Nationalgeographic.co.id - Peninggalan peradaban dunia kuno yang misterius ada di mana-mana. Salah satunya Carahunge yang berada di Syunik, provinsi paling selatan Armenia.
Situs kuno yang diperkirakan digunakan sejak ribuan tahun lalu ini, sebenarnya, masih diperdebatkan mengenai penamaannya seperti Carahunge, Zorats Karer, Dik-Dik Karer, Tsits Karer, Karenish atau Karahundj.
Bagaimanapun, Carahunge sangat menarik, yakni berupa komplek susunan batu seperti Stonehenge. Berkat fitur unik dan misterinya, dunia arkeologi Barat mulai mencari tahu jawaban fungsi dan peradaban seperti apa yang pernah memanfaatkannya.
Secara geografis, Carahunge berada di sekitar Pegunungan Kaukasus selatan. Tempat ini pernah dihuni secara silih berganti oleh berbagai peradaban dunia kuno. Pelbagai arkeolog pun berpendapat bahwa situs ini pun juga demikian, telah ada sejak prasejarah hingga abad pertengahan.
Penduduk setempat menyebut situs kuno ini sebagai Ghoshun Dash. Secara harfiah, nama ini adalah bahasa Turki yang berarti "Pasukan Batu". Ada mitos yang berkembang di tengah masyarakat yang meyakini bahwa batu ini didirikan oleh peradaban dunia kuno untuk memperingati pasukan yang tewas dalam perang.
Catatan ilmiah mengenai penyingkapan Carahunge berasal dari tahun 1935. Sejarawan dan etnografer Uni Soviet Stepan Lisitsian mengungkapkan situs ini adalah tempat beternak atau memelihara hewan.
Penelitian terhadap situs ini mulai berkembang setelah itu. Pada 1950an, situs ini ditemukan memiliki beberapa ruang permakaman yang memiliki jejak penanggalan dari abad ke-11 hingga ke-9 SM.
Kemudian, teori Lisitsian tentang tempat beternak atau pemeliharaan hewan dibantahkan pada 1984. Arkeolog Uni Soviet lainnya bernama Onnik Khnkikyan menyebut, situs komplek batu yang tertata rapi ini mungkin digunakan untuk pengamatan bintang oleh masyarakat peradaban dunia kuno.
Pendapat Khnkikyan ini didasari pada lubang batu yang memiliki diameter dua inci dengan kedalaman mencapai 20 inci. Lubang itu diyakini sebagai teleskop awal pada pemandangan yang jauh atau ke langit.
Antara Situs Astronomi dan Pemakaman Peradaban Dunia Kuno
Ilmuwan Uni Soviet pun melanjutkan penelitian dugaan fungsi pengamatan astronomi pada situs peradaban dunia kuno ini. Salah satunya Elma Parsamyan dari Byurakan Astrophysical Observatory asal Armenia, yang pertama kali menamai situs kuno ini sebagai Carahunge. Nama ini mengikuti nama desa 40 kilometer bernama Karahundj.
Baca Juga: Singkap Taktik Perang dalam Sejarah Dunia Kuno, Ada Bom Ular Berbisa
Parsamyan mengamati posisi lubang-lubang tersebut berdasarkan kalender astronomi. Dari hasil temuannya dalam publikasi berbahasa Armenia tahun 1985, lubang-lubang ini sejajar dengan matahari terbit dan terbenam pada titik balik matahari musim panas. Temuannya ini menyimpulkan kemungkinan fungsi situs Carahunge sebagai kalender astronomi.
Dekade berikutnya, penyelidikan ilmuwan Barat dimulai. Penyelidikan bermula ketika Paris Herouni, ahli radiofisika Uni Soviet-Armenia bersama timnya yang menyimpulkan Carahunge sebagai observatorium astronomi tertua di dunia. Penyelidikannya itu berlangsung sejak 1994 hingga 2001.
Hasil temuannya itu juga disahihkan setelah Herouni menghubungi Gerald Hawkins, astronom Amerika kelahiran Inggris yang terkenal dalam analisis Stonehenge sebagai observatorium astronomi peradaban dunia kuno. Analisis Herouni ini mengundang perdebatan hingga kini.
Hasil temuan itu justru mengundang Pavel Avetisyan, arkeolog National Academy of Sciences di Armenia. Avetisyan tidak berselisih dengan pandangan Herouni, melainkan menambahkan bahwa situs Carahunge sebenarnya multiguna "yang memerlukan penggalian dan studi jangka panjang".
Tim peneliti dari University of Munich datang menyelidiki pada 2001, dengan melibatkan Avetisyan. Hasil temuan mengkritik hipotesis observatorium astronomi peradaban dunia kuno.
Situs itu justru sebagian besar berfungsi sebagai kuburan peradaban dunia kuno era Zaman Perunggu Pertengahan hingga Zaman Besi. Tim memperkirakan pembangunan monumen ini tidak lebih dari 2000 SM. Dugaan ini selaras dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat.
Ditambah lagi, situs ini mungkin masih berfungsi sebagai tempat perlindungan selama masa perang pada masa peradaban Yunani kuno.
Richard Ney, ilmuwan Amerika yang pindah ke Armenia sejak 1992, pernah mengunjungi situs Carahunge pada 1997. Selama dua dekade berikutnya, dia turut bolak-balik menyaksikan situs peradaban dunia kuno yang memiliki pemandangan indah ini.
Ney berpendapat bahwa Carhunge "terjebak di antara dua cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dengan pandangan yang yang berlawanan". Dia lebih meyakini kebenaran pandangan yang menyebut situs kuno ini sebagai multiguna, baik pengamatan astronomi maupun kuburan dunia kuno.
"Saya rasa keduanya benar, namun saya tidak akan pernah mengakuinya," katanya, dikutip dari Smithsonian Magazine.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR