Nationalgeographic.co.id—Di provinsi Shanxi, Tiongkok, berdiri megah Pagoda Sakyamuni, sebuah menara kayu tertua dan tertinggi di negara itu.
Menara berusia 1.000 tahun ini, yang merupakan peninggalan Kekaisaran Tiongkok, telah melalui berbagai bencana alam dan peperangan. Kini, berkat teknologi kecerdasan buatan (AI), pagoda ini 'hidup' kembali, memungkinkan para pengunjung untuk merasakan pengalaman yang tak terlupakan.
Teknologi AI telah diterapkan untuk meningkatkan pemahaman struktur pagoda, memvisualisasikan kondisinya dari waktu ke waktu, dan bahkan membantu persiapan pekerjaan restorasi.
Para pengunjung pun dapat menjelajahi seluruh pagoda melalui animasi 3D yang realistis, sebuah pengalaman yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.
Artikel ini akan membahas bagaimana teknologi AI membantu pelestarian Pagoda Sakyamuni, memberikan wawasan tentang sejarah dan arsitekturnya yang luar biasa, dan menunjukkan bagaimana teknologi ini membuka peluang baru untuk menghadirkan warisan budaya yang kaya kepada generasi mendatang.
Saksi bisu sejarah China
Pagoda Sakyamuni, sebuah monumen kayu tertua dan tertinggi di negeri Tirai Bambu ini. Menara setinggi 67 meter ini telah kokoh selama 968 tahun, menjadi saksi bisu berbagai peristiwa sejarah, bencana alam, dan peperangan.
Dibangun pada tahun 1056 di bawah Dinasti Liao (916-1125), Pagoda Sakyamuni merupakan mahakarya arsitektur yang memukau. Seluruh struktur pagodanya terbuat dari kayu tanpa paku, menampilkan sambungan mortise dan tenon yang rumit dan tak terhitung jumlahnya.
Menjulang tinggi bak gedung 20 lantai dengan diameter dasar sekitar 30 meter, pagoda ini memancarkan aura keagungan dan keanggunan yang tiada tara.
"Meski Pagoda Sakyamuni memiliki sembilan tingkat, demi menjaga kelestariannya, pengunjung hanya diperbolehkan memasuki lantai pertama," tulis Luo Wangshiu dan Zhu Xingxin di laman China Daily.
Pada tahun 1933, arsitek terkenal Liang Sicheng terkesima dengan struktur rumit dan desain cerdas pagoda ini. Ia dengan teliti mengukur, mensurvei, dan mendokumentasikan bangunan tersebut, memperkenalkan peninggalan berharga ini kepada Tiongkok dan dunia.
Baca Juga: Benarkah Mural Makam dari Kekaisaran Tiongkok Ini Lukiskan Sosok Asing?
Selama bergenerasi, Pagoda Sakyamuni, atau yang lebih dikenal dengan Pagoda Kayu Yingxian, menjadi landmark paling terkemuka di Yingxian. Namun, seiring waktu, menara ini mulai mengalami kemiringan.
Zhao Yushan, seorang tukang kayu berusia 63 tahun di Yingxian, begitu terpesona saat pertama kali melihat menara tersebut di masa remajanya. Sejak saat itu, ia mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk mereplikasinya.
Dengan menggunakan metode konstruksi tradisional, ia telah membuat banyak replika skala kecil Pagoda Sakyamuni. Saat ini, ia tengah mengerjakan replika setinggi 8 meter.
Pagoda ini memiliki struktur segi delapan dengan sembilan lantai, di mana lima lantai terlihat dari luar dan empat lainnya berada di bagian dalam. Patung Buddha di setiap lantai dan lukisan yang menghiasi dinding bagian dalam lantai pertama adalah karya seni dari Dinasti Liao.
"Masyarakat setempat percaya bahwa pagoda ini dibangun oleh Lu Ban (legenda ahli pertukangan kayu Tiongkok pada Periode Musim Semi dan Musim Gugur (770-476 SM)). Pengerjaannya sungguh melampaui kemampuan manusia," ungkap seorang warga Yingxian yang bermarga Li.
"Ia menambahkan bahwa kemiringan pagoda yang semakin bertambah selama beberapa tahun terakhir membuat pekerjaan restorasi menjadi semakin mendesak," jelas Wangshiu dan Xingxin.
Dilestarikan dan 'dihidupkan' lewat teknologi tinggi
Pada bulan April, program realitas virtual (VR) yang mereplikasi pagoda ini diluncurkan, membuka gerbang bagi pengalaman wisata yang revolusioner.
Di balik proyek inovatif ini, terdapat kolaborasi erat antara Lenovo Group dan Sekolah Arsitektur Universitas Tsinghua. Dimulai pada Februari tahun lalu, tim Universitas Tsinghua memulai pembuatan model struktur kayu di dalam pagoda, menghasilkan basis data parameter yang komprehensif.
Lenovo Group, di sisi lain, memanfaatkan teknologi komputasi spasial berbasis AI yang mereka kembangkan. Teknologi ini menggabungkan kecerdasan buatan (AI), "neural radiance fields", dan realitas tertambah (AR) untuk membangun "kembaran" digital pagoda dengan presisi tinggi.
Hasilnya, pengunjung dapat merasakan sensasi seolah-olah mereka sedang menaiki pagoda dan menjelajahi bagian dalamnya secara virtual, hanya dengan mengenakan kacamata VR.
Baca Juga: Rekonstruksi Kemegahan Jamuan ala Kekaisaran Tiongkok, Ada Tangan Beruang
Program VR ini tak hanya memberikan pengalaman wisata yang imersif, tetapi juga menjadi alat edukasi yang bermanfaat untuk mempelajari sejarah dan arsitektur pagoda yang kaya.
"Ini adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu berbulan-bulan jika menggunakan metode tradisional," ungkap Mao Shijie, wakil presiden Lenovo Group dan kepala Lenovo Research Shanghai. "Teknologi AIGC mutakhir memungkinkan rekonstruksi digital pagoda dengan cepat, hanya dalam waktu 10 jam."
Keunggulan teknologi AI tak berhenti di situ. Algoritma AI dipadukan dengan data yang dikumpulkan dari drone dan kamera radar untuk menciptakan kembali detail rumit pagoda secara presisi.
Hal ini memungkinkan para peneliti untuk mempelajari struktur pagoda dengan lebih mendalam dan membantu upaya pelestariannya di masa depan.
Profesor Liu Chang dari Universitas Tsinghua, salah satu sosok di balik proyek VR Pagoda Yingxian, menekankan pentingnya memahami pagoda secara menyeluruh dari berbagai perspektif untuk memandu restorasi yang efektif.
Baginya, mengungkap transformasi sejarah pagoda dan memprediksi kondisi masa depannya adalah langkah krusial dalam proses pelestarian.
Liu berharap dapat menggunakan data yang dikumpulkan dari proyek VR ini untuk menganalisis dan menyimpulkan penampilan pagoda di periode yang berbeda. "Saya bisa melihat seberapa besar pagoda ini tertekan dan berubah seiring berjalannya waktu," ujarnya.
Dengan mengungkap wujud pagoda di berbagai tahap sejarahnya, Liu berharap dapat berspekulasi tentang bagaimana pagoda mungkin terlihat pada periode tertentu.
Hal serupa terjadi seperti saat arsitek terkenal Tiongkok Liang Sicheng melihatnya pada 1930-an, atau pada masa Dinasti Song (960-1279), Dinasti Jin (1115-1234), dan Dinasti Yuan (1271-1368).
Lebih dari sekadar nostalgia, Liu ingin memanfaatkan data ini untuk memahami bagaimana struktur pagoda telah berubah seiring waktu dan bagaimana faktor-faktor seperti tekanan angin, kelembaban, dan getaran tanah telah memengaruhinya.
"Bahkan mungkin untuk memprediksi penampilan pagoda di masa depan dengan menyesuaikan parameter dan menstimulasikan bagaimana kayu dapat berubah setelah lebih dari 100 tahun," ungkapnya.
Baca Juga: Kenapa Dinasti Ming Pindahkan Ibu Kota Kekaisaran Tiongkok ke Beijing?
Langkah pertama dalam melindungi atau bahkan merestorasi pagoda adalah mengenalnya secara mendalam, tegasnya.
Pagoda yang miring ini "sakit", kata Liu, dan untuk "menyembuhkannya", mereka harus terlebih dahulu menemukan "rumah sakitnya".
Mengatasi tantangan dalam melindungi pagoda, Liu menyoroti perlunya persiapan yang cermat, pemahaman menyeluruh tentang kondisi pagoda, dan penggunaan teknologi inovatif untuk mendorong upaya konservasi ke depan.
Wang Xiaolong, wakil direktur Institut Perlindungan dan Penelitian Bangunan Kuno dan Patung Berwarna di provinsi Shanxi, berharap lebih banyak informasi tentang pagoda, seperti desain asli bangunan dan degradasi material, dapat dikumpulkan dengan memanfaatkan teknologi seperti AI dan big data.
"Kami para ahli bertanggung jawab untuk melindungi dan bahkan merestorasi pagoda, sementara orang lain dapat melihat mahakarya ini dan mencintainya," pungkas Liu dari Universitas Tsinghua.
KOMENTAR