Orang-orang asing dan orang-orang yang mempunyai profesi tertentu juga dikenai pajak. Mereka disebut sebagai warga kilalan, yang anehnya hanya terdapat di dalam prasasti-prasasti raja Dharmawangsa Airlangga.
Mereka termasuk orang-orang Kalinga, Arya, Sri Lanka, Pandya dan Chera, Drawida, Campa, Kamboja, Pegu, Karnataka, dan orang-orang dengan profesi tertentu seperti pemimpin pasukan, tukang gendang, penari wayang, dalang, penari topeng, pelawak, dan lain-lain.
Sangat dimungkinkan bahwa orang-orang asing itu menetap di Indonesia sebagai pedagang dan dikenai pajak khusus perdagangan atau penjualan.
Pada saat seperti itu, raja mengadakan ‘pasowanan ageng.’ Ia dihadap oleh putra mahkota dan putra-putra yang lain yang mempunyai tugas dalam pemerintahan, para pejabat tinggi kerajaan, para penguasa daerah dan para pejabat rendahan. Sebagian rakyat menyaksikan di alun-alun.
Gambaran seperti itu dijumpai antara lain dalam kitab Negarakertagama yang memberi keterangan bahwa raja Hayam Wuruk dihadap untuk memperoleh paripuja dari para pejabat, para penguasa daerah dan rakyat pada bulan Phalguna (Februari-Maret) sampai bulan Caitra (Maret-April). Selain itu ada berbagai kakawin serta kidung yang juga mengungkap ‘pasowanan ageng’ seperti itu.
Penyelewengan pungutan pajak atau kesalahpahaman?
"Beberapa prasasti ternyata mengungkap beberapa kasus yang terlihat seperti penyimpangan-penyimpangan dalam praktis pemungutan pajak," papar Boechari. Salah satu contohnya seperti yang termuat dalam prasasti Palepanan tahun 828 Saka.
Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa rama (pejabat desa) desa Palepanan mendapat anugerah prasasti dari Rakryan Mapatih I Hino pu Daksa. Hal itu terjadi karena mereka berselisih paham dengan san nayaka, yaitu Bhagawanta Jyotisa.
Oleh san nayaka sawah mereka semua dihitung 2 lamwit, dan mereka diwajibkan membayar pajak sebanyak 6 dharana perak untuk setiap tampah. Tapi pada kenyataannya sawah mereka kurang dari 2 lamwit, sehingga harusnya pajak yang dikenakan juga tidak setinggi itu.
Sebagai bentuk protes, mereka menghadap rakyan mahapatih i hino, agar sawah mereka diukur kembali dengan benar. Setelah diukur kembali ternyata hasilnya hanya 1 lamwit 7,5 tampah, sehingga pajak yang harus dibayar yakni 5 kati dan 5 dharana perak. Kasus serupa juga dijumpai dalam prasasti Luitan tahun 823 Saka dan prasasti Kinewu 829 Saka.
Prasasti Kinewu memberi keterangan menarik terkait hirarki dalam pemerintahan dan prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Pertama-tama para pejabat desa Kinewu mengajukan protes kepada penguasa daerah yang membawahi desa yakni Rakyan i Randaman (nayaka), dengan membayar sejumlah uang.
Baca Juga: Bersimpuh Di Tanah Leluhur Para Raja Jawa
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR