Studi demi studi telah menunjukkan bahwa bayi memiliki preferensi alami untuk hal-hal baru. Sebuah penelitian klasik dari tahun 1964 menemukan bahwa bayi mulai kehilangan minat pada pola visual yang kompleks setelah waktu tertentu.
Penelitian lain pada tahun 1983, yang diterbitkan dalam jurnal Developmental Psychology, menemukan bahwa bayi yang lebih tua lebih menyukai mainan baru daripada yang sudah mereka kenal, sebuah fenomena yang mungkin sudah diperhatikan oleh banyak pengasuh.
Fenomena ini dikenal sebagai rasa ingin tahu perseptual, yang mendorong makhluk hidup, termasuk bayi manusia dan hewan non-manusia, untuk mengeksplorasi dan menemukan hal-hal baru, meskipun minat mereka cenderung menurun setelah paparan yang berkepanjangan.
Bayi menunjukkan rasa ingin tahu perseptual ini dalam berbagai cara, salah satunya adalah melalui mengoceh. Twomey menjelaskan bahwa "eksplorasi yang mereka lakukan adalah mengoceh secara sistematis."
Dalam beberapa bulan pertama kehidupan, bayi mulai mengeluarkan suara vokal dan suara yang mirip dengan ucapan, yang merupakan eksplorasi acak dari kemampuan anatomi vokal mereka. Akhirnya, mereka menemukan suara yang mirip dengan apa yang mereka dengar dari orang tua mereka, dan mereka terus mengulanginya.
Namun, rasa ingin tahu perseptual tidak hanya terbatas pada bayi. Gagak, misalnya, menggunakan rasa ingin tahu ini untuk belajar membuat alat sederhana yang digunakan untuk memancing larva dari tempat-tempat yang sulit dijangkau. Ini menunjukkan bahwa rasa ingin tahu perseptual dapat menjadi alat pembelajaran yang berharga bagi berbagai spesies.
Selanjutnya, eksperimen dengan robot yang diprogram untuk memiliki rasa ingin tahu telah menunjukkan bahwa eksplorasi adalah metode yang efektif untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan tidak dikenal.
Ini menegaskan bahwa rasa ingin tahu dan eksplorasi adalah komponen penting dalam proses pembelajaran dan adaptasi, baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya.
Semuanya Demi Dunia "Bekerja" untuk Kita
Rasa ingin tahu yang khusus bagi manusia, yang disebut oleh para psikolog sebagai rasa ingin tahu epistemik, adalah dorongan yang mendalam untuk mengejar pengetahuan dan mengurangi ketidakpastian. Menurut Twomey, jenis rasa ingin tahu ini muncul lebih lanjut dalam kehidupan dan mungkin membutuhkan penggunaan bahasa yang lebih kompleks.
Agustín Fuentes, seorang profesor antropologi di Universitas Princeton, berpendapat bahwa rasa ingin tahu epistemik telah memisahkan manusia—dan mungkin seluruh anggota genus Homo—dari spesies lain, memungkinkan kita untuk menetap di hampir setiap lingkungan di bumi dan menciptakan berbagai teknologi, mulai dari kapak batu hingga smartphone.
Baca Juga: Dunia Hewan: Mamalia Tumbuh Lebih Besar, dan Itu Semua karena Manusia
KOMENTAR