jejak Nabatean, kita bisa memecahkan masalah ini.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR