Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Queen Mary University di London, Inggris, mengungkapkan betapa buruknya dampak serangan Israel ke Gaza terhadap lingkungan.
Menurut penelitian tersebut, dalam 12 hari pertama serangan berlangsung, jumlah emisi karbon yang dihasilkan lebih tinggi dari total emisi tahunan dari 26 negara.
Lebih lanjut, para peneliti kemudian menyoroti bagaimana signifikannya dampak dari emisi karbon pada lingkungan yang dihasilkan dari serangan tersebut.
Secara rinci, tim mengungkapkan bahwa selama Oktober 2023 hingga Februari 2024, serangan Israel di Gaza telah menghasilkan emisi karbon sebanyak 420.265 hingga 652.552 ton setara CO2.
Sumber utama dari emisi tersebut berasal dari penerbangan, jejak karbon dari amunisi, dan kebutuhan energi untuk rekonstruksi, seperti yang disebutkan dalam laporan tersebut.
Dalam laporannya, para peneliti mengungkapkan bagaimana pesawat tempur dan pesawat pengintai Israel telah menggunakan 57,8 hingga 85,9 juta liter bahan bakar. Jumlah tersebut, jika diukur berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan, setara dengan 261.800 ton dan maksimum 372.480 ton setara CO2.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 100.000 peluru artileri yang ditembakan oleh militer Israel telah menyebabkan sekitar 12.000 ton emisi setara CO2.
Melansir laman New Arab, serangan Israel juga menyebabkan emisi tambahan sebesar 58.165 hingga 72.706 ton setara CO2.
Penelitian ini juga mengevaluasi emisi yang terkait dengan produksi energi di Gaza.
Sebelum dimulainya perang, Gaza menerima setengah dari pasokan listriknya dari Israel, sementara sisanya berasal dari pembangkit listrik tenaga surya dan lokal.
Namun, penghancuran infrastruktur enklave Gaza oleh Israel, termasuk pembangkit listrik, telah membuat Gaza bergantung pada generator diesel.
Baca Juga: Penemuan Kepala Patung Dewi dengan Mahkota Ular oleh Petani di Gaza
Penggunaan generator diesel telah menciptakan perkiraan emisi sekitar 19.440 hingga 58.320 ton setara CO2.
Rekonstruksi berat yang diperlukan untuk membangun kembali Gaza setelah perang berakhir juga akan menciptakan emisi jangka panjang, menurut penelitian ini.
Diperkirakan emisi ini akan mencapai sekitar 46,8 hingga 60 juta ton setara CO2, yang setara dengan emisi tahunan dari lebih dari 135 negara.
Pada bulan Januari, analisis menunjukkan bahwa 50 hingga 61 persen bangunan di Gaza telah hancur, setara dengan sekitar 156.000 hingga 200.000 bangunan rusak atau hancur.
Emisi karbon dalam di Ukraina
Kekhawatiran tentang emisi karbon yang dihasilkan dalam perang juga mencuat dalam serangan Rusia ke Ukraina. Sekelompok ahli iklim menyebutkan bahwa dalam dua tahun pertama perang tersebut, terdapat 175 ton emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.
Lebih jauh, para ahli juga mengungkapkan bagaimana emisi tersebut telah membuat dunia mengalami kerugian sebesar AS$32 miliar akibat cuaca ekstrem.
Angka tersebut selanjutnya digunakan oleh Ukraina untuk menambahkan biaya terkait iklim ini ke daftar kerusakan yang menjadi tanggung jawab Rusia, dan untuk itu akan menuntut kompensasi.
“Ini akan menjadi bagian penting dalam kasus ganti rugi yang kami bangun terhadap Rusia,” kata Menteri Perlindungan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Ukraina, Ruslan Strilets, seperti dilansir dari laman New Scientist.
“Luka-luka ini akan terjadi pada ekonomi dan masyarakat sebagai akibat dari dampak cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, yang merupakan hasil dari emisi,” kata Lennard de Klerk, seorang pengusaha yang terlibat dalam usaha terkait iklim dan pendiri Inisiatif Akuntansi Gas Rumah Kaca Akibat Perang.
Kelompok tersebut baru saja merilis penilaian keempat mengenai dampak perang, yang mencakup periode Februari 2022 hingga Februari 2024.
Baca Juga: Hamas Klaim Temukan Makam dari Era Romawi di Kota Gaza, Palestina
Hasilnya menunjukkan bahwa rekonstruksi bangunan yang hancur akibat bom, jalan, dan infrastruktur lainnya adalah sumber emisi terbesar, menyumbang hampir sepertiga dari total 175 megaton. Angka ini juga mencakup rekonstruksi yang belum terjadi.
Sepertiga lainnya merupakan hasil langsung dari peperangan, dengan penggunaan bahan bakar sebagai bagian terbesar dari emisi ini.
Sekitar 14 persen dari total emisi disebabkan oleh penerbangan penumpang yang harus mengubah rute untuk menghindari wilayah Rusia dan Ukraina. Misalnya, penerbangan dari Tokyo ke London kini melewati Kanada daripada Rusia, meningkatkan waktu terbang dari 11 menjadi 15 jam.
Sebanyak 13 persen disebabkan oleh peningkatan kebakaran lahan, yang tercatat oleh satelit. Ini bukan hanya karena senjata menyebabkan kebakaran, tetapi juga karena penghentian pengelolaan kebakaran di wilayah yang diduduki, menurut penilaian tersebut.
Angka-angka ini memiliki ketidakpastian besar, karena tidak ada angka resmi yang dapat diandalkan dalam sebagian besar kasus. Sebaliknya, kelompok ini harus mengandalkan penilaian sumber terbuka atau angka dari konflik sebelumnya.
Ada juga pertanyaan sejauh mana penilaian efek berantai dari perang ini. “Kami berusaha sekomprehensif mungkin,” kata Lennard de Klerk, pendiri Inisiatif Akuntansi Gas Rumah Kaca Akibat Perang.
“Namun, ada batasan, beberapa efek mungkin terlalu jauh atau terlalu sulit untuk diukur.”.
Mengestimasi seberapa besar kerugian yang akan dihasilkan dari emisi tambahan – yang dikenal sebagai biaya sosial karbon – merupakan area yang rumit. “Ilmu pengetahuan tentang mencoba memberikan nilai moneter pada kerusakan masa depan masih terus berkembang,” kata Lennard de Klerk.
Estimasi AS$32 miliar didasarkan pada studi tahun 2022 yang menetapkan biaya sosial karbon sekitar AS$185 per ton CO2.
Jika jumlah ini – yang terus meningkat setiap hari – pernah dibayarkan, de Klerk berpendapat bahwa sebagian harus diberikan kepada Ukraina untuk digunakan dalam langkah-langkah seperti mengembalikan hutan, untuk membantu menangkap kembali sebagian karbon.
Potongan lainnya seharusnya diberikan kepada negara-negara yang paling terdampak oleh pemanasan global, mungkin melalui sistem yang sudah ada bernama Dana Iklim Hijau. Namun, keputusan politik mengenai penggunaan dana tersebut masih harus diselesaikan.
Baca Juga: Rhinocolura, Kota Berpenghuni Manusia Tanpa Hidung di Era Mesir Kuno
Selama beberapa dekade, negara-negara berpendapatan rendah dan kepulauan telah berjuang untuk menetapkan prinsip bahwa negara-negara berpendapatan tinggi yang menghasilkan emisi tinggi harus membayar kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca mereka.
Dana kerugian dan kerusakan akhirnya didirikan tahun lalu sebagai bagian dari perjanjian iklim internasional.
"Kotak hitam" emisi karbon dari perang
Dr. Benjamin Neimark, Dosen Senior di Sekolah Bisnis dan Manajemen, telah menulis untuk The Conversation tentang upaya untuk membuka “kotak hitam” emisi selama perang.
Menurut Neimark, dampak emisi karbon dari konflik bersenjata dan pengaruh jangka panjangnya terhadap iklim seringkali luput dari perhatian.
Para peneliti, termasuk Neimark, memperkirakan bahwa militer Amerika Serikat saja menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar dibandingkan dengan 150 negara lainnya.
Sayangnya, pembahasan mengenai hubungan antara militer dan perubahan iklim kerap kali hanya berfokus pada risiko keamanan global di masa depan akibat perubahan iklim.
Walaupun ada upaya tentatif dari pihak militer untuk membuat persenjataan mereka lebih ramah lingkungan, seperti pengembangan tank listrik atau kapal perang berbahan bakar biofuel, diskusi mengenai kontribusi militer terhadap perubahan iklim, khususnya selama masa peperangan, masih sangat minim.
Kurangnya transparansi dari pihak militer membuat perhitungan emisi karbon secara menyeluruh menjadi sangat sulit, bahkan di masa damai. Para peneliti pada dasarnya harus mencari cara sendiri.
Bersama rekan-rekan, Neimark menggunakan berbagai metode untuk membuka "kotak hitam" emisi masa perang ini dan menuntut pelaporan emisi militer yang transparan kepada badan iklim PBB, UNFCCC.
Berikut adalah beberapa cara militer menghasilkan emisi dan bagaimana Neimark dan kawan-kawan, seperti dilansir dari laman World Diarium, memperkirakan jumlahnya.
Militer bukan hanya menyumbang emisi saat perang berkecamuk. Aktivitas mereka, bahkan di masa damai, meninggalkan jejak karbon yang signifikan.
Jejak ini berasal dari berbagai sumber, mulai dari bahan bakar fosil yang dibakar pesawat tempur dan tank, hingga rantai pasokan yang kompleks untuk memproduksi senjata dan amunisi.
Penyumbang emisi terbesar militer adalah bahan bakar fosil. Pesawat tempur, tank, dan kapal perang melahap bahan bakar jet dan solar dalam jumlah besar, memuntahkan gas rumah kaca ke atmosfer. Aktivitas latihan, patroli, dan bahkan perpindahan pasukan pun turut memperparah emisi.
Dampak militer terhadap lingkungan tak berhenti pada asap knalpot. Emisi "Scope 2" muncul dari pembangkit listrik yang memasok energi ke barak dan pangkalan militer.
Lalu, ada pula "Scope 3" yang mencakup emisi dari rantai pasokan rumit, mulai dari manufaktur senjata hingga logistik.
Neimark dkk. memperkenalkan kategori baru: "Scope 3 Plus". Kategori ini mencakup emisi dari kerusakan akibat perang dan upaya rekonstruksi pasca konflik.
Pemboman dan penghancuran infrastruktur di Gaza atau Mariupol, misalnya, menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.
Di balik strategi kontra-insurjensi perkotaan militer Amerika Serikat di Irak, tersembunyi jejak karbon yang tak terduga: beton.
Penelitian terbaru mengungkap dampak signifikan penggunaan beton dalam pembangunan tembok sepanjang ratusan kilometer di Baghdad selama pendudukan tahun 2003 hingga 2011.
Tembok-tembok ini, meskipun dimaksudkan untuk melindungi dari bom dan mengatur pergerakan, meninggalkan luka bagi lingkungan. Beton, material penyusunnya, terkenal dengan jejak karbonnya yang besar. Hampir 7% emisi CO₂ global berasal dari produksi beton.
Bayangkan: tembok di Baghdad, sepanjang 412 km (256 mil), lebih panjang dari jarak London ke Paris. Pembangunannya menghasilkan emisi 200.000 ton CO₂ dan gas setara lainnya (CO₂e).
Jumlah ini setara dengan emisi gas buang tahunan kendaraan bermotor di Inggris, atau emisi keseluruhan negara kepulauan kecil.
KOMENTAR