Tampaknya, siswa-siswa tersebut bukanlah penduduk asli Indonesia, melainkan keturunan Arab dan menganggap diri mereka sebagai warga Kekaisaran Ottoman, karena sebagian besar wilayah Arab pada saat itu berada di bawah kekuasaan Ottoman.
Keberadaan siswa keturunan Arab yang datang dari Hindia Belanda dapat dilacak melalui dokumen Ottoman. Beberapa penelitian tentang mahasiswa Hadrami Indonesia di Turki menunjukkan bahwa hanya sedikit Hadrami yang belajar di Istanbul.
Pengiriman mahasiswa Hadrami Indonesia akhirnya dihentikan pada tahun 1899 karena kurangnya dana dari Ottoman. Dalam dokumen Ottoman Nomor 50 tahun 1899, disebutkan bahwa dua tokoh Arab terkemuka dari Bogor, Jawa, Syekh Bā Junayd dan Abu Bakar Sungkar, menulis surat kepada Sultan Ottoman.
Dalam surat tersebut, mereka memberitahu Kekaisaran Ottoman tentang keberangkatan 7 siswa ke Istanbul untuk memastikan mereka dijemput di pelabuhan dan mendaftarkan mereka ke sekolah yang baik di Istanbul.
Pada era ini, orang-orang keturunan Arab di Hindia Belanda mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Kekaisaran Ottoman karena leluhur mereka berasal dari wilayah yang termasuk dalam Kekaisaran Ottoman, terutama Hadramaut, Yaman.
Surat berjudul "Permohonan untuk Pencegahan Ketidakadilan terhadap Muslim di Kepulauan Hindia Belanda dan Warga Kekaisaran Ottoman Akibat Kebijakan Kolonial Belanda" yang ada dalam Dokumen Ottoman Nomor 57 tahun 1902 menegaskan hal tersebut.
Dalam surat tersebut, mereka melaporkan kepada Sultan Ottoman bahwa pemerintah kolonial Belanda telah mendiskriminasi warga muslim pribumi karena mereka kehilangan hak sipil mereka dan tidak memiliki status yang setara dengan muslim dan pemeluk Kristen lainnya.
Ketika mereka bertemu dengan orang Kristen di jalan, mereka harus berlutut dan memberi salam kepada mereka. Mereka tidak dapat belajar di sekolah atau lembaga pendidikan manapun.
Penduduk asli tidak diizinkan untuk berkomunikasi dengan sesama muslim dari negara lain. Sementara itu, umat muslim yang merupakan warga Kekaisaran Ottoman dari Hadramaut, Lhasa, Najd, dan Baghdad bisa bebas memasuki wilayah Hindia Belanda.
Mereka diperlakukan secara keras dan tidak hormat, sama seperti bagaimana pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk pribumi. Surat tersebut berisi permintaan kepada Kekaisaran Ottoman untuk melindungi warganya di Jawa dan wilayah sekitarnya, khususnya hak istimewa para sayyid.
Tampaknya jelas bahwa muslim di Kepulauan Hindia Belanda yang dimaksud adalah muslim pribumi yang tinggal di Hindia Belanda. Sebaliknya, warga Kekaisaran Ottoman memberi tahu orang-orang Arab yang tinggal di Hindia Belanda tentang kesulitan yang dialami orang-orang Arab tersebut di Hindia Belanda, yang memotivasi mereka untuk mempererat hubungan dengan Kekaisaran Ottoman.
Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR