Nationalgeographic.co.id—Suku Baduy merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang mempunyai mitos tentang penciptaan alam semesta, asal-usul manusia, bahkan mitos tentang peristiwa yang akan terjadi. Mitos asal-usul manusia pada masyarakat Baduy bermula dari terciptanya Adam sebagai manusia pertama, kemudian ia mempunyai keturunan yang melahirkan seluruh bangsa di dunia.
Karena setiap manusia di dunia adalah cicit Adam, masyarakat Baduy meyakini bahwa seluruh umat manusia adalah dulur (saudara) meski berbeda adat dan agama. Realita kehidupan sosial masyarakat Baduy baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar adalah mereka sangat menghormati seluruh umat manusia walaupun berbeda budaya dan agama.
Abdurrahman Misno Bambang Prawiro dalam makalah studi berjudul "Baduy Pluralism: From Myth to Reality" menjelaskan bahwa penelitian ini menyimpulkan bahwa Suku Baduy merupakan masyarakat yang memahami kebinekaan dan kemajemukan budaya. "Hal ini didasarkan pada mitos yang mereka yakini dan terapkan dalam kehidupan mereka tentang toleransi terhadap agama lain," tulis Abdurrahman dalam makalah yang terbit di AL ALBAB - Borneo Journal of Religious Studies (BJRS) itu.
Suku Baduy punya berbagai mitos yang berisi tentang asal-usul dunia, manusia, dan peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Mitos yang diyakini di antaranya adalah penciptaan bumi melalui tiga fase, yaitu Jaman Poek atau Alam Gumulung, Alam Bercahaya (dunia terang), dan Alam Bumi Padang Poe Panjang (dunia nyata dalam kehidupan panca tengah).
Proses ini dimulai dari masa ketika bumi berbentuk kental dan bening, kemudian mengeras dan lama kelamaan melebar. Titik tolaknya terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buwana tempat ketujuh batara atau dewa diutus untuk menyebarkan manusia. Itu juga tempat nenek moyang.
Mitos tentang asal-usul manusia yang beredar di kalangan masyarakat Baduy adalah setelah selesai penciptaan dunia, Tuhan menciptakan (nurunkeun) Adam ke muka bumi bersama istrinya Hawa. Dari Adam dan Hawa, lahirlah keturunan mereka yang menjadi nenek moyang seluruh umat manusia di dunia ini.
Karena Adam sebagai nenek moyang orang Baduy mempunyai kewajiban menjaga mandala Sasaka Domas, keturunannyalah yang meneruskan tanggung jawab tersebut. Adapun keturunan Adam Serping mempunyai tugas untuk meramaikan dunia, menjadikan dunia ini sebagai sarana menikmati kebahagiaan.
Oleh karena itu, mitos Baduy diyakini menjadi dasar penerimaan mereka terhadap keragaman budaya dan adat istiadat dunia ini. Dengan kata lain, masyarakat Baduy memahami bahwa pluralitas dan multikulturalisme adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari karena merupakan takdir Nu Ngersakeun Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Berangkat dari mitos tersebut, mereka meyakini bahwa semua manusia berasal dari Adam yang merupakan manusia pertama di dunia. Karena manusia berasal dari satu garis keturunan, mereka meyakini bahwa seluruh umat manusia adalah dulur (saudara), sehingga kesetaraan sebagai manusia dalam keyakinannya dimaknai sebagai humanisme dan penghormatan terhadap seluruh umat manusia yang telah ada pada masyarakat Baduy.
Mitos tersebut diturunkan secara lisan oleh masyarakat Baduy dan diyakini sebagai fakta. Dan bukti yang mendukung hal tersebut adalah Sasaka Domas yang merupakan awal mula seluruh penciptaan alam semesta dan asal usul umat manusia.
"Mitos asal-usul manusia sangat diyakini oleh setiap anggota masyarakat Baduy. Hal ini terlihat dari hasil wawancara terhadap anggota masyarakat Baduy yang tinggal di sekitar persawahan yang meyakini bahwa mereka adalah keturunan Adam," tulis Abdurrahman.
Baca Juga: Wisatawan Mengancam Kearifan Lokal Suku Baduy dalam Menjaga Lingkungan
Gagasan ini mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Suku Baduy tidak pernah membeda-bedakan seseorang yang memasuki wilayahnya berdasarkan agama. Asalkan menghormati adat istiadat orang Baduy, maka mereka pun akan dihormati sama seperti tamu-tamu lainnya.
"Larangan bagi masyarakat asal Eropa, Belanda, Tionghoa dan non-Muslim lainnya untuk memasuki kawasan Baduy Tangtu disebabkan adanya kesepakatan antara pemerintah kolonial Belanda dan masyarakat Baduy. Dalam praktiknya, pelarangan tersebut bukan karena alasan agama, karena sebagian umat Kristiani juga boleh memasuki wilayah Baduy," papar Abdurrahman lagi.
Merry, seorang wanita beragama Kristen melakukan penelitian di Kampung Cibeo, sebuah wilayah di Baduy Dalam. Para jaro, puun, dan para tetua adat lainnya di sana mengetahui kehadirannya, tetapi mereka tidak mempertanyakannya.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Jaro Alim juga menunjukkan bahwa mereka sangat menghormati agama lain, terbukti dengan banyaknya tamu yang berkunjung ke Baduy Dalam dan ke para puun di Cikeusik, Cibeo atau Cikertawana untuk tujuan berbeda. Pada umumnya masyarakat yang datang berkunjung ke puun adalah mereka yang ingin mendapatkan keberkahan, kesejahteraan dan terhindar dari mara bahaya di dunia.
Mereka yang datang tidak hanya dari masyarakat Baduy saja, tetapi juga beragama Islam, Kristen, dan pemeluk agama lain. Menariknya, masyarakat tersebut kebanyakan berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, bahkan dari luar Pulau Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR