Para pejabat desa kemudian meneruskan protes ke raja dengan perantara pratyaya dari wilayah Randaman. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak lagi.
Setelah itu, di ibu kota kerajaan mereka diterima oleh San Pamgat Momahumah yang kemudian mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja dan keputusan raja disaksikan oleh petugas pemungut pajak.
Kasus dalam ketiga prasasti tersebut menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan mengajukan protes, penarik pajak akan memperoleh keuntungan.
Adanya pemungut pajak yang meminta lebih juga tertulis dalam prasasti Tija yang berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok. Modus yang digunakan oleh para pemungut pajak ini yakni dengan mengukur sawah menggunakan ukuran yang lebih kecil daripada yang sudah ditentukan.
Ketiga kasus yang tertulis dalam prasasti tersebut rupanya memperlihatkan bahwa para nayaka menghitung luas sawah para rama menggunakan ukuran tampah tradisional Jawa yang luasnya kira-kira sama dengan 1 bahu sekarang, sedangkan semestinya ia menggunakan satuan tampah haji yang didasarkan atas satuan luas dari India, yang luasnya kira-kira sama dengan 1 hektar sekarang. Jika demikian yang terjadi, maka sesungguhnya tidak terjadi penyelewengan dan hanya salah pengertian semata.
Sikap Raja
Pada kerajaan-kerajaan Jawa Kuno di Jawa, rakyat dapat mengadukan keluh kesah kepada raja melalui hirarki yang berlaku. Boechari mengungkap bahwa raja-raja Jawa zaman dahulu memang tidak memerintah dengan sewenang-wenang.
"Mereka berpedoman kepada berbagai kitab niti raja yang selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Raja selalu siap memberi anugerah kepada kawula yang berjasa, tetapi sebaliknya ia juga mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah," jelasnya.
Meski dapat mengadu langsung kepada raja, ada kalanya juga pengaduan tidak harus selalu sampai kepada raja atau putra mahkota. Misalnya para pejabat desa Baliwanan yang memohon agar desanya dijadikan wilayah sima karena rakyat tidak mampu lagi membayar pajak karena mereka sudah menanggung denda dari tindakan kriminal dan pembunuhan yang terjadi.
Permohonan itu cukup sampai kepada Rakryan Kanuruha pu Huntu melalui tiga orang patih yang membawahi desa Baliwanan.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR