Harapan mereka semakin besar ketika, pada tahun 1898, Kamil Bey mulai bertugas sebagai Konsul Ottoman di Batavia dan menjadi utusan resmi Kekaisaran Ottoman.
Status orang-orang keturunan Arab sangat unik. Meskipun mereka mengidentifikasi diri sebagai warga Kekaisaran Ottoman, status mereka tidak sepenuhnya diakui karena mereka tinggal di luar wilayah Kekaisaran Ottoman.
Oleh karena itu, ketika mereka mengirim anak-anak mereka dengan harapan untuk belajar di Istanbul, permintaan mereka tidak langsung diterima karena yang bisa belajar di lembaga-lembaga Istanbul hanya warga Kekaisaran Ottoman.
Sebagai contoh, dalam dokumen arsip Nomor 52 tahun 1899, dijelaskan bahwa Sekolah Mekteb-i Mulkiye Shahane (Sekolah Kekaisaran untuk Layanan Sipil) di Istanbul menulis surat kepada Kementerian Pendidikan Kekaisaran Ottoman yang memberitahukan bahwa dua siswa dari Jawa bernama Osman dan Muhammad bin Abdullah Al Attas, keduanya bersaudara, telah terdaftar sebagai siswa di sekolah tersebut secara gratis atas perintah Sultan.
Setelah lulus dari kelas tingkat pertama di sekolah itu, kedua siswa tersebut ingin melanjutkan studi mereka ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat universitas.
Namun, rencana mereka terhambat oleh peraturan yang menyatakan bahwa untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Mekteb-i Mulkiye Shahane, mereka harus menjadi warga Kekaisaran Ottoman.
Akhirnya, mereka berusaha untuk mendapatkan kartu identitas dari Kekaisaran Ottoman agar bisa melanjutkan studi mereka di sekolah ini. Kemudian atas persetujuan Sultan, keduanya diterima di tingkat kedua sekolah tersebut, yang setara dengan departemen ilmu politik di tingkat universitas di Kekaisaran Ottoman.
Ketika Sutomo tiba di Istanbul, menjadi jelas mengapa tidak ada mahasiswa Indonesia yang menyambutnya seperti yang dia terima di Kairo, Mesir. Tidak ada mahasiswa Indonesia yang belajar di Istanbul karena Istanbul bukan tempat belajar yang diprioritaskan bagi mereka.
Selain itu, Istanbul bukanlah pusat pembelajaran Islam karena pusat-pusat utamanya adalah Haramain dan Kairo. Jumlah orang Arab dari Hindia Belanda yang belajar di Istanbul relatif kecil, dan mereka lebih mengidentifikasi diri sebagai warga Kekaisaran Ottoman daripada sebagai orang Indonesia.
Lebih lanjut, ketika Sutomo tiba di Turki pada tahun 1937, tidak ada mahasiswa Hadrami Indonesia yang tinggal di Istanbul. Pada tahun 1915, hanya satu mahasiswa Hadrami Indonesia bernama Said Ba Junaid yang tinggal di Istanbul, dan dia adalah satu-satunya mahasiswa dari Hindia Belanda yang ada di Istanbul.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR