Nationalgeographic.co.id - Lagu "Nenek Moyangku" yang dikatakan seorang pelaut, karya Ibu Soed (Saridjah Niung), selalu mengiringi cerita tentang leluhur orang Indonesia yang maritim. Sebenarnya, tidak hanya Indonesia, hampir semua negara dengan rumpun Austronesia punya kesenian dan kebudayaan yang berhubungan dengan maritim.
Antara 3000 dan 1500 SM, penutur bahasa dan kebudayaan Austronesia meninggalkan Taiwan (Formosa). Berangsur-angsur sampai 1200 M, penutur bahasa Austronesia telah menjamah ke berbagai tempat dari Asia Tenggara, Pasifik, hingga Madagaskar.
Migrasi ke pulau-pulau ini, mendorong mereka mengenal teknologi pelayaran kapal yang sangat khas. Dalam kebudayaan Austronesia mana pun, kapal mereka memiliki cadik, haluan, dan layar tanja atau serupa layar capit kepiting.
Dalam laporan National Geographic Indonesia sebelumnya, penjelajahan Austronesia ini membawa ciri khas yang berbeda di Papua, pulau di mana penutur bahasa Austronesia dan Papua bertemu.
Hari Suroto, arkeolog BRIN Manado menjelaskan bahwa penutur bahasa Austronesia memperkenalkan teknologi perahu di daerah pesisir Papua. Perahunya berbeda dengan penduduk yang sudah ada di Papua yang lebih sederhana.
Mengingat betapa luasnya cakupan persebaran penutur bahasa Austronesia, kita bertanya-tanya tentang bagaimana bisa kebudayaan maritim ini bermula? Bagaimana orang Austronesia, pada akhirnya, memutuskan untuk hidup dari laut. Kondisi ini berbeda dengan peradaban lainnya di Asia daratan, Eropa, dan Afrika yang lebih mengutamakan transportasi darat seperti kereta kuda, kuda, gajah, atau hewan tunggangan lainnya.
Oleh karena itu, mari kita melacak kelompok asal Austronesia. Meski belum mendapat jelas dari mana kelompok Austronesia berasal sebelum bermukim di Taiwan, Peter Bellwood arkeolog dan antropolog Australian National University memperkirakan kebudayaan pra-Austronesia bertempat di pesisir daratan Tiongkok selatan.
Asal Masyarakat Kebudayaan dan Penutur Bahasa Austronesia
Hipotesis Bellwood di publikasikan di jurnal Asian Perspectives (1986), bertajuk "A Hypothesis of Austronesian Origins". Kemudian kependudukan berpindah ke Taiwan sekitar antara 10.000 hingga 4000 SM berdasarkan penanggalan radiokarbon pada berbagai artefak arkeologis.
Hui Li dari Fudan University, Shanghai dan rekan-rekan dalam Y chromosomes of prehistoric people along the Yangtze River di jurnal Human Genetics (2007) menemukan kromosom DNA Austronesia yang cukup kuat di Sungai Yangtze. Di sungai terpanjang se-Asia ini, Austronesia tidak sendiri, melainkan hidup berdampingan dengan masyarakat Dai (etnis mayoritas Myanmar, Vietnam, dan Tiongkok selatan).
Berdasarkan temuan arkeologis yang bersangkutan dengan Austronesia, mereka telah mengenal kebiasaan pencabutan gigi (seperti yang ada di Bali dan Dayak), penghitaman gigi seperti yang dilakukan di Filipina, rumah panggung, pembuatan perahu canggih, pertanian lahan basah, domestikasi hewan ternak dan peliharaan seperti ayam, anjing, dan babi.
Baca Juga: Saat Bermigrasi Penutur Bahasa Austronesia Menapaki Jejak di Papua
Dengan demikian, pengetahuan pembuatan perahu orang Austronesia bisa jadi bermula pada perairan sungai. Para ilmuwan memperkirakan, kemahiran ini yang membantu mereka dapat membangun pemukiman di Taiwan, sampai akhirnya ke pulau-pulau jauh di Samudra Hindia dan Pasifik.
Perahu Maritim Austronesia yang Canggih
Sejarawan Northern Arizona University Derek Heng dalam makalah "Ships, Shipwrecks, and Archaeological Recoveries as Sources of Southeast Asian History" mengidentifikasi beberapa ciri khas perahu Austronesia kuno.
Perahu paling sederhana mereka, pada kedua sisi ada dua potongan kayu yang berbentuk tapal kuda untuk membentuk haluan dan buritan. Haluan dan buritan ini saling dipasangkan pada tepi ujung untuk diikat atau dikuatkan dengan pasak yang menancap pada lubang.
Diperkirakan, Austronesia kuno mulai mengenal bentuk ragam layar pada periode neolitik mereka, sekitar 1.500 SM. Layar ini kemudian berkembang seiring terbentuknya kebudayaan Austronesia baru di pulau-pulau tempat berkoloni. Jenis layar yang paling awal diperkirakan berbentuk capit kepiting. Variasinya berkembang dengan layar persegi tegak lurus berbentuk V.
Migrasi dan Membangun Koloni
Philip Bowring, jurnalis berbasis di Hong Kong menulis dalam "Empire of the Winds: The Global Role of Asia’s Great Archipelago". Dia memperkirakan perpindahan migrasi besar-besaran dari Taiwan ke Filipina dan Indonesia berkaitan dengan kondisi masyarakat Austronesia yang memiliki kebiasaan melaut.
Kebiasaan ini lambat laun menjadi "norma budaya Austronesia" hingga melintasi Samudra Pasifik dan Hindia. Berdasarkan letaknya, Austronesia terbagi menjadi Kepulauan Asia Tenggara, Madagaskar, Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia.
Hari mengungkapkan bahwa kebiasaan melaut Austronesia berhubungan dengan mencari sumber daya, perikanan, dan perdagangan. Ketika menjumpai tempat yang layak, Hari menerangkan, "mereka akan bermukim atau meninggalkan jejak kebudayaan mereka".
Jalur sumber daya ini membuat mereka bisa memetakan rute berlayar dari pulau ke pulau. Ada pun yang berpindah untuk mendirikan koloni baru. Penyebabnya mungkin karena sumber daya tempat asalnya kurang memungkinkan untuk bertahan hidup bagi kelompoknya.
Chunming Wu dari Xiamen University menjelaskan bahwa navigasi pelayaran menjadi pengetahuan bagi pelaut kuno Austronesia. Mereka mengamati bintang-bintang, benda langit lainnya, dan kejadian umum yang ada di langit untuk memprediksi arah dan badai.
Baca Juga: Akibat Migrasi Manusia ke Madagaskar, Sebagian Spesies Unik Hilang
Wu, dalam "A Comparative Study of the Astronomical Navigation Between Ancient China and Pacific Austronesian" (2021) menemukan bahwa ada hubungan budaya yang erat antara Austronesia dan Tionghoa kuno dalam memanfaatkan astronomi sebagai navigasi.
Kepandaian ini mendorong masyarakat Polinesia (bagian dari kelompok Austronesia di Oseania) dapat menuju pulau-pulau terpencil. Diyakini, merekalah kelompok pertama yang pernah melihat benua Antartika sekitar 600 M.
Ada pun, jejak terjauh dari masyarakat Polinesia telah mencapai hubungan dengan penduduk asli Amerika Selatan. Awalnya, pendapat tentang kontak Polinesia dan penduduk asli Amerika Selatan ditolak karena pelbagai temuan yang rancu, seperti peninggalan kerangka yang berhubungan dengan periode kolonialisme atau perdagangan budak abad ke-16.
Namun, perkiraan kontak hubungan orang Austronesia dan Amerika ini sangat mungkin terjadi oleh banyak ilmuwan. Paul Wallin, arkeolog dan sejarawan di Uppsala University, memperkirakan bahwa skenario kontak kedua kelompok ini dikarenakan pelayaran orang Polinesia ke Amerika Selatan.
Kemudian, orang Polinesia itu kembali ke pulau asalnya sambil membawa penduduk asal Amerika Selatan. Dalam tulisannya di Nature, Wallin membawa dugaan berikutnya, orang Polinesia kembali ke pulau-pulau Pasifik membawa keturunan yang mewarisi genetik orang penduduk asli Amerika Selatan. Hal ini memungkinkan, mengingat kehebatan kebudayaan maritim Polinesia sangat pesat, sebagai bagian dari rumpun Austronesia.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR