Nationalgeographic.co.id—Sudah sejak lama Dieng menjadi tempat yang sakral bagi umat beragama di Jawa. Bagi pandangan tradisional Jawa dan Hindu, dataran tinggi seperti Dieng adalah tempat sakral dengan kekuatan spiritualitas tinggi. Itu sebabnya, ada banyak candi didirikan di tempat tinggi, seperti Dieng dengan kompleks Candi Arjuna.
Kependudukan masyarakat di Dieng bisa dirunut dari awal abad Masehi dalam sejarah Jawa. Meski ditemukan pelbagai peninggalan arkeologis, Dieng diperkirakan adalah tempat kegiatan keagamaan pada periode Mataram kuno pada abad kedelapan dan sembilan Masehi, alih-alih pusat kerajaan.
Jejak religiositas itu terasa masih tampak bagi masyarakat Dieng hari ini. "Agamanya saja yang beda, tapi religiositasnya masih sama," terang Pujo Semedi, antropolog dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Pujo berbicara dalam Wednesday Forum yang diadakan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada bertajuk "Failed Negative Feedback: Cash crop, socio-religious life and climate change in upland Java, 1850s-2010s".
Dalam penjelasannya, masyarakat pertanian di Dieng sampai hari ini bergantung pada bentang alamnya. Aneka tanaman yang dibudidayakan masyarakat antara lain aneka bawang, kubis, wortel, lobak, tembakau, dan kentang—yang pernah membuat kejayaan pertanian pada masanya.
Naturalis Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn, pernah menyambangi Dieng pada 1856. Dia mendeskripsikan bahwa Dieng adalah "tanah yang dibudidayakan dan terus-menerus ditempati oleh pribumi". Dalam deskripsinya, masyarakat di sana menanam "tembakau di perbukitan yang mengelilingi dataran tinggi".
Kemajuan pertanian Dieng
Awalnya, Dieng merupakan dataran tinggi yang sepi penduduk. Pujo menerangkan, Dieng ditinggalkan penduduknya yang diperkirakan berhubungan dengan erupsi besar Gunung Merapi pada abad ke-11.
Dalam catatan sejarah, gunung paling aktif di Jawa itu meletus hebat sampai-sampai mengubur ragam candi, seperti Candi Sambisari di Yogyakarta. "Untungnya letusan hebat Merapi itu diperkirakan hanya sekali," terang Pujo.
Kemudian, setelah Perang Dipanagara (1825–1830), Dieng dihuni kembali oleh pengikut Pangeran Dipanagara setelah kalah perang. Pertumbuhan penduduk membuat masyarakat harus bertahan hidup dengan membuka lahan pertanian. Komoditas yang paling banyak ditanam pada abad ke-19 adalah tembakau, ungkap Pujo, merujuk pada catatan Junghuhn.
Baca Juga: Waspada 'Jebakan yang Indah' Kala Mengikuti Ajang Lari Lintas Alam
Meski demikian, tembakau bukanlah tanaman asli Jawa. Tembakau merupakan tanaman khas Amerika yang diperkenalkan ke Jawa oleh penjelajah Portugis. "Masyarakat Dieng menanam tembakau untuk komoditas jual, cuma kesulitan pengeringan. Akhirnya, petani menemukan teknologi dengan pengeringan lewat asap, tembako garangan," papar Pujo.
Tembakau menjadi komoditas yang membawa masyarakat pertanian Dieng pada puncak kemakmurannya. Kemakmuran ini mendorong pertumbuhan penduduk dan munculnya stratifikasi sosial.
"Pemilik yang punya tanah akhirnya memerlukan pekerja, yaitu petani, pekerja musiman yang menjadi lapis kedua. Kemudian muncul lagi, pedagang Tembakau yang biasanya orang Cina dari pesisir seperti Pekalongan yang menghasilkan duit bukan main [banyaknya]," kata Pujo. Pendapatan kawasan Dieng dari komoditas tembakau bisa mencapai 2,1 juta gulden atau setara 12,6 juta euro (kurs 2021).
Namun, kejayaan tembako garangan mengalami penurunan pada abad ke-20, ketika rokok kretek yang meningkat. "Tiba-tiba profitnya minus—kehilangan pasar," terang Pujo.
Kejayaan kentang Dieng nan singkat
"Pertanian Dieng baru bangkit lagi pada akhir 1980-an dengan budidaya kentang," tutur Pujo. Kepesatan pertanian kedua ini menjadi fokus proyek penelitiannya yang menjadi tajuk Wednesday Forum.
Pujo dan tim mendapati bahwa pertanian kentang berkembang pesat di Dieng berkat penurunan curah hujan. Puncak dari kejayaan pertanian ini berlangsung hingga pertengahan 1990-an. "Panennya melesat sampai angka di atas 100.000 ton," ujar Pujo "Ini bisa lima kali lipatnya lebih makmur dari tembakau."
Sejak itu, banyak masjid dan fasilitas kegiatan keagamaan lainnya, termasuk pesantren, didirikan serta banyak masyarakat berangkat haji. Pujo terkesima ketika mengunjungi Dieng pada 1990-an, melihat setiap dusun punya lebih dari satu masjid dengan ukuran yang besar.
Kondisi ini berbeda pada beberapa dekade sebelumnya, jelas Pujo. Banyak orang Jawa di Dieng hanya sekadar menjadikan masjid sebagai simbol kawasan yang dihuni penduduk muslim.
Kejayaan ini singkat, sekaligus berdampak pada pola sosial masyarakat di Dieng. Penyebabnya adalah iklim yang berubah ketika curah hujan meningkat kembali memasuki tahun 2000.
Jatuhnya kejayaan kentang ini mendorong masyarakat menekankan bani atau trah, konsep kekeluargaan khas Jawa. Dengan konsep ini, banyak pemilik tanah yang pertanian kentangnya gagal menyerahkan tanahnya ke "keluarga besar".
Baca Juga: 'The History of Java' Mengenang Muramnya Sejarah Candi Dieng
Sampai hari ini, setiap bani punya ragam aktivitas keagamaan seperti yasinan, salawatan, dan barzanji. Kegiatan keagamaan ini kerap berlangsung hingga mendekati malam. Berkembangnya kegiatan keagamaan setelah meningkatnya kasus gagal paham ini, tulis Pujo dan rekan-rekan, membuat petani percaya bahwa keberuntungan harus melibatkan kekuatan gaib.
"Dengan kondisi ekonomi yang memburuk, para petani mencoba menghemat ritus dengan mementaskan di desa. Namun, beberapa petani kaya terus berusaha melakukan transaksi dengan Tuhan langsung di rumah-Nya, Baitullah, dengan mengajak seluruh anggota keluarga ibadah haji. Mereka percaya bahwa shalat langsung di Baitullah lebih efektif dalam mengabulkan permintaan mereka," tulis para peneliti.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR