Perdagangan dari sektor perkebunan digalakkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil keuntungan. Mereka menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Peraturan mengharuskan masyarakat jajahan untuk menyerahkan hasil bumi ke pemerintah Hindia Belanda.
Dengan demikian, Hindia Belanda memonopoli sektor perkebunan. Tidak boleh ada pihak lain yang menjadi tujuan hasil bumi selain pemerintah kolonial.
Stabilitas Politik dengan Adu Domba
Keuntungan monopoli politik kekuasaan bagi Hindia Belanda adalah dapat dengan mudahnya menerapkan peraturan.
Setelah Belanda menguasai kerajaan dan penguasa lokal di Indonesia, pemerintah jajahan dapat dengan mudah memobilisasi sistem pertahanannya. Pemerintah Hindia Belanda dapat menertibkan negeri jajahannya jika terjadi perlawanan dari masyarakat jajahan.
Masyarakat jajahan juga tidak memiliki kekuatan politik yang seimbang dengan pemerintah Hindia Belanda, karena penguasa atau raja mereka telah tiada atau berada di bawah kekuasaan penjajah.
Contoh monopoli politik ini bisa dilihat pada posisi kerajaan di Jawa selatan setelah Perjanjian Giyanti (1755). Posisi sultan sangat bergantung pada penguasa kolonial.
Ketika Perang Jawa (1825–1830) yang dikobarkan Pangeran Dipanagara usai, politik Jawa khas kesultanan Yogyakarta berangsur-angsur lumpuh, digantikan dengan kekuasaan Hindia Belanda.
Periode ini disebut Pax Nederlandica (Kedamaian di Bawah Belanda), di mana hukum dan tatanan politik terpusat oleh kepemimpinan pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Penguasa lokal tidak punya lagi punya kekuasaan sebebas masa sebelumnya.
Demi mendapat penguasaan tunggal ini juga harus melibatkan politik adu domba (devide et impera) terhadap penguasa-penguasa lokal.
Baca Juga: Kenapa VOC Membangun Banyak Benteng di Maluku dalam Sejarah Dunia?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR