Nationalgeographic.co.id—“Sering ada momen yang terlewat untuk diabadikan saat teman-teman berkunjung ke daerah,” demikian ujar Ade Haris, Kepala Divisi Umum dan Sumber Daya Manusia Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), saat membuka Workshop Fotografi dan Videografi yang dihelat oleh BPDLH, di Habitate, Jakarta, Kamis (15/8/2024).
Ade lalu bercerita bagaimana dirinya kerap menemui rekan kerjanya yang berbagi cerita menarik tentang kunjungannya ke daerah tertentu, namun tanpa ada foto yang bisa ditunjukkan. Pun sebaliknya, ada yang mampu menunjukkan foto, namun, cerita di baliknya justru kurang menarik.
Untuk itulah, Ade merasa perlu untuk menggelar sebuah lokakarya mengenai cara mendapatkan sebuah foto yang tidak hanya mampu merekam momen menarik saat rekan-rekannya berkunjung ke daerah, tapi juga mampu bercerita.
Di sisi lain, dalam kesempatan yang sama, Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia juga mengakui bahwa terkadang mengalami redaksi kesulitan untuk memublikasikan siaran pers dari lembaga pemerintahan karena kurangnya foto yang mumpuni.
“Penemuan sebagus apapun tanpa bisa divisualkan tidak akan bisa kami publikasikan,” ungkap Didi.
Apalagi, bagi Didi, saat ini, semakin sulit untuk mendapatkan perhatian pemirsa melalui teks. Hal yang berbeda jika yang digunakan adalah audio-visual. Padahal, perhatian pemirsa merupakan salah satu kunci jika ingin menyampaikan sebuah kampanye, termasuk kampanye terkait isu lingkungan.
"Privilege" yang tak lagi istimewa
Donny Fernando, fotografer National Geographic Indonesia, membuka pemaparannya dengan status fotografi yang dulu menjadi sebuah privilege, kini justru sudah menjadi keseharian. Sebab, saat ini kamera sudah sangat compact. Termasuk di antaranya, tentu saja, kamera yang sudah otomatis tertanam di dalam ponsel pintar yang sehari-hari kita gunakan.
Namun, tetap ada satu bagian penting yang membedakan beragam jenis kamera yang ada sekarang, yaitu sensor. Ini merupakan otak dari setiap kamera yang digunakan. Semakin baik sensor yang digunakan, maka semakin baik pula hasil foto yang dihasilkan.
Hal ini menjadi penting terkait dengan tujuan dari penggunaan kamera. Jika tujuannya masih terbatas untuk keperluan digital, maka sensor kecil seperti di kamera ponsel, itu masih cukup. "Namun, jika tujuannya adalah dicetak, di media kertas misalnya, maka sangat diperlukan kamera dengan sensor besar," papar Donny saat mengisi lokakarya.
Baca Juga: Mengulik Konsep dan Teknik Fotografi Menggunakan iPhone di Bali
Selanjutnya, Donny memaparkan tentang exposure triangle yang terdiri dari aperture, shutter speed, dan ISO. Menurut Donny, ketiganya sangat penting dalam penggunaan kamera, "Tapi kita hanya bisa memprioritaskan salah satunya dan mengorbankan yang lain saat mengambil foto."
Terkait lensa, Donny menegaskan bahwa masing-masing lensa memiliki fungsi sendiri. Untuk itu, lanjut Donny, sebelum berangkat, "Kita harus memilih lensa paling ideal yang akan kita bawa."
Sementara untuk komposisi, Donny menjelaskan bahwa sebelum kamera menjadi hal yang umum dimiliki hampir setiap orang, hanya ada enam komposisi dasar. Saat ini, jumlahnya sudah bertambah pesat hingga mencapai ratusan. "Meski demikian rule of thirds masih menjadi komposisi idel untuk mereka yang pertama kali belajar fotografi," ujarnya.
Terakhir, Donny menekankan tentang etika dalam fotografi, khususnya yang terkait dengan laporan atau liputan. Salah satu yang wajib diperhatikan adalah fotografer tidak boleh mengatur (setting) foto yang akan diambil. Hal yang diperbolehkan adalah mengarahkan (directing). "Ini boleh dilakukan untuk mendapatkan foto yang baik," pungkasnya.
Membuat sequence, bukan hanya momen
Jika fotografi menangkap momen dari sebuah peristiwa, maka video lebih dari itu, yaitu menangkap sequence (rangkaian) sebuah peristiwa. Demikian salah satu pemaparan pembuka dari Ricky Martin, Videografer National Geographic Indonesia.
Dalam videografi, menurut Ricky, umumnya terdiri dari beberapa tahapan, antara lain pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi.
Dimulai dari pra-produksi, Ricky menekankan pentingnya riset terkait seperti apa kondisi di lapangan nantinya serta tujuan dari pengambilan video. "Apakah akan menjadi liputan atau hanya laporan visual yang sederhana?" tutur Ricky.
Tahapan ini juga akan menentukan jenis alat apa saja yang akan dibawa ke lapangan agar sesuai dengan tujuan pengambilan video dan kondisi lapangan. "Misal jika perlu wawancara, maka kita perlu membawa clip-on microphone," ujarnya.
Tim pra-produksi sendiri secara ideal terdiri dari penanggung jawab riset, penanggung jawab kreatif, serta penulis skrip. Namun, terkadang, bisa saja ketiga fungsi tersebut justru bisa kerjakan hanya oleh satu orang.
Salah satu hal yang penting dalam pembuatan video adalah bagaimana teks itu dibuat untuk didengar, bukan untuk dibaca. Untuk itu, terkadang pemilihan katanya jadi berbeda. "Di video diusahakan bahasa yang dipakai bukan bahasa yang terlalu baku," jelas Ricky, "mirip bahasa radio."
Untuk di lapangan, tahap produksi, pengambilan visual tidak jauh berbeda dengan fotografi. Termasuk di antaranya adalah penerapan metode EDFAT (entire, detail, frame, angle, dan time) dalam fotografi yang persis digunakan dalam videografi.
Hanya saja, ada satu hal di luar teknis visual yang perlu diperhatikan dengan sangat baik, yaitu kualitas suara. Bahkan, bisa jadi, jika harus memilih, aspek suara lebih diutamakan dibandingkan dengan aspek visual.
Ricky kemudian membandingkan video yang memiliki kualitas visual baik, tapi dengan kualitas suara yang buruk dengan video yang memiliki kualitas visual buruk, tapi dengan kualitas suara yang baik. Hasilnya, semua peserta sepakat bahwa video terakhirlah yang dianggap lebih baik.
"Meski memiliki kualitas visual mewah, tapi jika kualitas audio sangat buruk, maka pesan yang ingin dipaparkan tidak sampai sama sekali," terang Ricky.
Praktik langsung
Selesai pemaparan dari dua narasumber, para peserta kemudian diminta untuk mempraktikkan ilmu yang didapat. Mereka diminta untuk merekam momen-momen human interest yang ada di sekitar area lokakarya.
Menariknya, para peserta yang telah dibagi ke dalam delapan kelompok tersebut, ternyata sudah berhasil menerapkan beberapa ilmu yang sudah disampaikan.
Baik secara teknis penggunaan kamera, maupun bagaimana membuat foto-foto tersebut bisa menjadi foto yang bercerita.
Terakhir, terpilih dua foto yang bisa mewakili keduanya, yaitu baik secara teknis dan memiliki cerita yang baik untuk disampaikan.
Baca Juga: Tips Fotografi Cahaya Rendah Waktu Malam Menggunakan Ponsel iPhone
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
KOMENTAR