Nationalgeographic.co.id—Di era Tudor, menjadi istri Raja Henry VIII ibarat memegang tiket lotere maut. Di satu sisi, ada gemerlap perhiasan, kemewahan istana, dan tahta tertinggi di Inggris. Namun di sisi lain, menanti ancaman pengkhianatan, intrik politik, dan bahkan kematian.
Inilah dunia yang dihadapi Catherine Parr, perempuan yang dicatat sejarah sebagai istri terakhir Henry VIII, sang raja yang terkenal dengan reputasi bengisnya.
Namun, mengenang nama Catherine Parr sebagai "ratu terakhir yang berhasil selamat" saja terasa terlalu menyederhanakan. Label itu seolah mengabaikan kecerdasan, keberanian, dan pengaruh besar yang ia torehkan di era penuh gejolak tersebut.
Bayangkan, Catherine lahir di tahun 1512, di tengah gejolak Reformasi Inggris yang mengguncang gereja dan negara.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, Catherine tumbuh menjadi perempuan terpelajar. Ia fasih berbagai bahasa, mendalami literatur klasik, dan yang paling menarik, memiliki ketertarikan besar terhadap teologi dan reformasi gereja.
Kecerdasannya tak perlu diragukan lagi. Ia tercatat sebagai wanita pertama di Inggris yang menerbitkan buku atas namanya sendiri. Sebuah prestasi yang luar biasa di era yang masih mengekang kebebasan berekspresi perempuan.
Jalan Berliku di Istana Henry VIII
Menjadi istri Henry VIII bukanlah hal yang mudah. Meilan Solly, editor sejarah di Smithsonian Magazine, menggambarkan Henry VIII sebagai "seorang pria yang memiliki nafsu rakus–untuk makanan, kekuasaan, dan wanita."
Ia adalah raja yang ambisius, egois, dan haus kekuasaan. Pernikahannya diwarnai intrik politik, pengkhianatan, dan bahkan pertumpahan darah. Dua dari istri Henry VIII dieksekusi, sementara dua lainnya diceraikan.
Catherine, dengan segala kecerdasannya, tentu menyadari risiko yang ia hadapi. Namun, ia bukanlah perempuan naif yang gemetar ketakutan.
Baca Juga: Bagaimana Pernikahan Henry VIII dan Anne Boleyn Picu Reformasi Agama di Inggris?
Ia memasuki pernikahan ini dengan mata terbuka dan hati yang teguh. Ia melihat peluang untuk menggunakan posisinya sebagai ratu untuk mendukung penyebaran agama Protestan dan mendorong reformasi keagamaan di Inggris.
Pada tahun 1546, Catherine Parr nyaris menemui ajalnya akibat keyakinannya yang teguh pada Reformasi Gereja.
Meskipun Henry VIII telah memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, ia tidak menyukai gerakan Reformasi yang lebih radikal dan menganggap dirinya sebagai pemimpin Gereja Inggris yang konservatif.
Catherine, dengan pandangannya yang lebih progresif, dianggap mengancam otoritas Henry di ranah agama.
Melihat peluang, para musuh Catherine di istana, yang mayoritas masih setia pada Katolik, menghasut sang raja. Mereka menuduh Catherine sebagai bidah dan ancaman bagi Gereja Inggris. Mereka juga menunjukkan tulisan-tulisan Catherine yang dianggap radikal dan menghasut Henry untuk mengambil tindakan tegas.
Henry, yang termakan hasutan, memerintahkan penangkapan Catherine. Surat perintah penangkapan pun disiapkan, dan Catherine terancam dipenjara di Menara London, tempat yang sama di mana dua istri Henry sebelumnya menemui ajal mereka.
Beruntung, Catherine mendengar informasi tersebut. Dengan segara ia melakukan manuver lihai untuk merayu sang raja.
"Ia mengatakan kepada Henry bahwa ia hanya menyinggung topik teologi untuk mengalihkan perhatian sang raja dari kesehatannya yang buruk dan untuk mendapatkan manfaat dari 'wacana terpelajar' sang raja," tulis Solly.
Strategi Catherine pun berhasil. Henry, yang dikenal mudah tersulut amarah, justru luluh dengan pendekatan cerdas sang ratu. Ia membatalkan surat perintah penangkapan dan memaafkan Catherine.
Kejadian ini dikenal sebagai salah satu momen paling menegangkan dalam hidup Catherine Parr, dan menunjukkan keberanian serta kecerdasannya dalam menghadapi bahaya.
Di balik intrik politik yang menegangkan, Catherine juga dikenal sebagai ibu yang penyayang bagi anak-anak Henry, terutama Mary dan Elizabeth, yang hubungannya dengan sang ayah sempat renggang akibat perbedaan pandangan politik dan agama.
Baca Juga: Termasuk 'Penggal' Anne Boleyn, Kegilaan Henry VIII Dipicu Kelainan Genetik?
Warisan Abadi Sang Ratu Pemberani
Setelah kematian Henry VIII pada tahun 1547, Catherine Parr menikah lagi dengan Thomas Seymour. Keduanya telah saling mengenal dan kemungkinkan telah memiliki perasaan satu sama lain sebelum menikah. Namun Catherine juga dicurigai menyimpan ambisi politik.
"Beberapa bukti menunjukkan bahwa Catherine tidak menikahi Thomas sepenuhnya karena cinta: Sebagai paman raja dan saudara dari Lord Protector, dia memiliki posisi yang baik untuk menjaga Catherine tetap dekat dengan kekuasaan," kata Solly.
Pernikahan ini dilakukan secara rahasia karena masih dalam masa berkabung resmi atas kematian raja.
Pada tahun 1548, Catherine Parr meninggal pada usia yang relatif muda, 36 tahun. Penyebab kematiannya diyakini adalah demam nifas atau infeksi pascapersalinan, yang merupakan komplikasi umum pada masa itu.
Meskipun hidupnya berakhir tragis, Catherine meninggalkan warisan yang luar biasa. Ia adalah sosok ratu yang cerdas, berani, dan berpengaruh. Ia menginspirasi banyak orang, termasuk Ratu Elizabeth I, yang menganggapnya sebagai panutan.
Dengan demikian, Catherine Parr, mewariskan lebih dari sekadar kisah cintanya dengan Henry VIII. Ia adalah obor yang berpijar di tengah kegelapan, menerangi jalan bagi perempuan di generasinya dan generasi-generasi selanjutnya.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR