Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dengan Hindia Belanda dalam bidang pendidikan? Meski begitu, jejaknya hampir tak tersisa ketika Sutomo melakukan perjalanan ke Turki dalam rangkaian perjalanan kelilig dunia pada 1936 hingga 1937.
Kebijakan Ottoman yang paling signifikan di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 adalah memberikan kesempatan bagi pelajar dari kelompok Hadrami untuk datang ke Istanbul.
Para siswa tahun 1899 tampaknya menjadi kelompok terakhir dari Jawa yang belajar di Istanbul, sehingga jumlah total siswa Indo-Hadrami tidak meningkat dari tujuh belas anak yang disebutkan oleh Schmidt pada tahun 1900, yaitu enam siswa tiba pada tahun 1895, empat pada tahun 1898, dan tujuh pada tahun 1899.
Tiga puluh siswa yang seharusnya datang setelah tahun 1899 mungkin tidak pernah benar-benar sampai ke Istanbul. Kurangnya dana dari Ottoman dan hasil yang kurang memuaskan dari beberapa siswa kemungkinan besar menyebabkan penghentian beasiswa di Istanbul.
Kekaisaran Ottoman sendiri runtuh tanggal 3 Maret 1924, kemudian sebagai proses pembaratan, Mustafa Kemal Ataturk menerapkan sekulerisme di negara Turki, yang dilakukan secara ekstrim.
Ketika Sutomo menjejakkan kaki di Turki pada Maret 1937, Turki sedang mengalami transformasi besar di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk.
Pada saat itu, orang-orang Turki baru saja menyaksikan runtuhnya Kekaisaran Ottoman, yang telah memerintah negara tersebut sejak tahun 1302 dan menjadikan Istanbul sebagai ibu kotanya setelah penaklukan kota tersebut pada tahun 1453.
Yon Machmudi dan Frial Ramadhan Supratman dalam Islam, Modern Turkey, and a Javanese Intellectual: The Sutomo’s Visit to Turkey in 1937 yang terbit pada jurnal Studia Islamika menyebut Sutomo melakukan perjalanan keliling dunia dengan kapal sebelum pecahnya Perang Dunia Kedua. Ia mengunjungi Jepang, Filipina, Singapura, Sri Lanka, India, Mesir, Belanda, Inggris, Turki, dan Palestina.
Selama perjalanan keliling dunianya, Sutomo menulis memoar yang berisi kesan, pesan, dan pandangannya tentang negara-negara yang ia kunjungi dalam surat kabar Soeara Oemoem. Surat kabar ini didirikan oleh Sutomo pada 20 Agustus 1931, dengan tujuan membangkitkan semangat gerakan nasionalis sekuler.
"Yang menarik adalah Turki, karena negara tersebut merupakan negara Muslim modern yang didirikan di atas reruntuhan Kekaisaran Ottoman, yang telah berdiri selama lebih dari 600 tahun," ungkap Yon dan Frial.
"Selain itu, Turki juga merupakan negara mayoritas Muslim yang berani menerapkan laikisme dalam sistem negara, serta kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya."
Baca Juga: Nama Sultan dalam Doa: Cerminan Hubungan Ottoman-Hindia Belanda
Sementara itu, Turki telah menjalin hubungan baik dengan Hindia Belanda dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, sudut pandang seorang intelektual Jawa yang berorientasi Barat dan sekuler di Turki, yang pada saat itu sedang mengalami perubahan besar di berbagai sektor, sangat menarik.
"Banyak madrasah dan sekolah agama ditutup. Di sisi lain, orang Turki menyaksikan berbagai lembaga pendidikan modern didirikan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan modern yang berkembang di dunia Barat," papar Yon dan Frial.
Universitas Istanbul dan Universitas Ankara adalah dua universitas yang didirikan untuk mendukung program modernisasi masyarakat dan pendidikan di Turki.
Berbeda dengan kunjungannya ke negara-negara lain di mana ia disambut hangat oleh mahasiswa Indonesia, Sutomo tidak bertemu dengan mahasiswa Indonesia di Turki.
Mahasiswa Indonesia, khususnya penduduk asli Indonesia, lebih tertarik untuk belajar Islam di Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Kairo daripada di Istanbul.
Haramain berfungsi sebagai tempat penting bagi pembentukan jaringan intelektual dan ulama Nusantara karena Haramain merupakan pusat intelektual umat Muslim.
Kemudian, Kairo, dengan Universitas Al-Azhar yang terkenal, menjadi tempat belajar bagi banyak mahasiswa Indonesia mengenai pengalaman mereka dengan pemikiran modern dan nasionalisme.
Pada tahun 1912, sebuah asosiasi mahasiswa kecil bernama Jamiah Setia Pelajar didirikan di Kairo. Kehadiran mahasiswa pribumi Indonesia di Haramain dan Kairo meningkatkan semangat nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika kehadiran Sutomo di Kairo disambut hangat oleh mahasiswa Indonesia.
Haramain dan Kairo masih menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman hingga akhir Perang Dunia Pertama. Kedua wilayah tersebut menjadi daerah favorit bagi mahasiswa Indonesia.
Meskipun Turki menarik perhatian kaum Islamis Indonesia terkait Pan-Islamisme, orientasi intelektual pribumi Indonesia bukanlah Istanbul. Namun, bukan berarti tidak ada mahasiswa Indonesia yang belajar di Istanbul sebelum kemerdekaan Indonesia.
Beberapa dokumen arsip Turki yang berisi korespondensi antara Konsulat Jenderal Ottoman di Batavia dan pemerintah Ottoman menyebutkan keberadaan beberapa siswa dari Hindia Belanda.
Baca Juga: Diplomasi Aceh-Ottoman Libatkan Tentara Turki Bernama Lutfi
Tampaknya, siswa-siswa tersebut bukanlah penduduk asli Indonesia, melainkan keturunan Arab dan menganggap diri mereka sebagai warga Kekaisaran Ottoman, karena sebagian besar wilayah Arab pada saat itu berada di bawah kekuasaan Ottoman.
Keberadaan siswa keturunan Arab yang datang dari Hindia Belanda dapat dilacak melalui dokumen Ottoman. Beberapa penelitian tentang mahasiswa Hadrami Indonesia di Turki menunjukkan bahwa hanya sedikit Hadrami yang belajar di Istanbul.
Pengiriman mahasiswa Hadrami Indonesia akhirnya dihentikan pada tahun 1899 karena kurangnya dana dari Ottoman. Dalam dokumen Ottoman Nomor 50 tahun 1899, disebutkan bahwa dua tokoh Arab terkemuka dari Bogor, Jawa, Syekh Bā Junayd dan Abu Bakar Sungkar, menulis surat kepada Sultan Ottoman.
Dalam surat tersebut, mereka memberitahu Kekaisaran Ottoman tentang keberangkatan 7 siswa ke Istanbul untuk memastikan mereka dijemput di pelabuhan dan mendaftarkan mereka ke sekolah yang baik di Istanbul.
Pada era ini, orang-orang keturunan Arab di Hindia Belanda mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Kekaisaran Ottoman karena leluhur mereka berasal dari wilayah yang termasuk dalam Kekaisaran Ottoman, terutama Hadramaut, Yaman.
Surat berjudul "Permohonan untuk Pencegahan Ketidakadilan terhadap Muslim di Kepulauan Hindia Belanda dan Warga Kekaisaran Ottoman Akibat Kebijakan Kolonial Belanda" yang ada dalam Dokumen Ottoman Nomor 57 tahun 1902 menegaskan hal tersebut.
Dalam surat tersebut, mereka melaporkan kepada Sultan Ottoman bahwa pemerintah kolonial Belanda telah mendiskriminasi warga muslim pribumi karena mereka kehilangan hak sipil mereka dan tidak memiliki status yang setara dengan muslim dan pemeluk Kristen lainnya.
Ketika mereka bertemu dengan orang Kristen di jalan, mereka harus berlutut dan memberi salam kepada mereka. Mereka tidak dapat belajar di sekolah atau lembaga pendidikan manapun.
Penduduk asli tidak diizinkan untuk berkomunikasi dengan sesama muslim dari negara lain. Sementara itu, umat muslim yang merupakan warga Kekaisaran Ottoman dari Hadramaut, Lhasa, Najd, dan Baghdad bisa bebas memasuki wilayah Hindia Belanda.
Mereka diperlakukan secara keras dan tidak hormat, sama seperti bagaimana pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk pribumi. Surat tersebut berisi permintaan kepada Kekaisaran Ottoman untuk melindungi warganya di Jawa dan wilayah sekitarnya, khususnya hak istimewa para sayyid.
Tampaknya jelas bahwa muslim di Kepulauan Hindia Belanda yang dimaksud adalah muslim pribumi yang tinggal di Hindia Belanda. Sebaliknya, warga Kekaisaran Ottoman memberi tahu orang-orang Arab yang tinggal di Hindia Belanda tentang kesulitan yang dialami orang-orang Arab tersebut di Hindia Belanda, yang memotivasi mereka untuk mempererat hubungan dengan Kekaisaran Ottoman.
Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia
Harapan mereka semakin besar ketika, pada tahun 1898, Kamil Bey mulai bertugas sebagai Konsul Ottoman di Batavia dan menjadi utusan resmi Kekaisaran Ottoman.
Status orang-orang keturunan Arab sangat unik. Meskipun mereka mengidentifikasi diri sebagai warga Kekaisaran Ottoman, status mereka tidak sepenuhnya diakui karena mereka tinggal di luar wilayah Kekaisaran Ottoman.
Oleh karena itu, ketika mereka mengirim anak-anak mereka dengan harapan untuk belajar di Istanbul, permintaan mereka tidak langsung diterima karena yang bisa belajar di lembaga-lembaga Istanbul hanya warga Kekaisaran Ottoman.
Sebagai contoh, dalam dokumen arsip Nomor 52 tahun 1899, dijelaskan bahwa Sekolah Mekteb-i Mulkiye Shahane (Sekolah Kekaisaran untuk Layanan Sipil) di Istanbul menulis surat kepada Kementerian Pendidikan Kekaisaran Ottoman yang memberitahukan bahwa dua siswa dari Jawa bernama Osman dan Muhammad bin Abdullah Al Attas, keduanya bersaudara, telah terdaftar sebagai siswa di sekolah tersebut secara gratis atas perintah Sultan.
Setelah lulus dari kelas tingkat pertama di sekolah itu, kedua siswa tersebut ingin melanjutkan studi mereka ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat universitas.
Namun, rencana mereka terhambat oleh peraturan yang menyatakan bahwa untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Mekteb-i Mulkiye Shahane, mereka harus menjadi warga Kekaisaran Ottoman.
Akhirnya, mereka berusaha untuk mendapatkan kartu identitas dari Kekaisaran Ottoman agar bisa melanjutkan studi mereka di sekolah ini. Kemudian atas persetujuan Sultan, keduanya diterima di tingkat kedua sekolah tersebut, yang setara dengan departemen ilmu politik di tingkat universitas di Kekaisaran Ottoman.
Ketika Sutomo tiba di Istanbul, menjadi jelas mengapa tidak ada mahasiswa Indonesia yang menyambutnya seperti yang dia terima di Kairo, Mesir. Tidak ada mahasiswa Indonesia yang belajar di Istanbul karena Istanbul bukan tempat belajar yang diprioritaskan bagi mereka.
Selain itu, Istanbul bukanlah pusat pembelajaran Islam karena pusat-pusat utamanya adalah Haramain dan Kairo. Jumlah orang Arab dari Hindia Belanda yang belajar di Istanbul relatif kecil, dan mereka lebih mengidentifikasi diri sebagai warga Kekaisaran Ottoman daripada sebagai orang Indonesia.
Lebih lanjut, ketika Sutomo tiba di Turki pada tahun 1937, tidak ada mahasiswa Hadrami Indonesia yang tinggal di Istanbul. Pada tahun 1915, hanya satu mahasiswa Hadrami Indonesia bernama Said Ba Junaid yang tinggal di Istanbul, dan dia adalah satu-satunya mahasiswa dari Hindia Belanda yang ada di Istanbul.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR