Nationalgeographic.co.id—Gelar paus adalah salah satu gelar keagamaan yang paling dikenal di dunia.
Namun, tidak banyak orang yang mengetahui asal-usul dan makna di baliknya. Kenapa pemimpin Katolik disebut Paus?
Artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut dan mengajak Anda untuk memahami sejarah panjang dan menarik di balik gelar paus.
Sejarah singkat Paus dalam Katolik
Dengan basis pengikut hampir satu miliar jiwa—membentuk organisasi afiliasi terbesar di dunia—pengaruh Paus terhadap budaya global begitu luas hingga sulit diukur.
Setiap arahannya tak hanya bergema di ruang diplomasi internasional, tetapi juga menjangkau isu-isu paling pribadi dalam kehidupan umat manusia, mulai dari seks pranikah hingga pengendalian kelahiran.
Kiprah Paus turut membentuk persepsi global terhadap perempuan, kaum homoseksual, serta mereka yang tertindas dan hidup dalam kemiskinan. Saat ini, umat Katolik dipimpin oleh Paus Yohanes Paulus II.
Namun, jabatan ini melampaui sosok individu. Paus hanyalah penghuni sementara sebuah kursi kepemimpinan yang sejarahnya hampir mencapai dua milenium.
Melansir Catholic.org, tradisi Katolik mengajarkan bahwa fondasi Kepausan diletakkan langsung oleh Yesus Kristus pada abad pertama Masehi.
Ketika memilih Santo Petrus sebagai pemimpin para rasul, dalam injil Matius 16:18, Yesus menyatakan:
"Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga".
Baca Juga: Katolik di Akhir Masa Dinasti Ming: Kala Buku Catatan Pahala-dosa Dikritik
Pernyataan yang kini menghiasi kubah Basilika Santo Petrus di Roma tersebut menjadi landasan teologis bagi keberadaan Paus. Setiap Paus sejak itu dianggap sebagai penerus spiritual Petrus dan duduk di "Kursi Petrus".
Kata-kata Yesus yang menjanjikan kunci kerajaan surga kepada Petrus semakin memperkuat kedudukan Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Sejak saat itu, lebih dari 260 individu telah menduduki tahta suci ini.
Institusi Kepausan telah melewati berbagai pasang surut sejarah Eropa, dari runtuhnya Kekaisaran Romawi hingga gejolak Perang Salib dan kebangkitan Renaisans Italia.
Dalam era modern, para Paus menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Mereka berupaya keras menyeimbangkan doktrin Katolik yang kokoh dengan realitas kehidupan kontemporer, termasuk mempertahankan pendirian yang tegas terhadap isu-isu seperti aborsi dan hukuman mati.
Kenapa pemimpin Katolik disebut dengan Paus?
Melansir laman National Catholic Register, kata "pope" (yang di Indonesia lebih dikenal dengan "paus") dan "patriark" berasal dari kata Yunani kuno "páppas" yang memiliki arti "bapak".
Awalnya, kata ini digunakan sebagai panggilan sayang untuk merujuk kepada seorang ayah. Namun, seiring berjalannya waktu, makna kata ini mengalami perkembangan dan akhirnya diadopsi dalam konteks keagamaan.
Catatan tertulis pertama yang mencatat penggunaan gelar "pope" ditemukan pada abad ketiga Masehi, tepatnya pada sosok Patriark ("Pope") Heraclas dari Alexandria (232-248).
Pada awal abad ketiga, gelar ini diberikan kepada semua uskup. Kasus pertama penggunaan "pope" untuk menyebut uskup Roma juga berasal dari abad ketiga, ketika diberikan kepada Pope Marcellinus.
Di Indonesia sendiri, "pope" lebih sering diterjemahkan menjadi "paus". Hal ini disebabkan karena kata tersebutlah yang digunakan oleh Belanda dalam menyebut pemimpin tertinggi agama Katolik.
Selama masa penjajahan Belanda, banyak misionaris Belanda yang menyebarkan agama Katolik di Nusantara. Proses penyebaran agama ini turut membawa serta istilah 'paus' ke dalam kosakata bahasa Indonesia.
Baca Juga: Bagaimana Pernikahan Henry VIII dan Anne Boleyn Picu Reformasi Agama di Inggris?
Santo Petrus
Berbicara tentang kepausan, tentu saja tidak lengkap tanpa membahas sosok paus pertama, yaitu Petrus.
Dari desa nelayan Betsaida di tepi Danau Galilea, muncullah sosok yang akan menjadi pilar Gereja. Simon, begitu ia awalnya dikenal, menjalani hidup sederhana sebagai nelayan bersama saudaranya Andreas.
Namun, melansir laman stpeterswoolwich.church, takdirnya berubah drastis ketika ia bertemu Yesus dan diajak mengikuti-Nya.
Yesus melihat potensi besar dalam diri Simon, lalu memberinya nama baru: Petrus, yang berarti "batu". Nama ini bukan sekadar panggilan, melainkan sebuah simbol. Yesus hendak menjadikan Petrus sebagai landasan kokoh bagi Gereja-Nya yang sedang dibangun.
Pernyataan iman Petrus yang teguh menjadikannya sosok sentral di antara para rasul. Yesus bahkan mempercayakan kepadanya "kunci-kunci kerajaan surga", sebuah simbol otoritas spiritual yang luar biasa.
Namun, seperti manusia biasa, Petrus juga memiliki kelemahan. Pada malam penangkapan Yesus, ia sempat menyangkal mengenal Gurunya.
Meski begitu, kasih Yesus yang tak terbatas memaafkan Petrus dan memberinya kesempatan untuk membuktikan kesetiaannya. Setelah kebangkitan Yesus, Petrus kembali menegaskan cintanya dan menerima tugas mulia untuk menggembalakan umat-Nya.
Kisah Petrus setelah Kenaikan Yesus pun tak kalah menarik. Ia menjadi pemimpin utama dalam Gereja perdana dan menyampaikan khotbah yang menggetarkan hati ribuan orang pada hari Pentakosta.
Namun, karena imannya yang teguh, ia juga menjadi sasaran penganiayaan. Herodes Agung, raja Yudea, berusaha membunuhnya, namun campur tangan ilahi membebaskannya dari penjara.
Petrus kemudian melanjutkan misinya untuk menyebarkan Injil ke berbagai penjuru. Tradisi Kristen menyebutkan bahwa ia akhirnya tiba di Roma pada masa pemerintahan Kaisar Nero.
Pada tahun 64 M, Nero menyalahkan orang-orang Kristen atas kebakaran yang menghancurkan kota itu. Petrus adalah salah satu orang Kristen yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dengan penyaliban.
Atas permintaannya sendiri, ia disalibkan dengan posisi terbalik karena ia tidak menganggap dirinya layak mati dalam posisi yang sama dengan Tuan Ilahi-Nya.
KOMENTAR