Oasis Bernama Kekaisaran Ottoman
Gelombang besar pengungsi Yahudi Iberia menemukan perlindungan di bawah naungan Kekaisaran Ottoman. Terutama setelah pengusiran massal dari Spanyol pada tahun 1492 dan konversi paksa di Portugal lima tahun kemudian.
Dengan syarat yang relatif sederhana—membayar pajak kepala dan mengakui supremasi Islam—imperium ini menjadi oasis bagi mereka yang terusir.
Pada awal abad ke-16, komunitas Yahudi di wilayah Ottoman telah berkembang menjadi yang terbesar di dunia. Konstantinopel dan Salonika sendiri masing-masing menjadi rumah bagi sekitar 20.000 orang Yahudi.
Imigrasi berkelanjutan dari Semenanjung Iberia tidak hanya membawa jumlah yang besar tetapi juga mengubah dinamika sosial dan budaya Yahudi Ottoman. Para imigran Spanyol dan Portugis, dengan cepat dan secara signifikan, mengatasi jumlah Romaniot lokal. Hal ini membuat budaya dan komunitas asli terasimilasi ke dalam tradisi baru yang mereka bawa.
Di sisi lain, Sultan Mehmed II berupaya untuk memperkaya dan memperluas ibu kotanya. Untuk itu, dia memindahkan banyak orang dari berbagai provinsi ke Konstantinopel setelah penaklukannya.
"Migrasi ini memberikan dampak yang mendalam pada komunitas Yahudi," ungkap Barnavi. Sebab peristiwa tersebut pada akhirnya mengubah karakteristik yang telah terbentuk selama era Bizantium.
Meskipun kondisi ekonomi dan kebebasan beragama membaik secara signifikan, banyak kongregasi (perkumpulan) Romaniot yang lebih tua menghilang. Mereka hanya meninggalkan jejak dalam nama-nama sinagoga tertentu di Istanbul.
Mereka digantikan oleh kongregasi baru yang sepenuhnya berbahasa Spanyol. Hal tersebut terjadi baik di ibu kota maupun di kota-kota seperti Salonika atau Tiriya di Anatolia barat.
Masa-masa Indah Komunitas Yahudi
Dalam keragaman komunitas Yahudi di Kekaisaran Ottoman, kongregasi dibentuk berdasarkan asal-usul geografis anggotanya. Berpusat di sinagoga, organisasi-organisasi ini menyediakan layanan yang lengkap. Di mulai dari keagamaan hingga sosial, organisasi ini membentuk masyarakat yang nyaris mandiri.
Hingga akhir abad ke-16, struktur institusi ini cukup lentur. "Kondisi tersebut, pada akhirnya memungkinkan mobilitas sosial yang tinggi," jelas Barnavi.
KOMENTAR