Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda berpikir bahwa pasir, sesuatu yang begitu melimpah dan mudah ditemukan di pantai, bisa menjadi komoditas langka dan berharga?
Faktanya, menurut Program Lingkungan PBB, setelah air, pasir adalah sumber daya alam yang paling banyak digunakan di dunia. Setiap tahun, miliaran ton pasir digali dari dasar laut untuk memenuhi kebutuhan industri konstruksi yang terus meningkat.
Namun, di balik keindahan pantai-pantai pasir putih yang kita nikmati, tersimpan dampak buruk yang mengancam keberlangsungan ekosistem laut dan daratan.
Artikel ini akan mengungkap fakta mengejutkan tentang krisis pasir global, mengapa pasir gurun tidak bisa menjadi solusi, dan apa saja upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Proyek pengerukan pasir di Jerman
Badai musim dingin yang dahsyat di akhir Desember lalu telah menggerus habis bukit pasir dan pantai-pantai di pulau-pulau indah di Laut Utara Jerman.
Pulau-pulau seperti Sylt, Borkum, dan Norderney, di Jerman yang biasanya menjadi tujuan wisata jutaan orang, kini harus dibangun ulang dari awal sebelum musim panas tiba.
Proses pemulihan ini tidaklah mudah dan murah. Pemerintah negara bagian Lower Saxony, tempat Borkum dan Norderney berada, telah mengalokasikan dana hingga €700.000 atau sekitar $760.000 (setara Rp12 miliar) untuk proyek besar ini.
Dengan dana tersebut, mereka akan melakukan pengisian pasir secara besar-besaran untuk mengembalikan pantai-pantai ke kondisi semula. Ini adalah upaya untuk menyelamatkan sumber pendapatan utama bagi wilayah tersebut.
Mengeruk pasir sendiri
Alih-alih mengangkut pasir dari tempat yang jauh, pasir untuk mengisi kembali pantai-pantai di Laut Utara Jerman ini ternyata seringkali diambil dari lokasi yang lebih dekat.
Baca Juga: Tujuh Pantai Pasir Pink yang Menyimpan Pesona Pesisir Indonesia
Dulu, pasir memang sering didatangkan dari pulau-pulau tetangga atau bahkan dari lokasi yang jauh di luar pantai. "Namun, belakangan ini, para ahli menyadari bahwa pasir itu sebenarnya 'tidak hilang, hanya berpindah tempat,'" papar Martin Kuebler di laman DW.
Pulau Sylt, misalnya, sudah puluhan tahun melakukan cara ini. Selama lebih dari 40 tahun, pulau ini telah mengambil pasir langsung dari dasar laut di sekitar pulau.
Kapal-kapal besar yang disebut kapal keruk menyedot campuran pasir dan air dari kedalaman sekitar 8 kilometer dari garis pantai. Campuran pasir dan air ini kemudian dialirkan ke pantai dan juga ke daerah terumbu karang di lepas pantai.
Dampak buruk dan mitigasinya
Mengambil pasir dari dasar laut untuk mengisi kembali pantai memang lebih baik daripada mengangkutnya dari jauh, namun cara ini ternyata juga membawa masalah.
Proses pengambilan pasir ini bisa merusak kehidupan bawah laut seperti ikan dan hewan-hewan kecil. Selain itu, tempat-tempat bersarang burung dan hewan lainnya di sekitar pantai juga bisa terganggu.
Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Mengambil pasir dari dasar laut juga bisa memperparah erosi pantai dan tanah longsor, terutama di saat perubahan iklim membuat kondisi pantai semakin rapuh.
"Ketika pasir di dasar laut diambil, pasir di pantai justru akan terbawa arus laut untuk mengisi tempat yang kosong. Akibatnya, garis pantai akan semakin mundur," ungkap Kuebler.
Satu hal lagi, yang bahkan lebih mengkhawatirkan, pengisian pasir ini sifatnya sementara. Tidak lama kemudian, pasir yang baru ditambahkan akan hilang lagi terbawa arus, sehingga kita harus terus-menerus melakukan pengisian ulang.
Lalu, bagaimana solusinya? Pasir pengganti bisa diambil dari daratan, misalnya dari sungai, danau, atau tambang pasir. Kota-kota seperti Manila dan Miami sudah melakukan cara ini.
Namun, kita harus sangat berhati-hati dalam memilih sumber pasir. Pasir yang digunakan harus memiliki sifat yang sama dengan pasir asli di pantai agar tidak merusak ekosistem laut. "Jika tidak, hewan-hewan laut yang sudah terbiasa hidup di pasir tertentu bisa terancam punah," Kuebler memberi peringatan.
Baca Juga: Pertama Kalinya, Batu Plastik Teridentifikasi di Pantai Indonesia
Sumber daya paling berharga yang tidak disadari
Pasir, yang sering kita anggap remeh, ternyata adalah salah satu sumber daya paling berharga di Bumi. "Setelah air, pasir adalah bahan yang paling banyak kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari," terang Kuebler.
Bukan hanya untuk membangun kembali pantai, pasir juga sangat penting dalam industri konstruksi. Pasir digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan beton dan kaca yang kita gunakan setiap hari.
Selain itu, pasir juga berperan penting dalam perluasan wilayah daratan. Negara-negara dengan lahan terbatas seperti Singapura, Hong Kong, dan Shanghai menggunakan pasir untuk menciptakan pulau-pulau buatan demi memenuhi kebutuhan ruang yang terus meningkat.
Jenis pasir tertentu, yaitu silika, memiliki nilai yang sangat tinggi. Silika digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat silikon, komponen penting dalam pembuatan berbagai perangkat elektronik seperti komputer dan ponsel pintar.
Permintaan yang tinggi terhadap pasir membuat banyak negara menjadi importir pasir terbesar di dunia. Jerman, misalnya, mengimpor jutaan ton pasir setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Negara ini termasuk dalam daftar 10 negara importir pasir terbesar di dunia, bersama dengan Amerika Serikat, Tiongkok, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Mengapa tidak mengambil pasir di gurun?
Meskipun kita sering membayangkan gurun pasir sebagai sumber pasir tak terbatas, ternyata tidak semua pasir itu bisa kita gunakan. Gurun Sahara, misalnya, merupakan gurun pasir terbesar di dunia dengan luas mencapai 9 juta kilometer persegi.
Namun, pasir di gurun ini umumnya tidak cocok untuk keperluan industri. Karena terpaan angin terus-menerus, butiran pasir di gurun menjadi halus dan bulat.
"Bentuk butiran pasir yang seperti ini tidak bisa mengikat dengan kuat saat digunakan dalam pembuatan beton atau produk lainnya," jelas Kuebler.
Baca Juga: Investigasi Global: Ekspor Pasir Laut Merusak Lingkungan, Sarang Mafia
Sebaliknya, pasir yang paling berguna adalah pasir yang ditemukan di dasar sungai, danau, dan laut. Pasir jenis ini memiliki permukaan yang kasar dan bergerigi, sehingga bisa saling mengunci satu sama lain dengan kuat.
Permintaan akan pasir berkualitas ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan kota-kota besar dan perkembangan teknologi digital membuat kebutuhan akan pasir semakin tinggi.
Menurut data PBB, dalam dua dekade terakhir, jumlah pasir yang ditambang di seluruh dunia telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, mencapai lebih dari 50 miliar ton setiap tahunnya.
Negara pengekspor pasir
Amerika Serikat (AS) adalah negara yang paling banyak mengekspor pasir di dunia. Pada tahun 2022 saja, AS mengirim hampir 6,3 miliar ton pasir ke berbagai negara.
Jumlah ini sangat besar, bahkan lebih dari dua kali lipat jumlah ekspor pasir dari negara-negara pengekspor pasir terbesar lainnya seperti Belanda, Jerman, dan Belgia.
Tingginya permintaan akan pasir membuat penambangan pasir semakin marak. Sayangnya, di beberapa negara seperti India, Vietnam, dan Tiongkok, penambangan pasir seringkali dilakukan secara ilegal tanpa memperhatikan aturan lingkungan dan perlindungan pekerja.
Bahkan di negara-negara yang memiliki peraturan pertambangan yang lebih ketat seperti AS, Malaysia, Eropa, dan Kanada, penambangan pasir tetap menimbulkan masalah lingkungan yang serius.
Proses penggalian pasir dapat merusak habitat berbagai jenis makhluk hidup, mengganggu aliran air tanah, dan mempercepat erosi pantai.
Akibatnya, daerah pesisir menjadi lebih rentan terhadap bencana alam seperti banjir dan badai. Selain itu, kegiatan penambangan dan pengiriman pasir juga menghasilkan limbah dan emisi gas rumah kaca yang mencemari lingkungan.
Pilihan alternatif
Meskipun permintaan akan pasir sangat tinggi, ada cara lain yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak negatif dari penambangan pasir. Salah satunya adalah dengan mendaur ulang kaca.
Kaca bekas dapat digiling menjadi butiran-butiran kecil yang kemudian bisa digunakan sebagai bahan bangunan atau untuk mengisi kembali pantai. Selain itu, abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar juga bisa dimanfaatkan sebagai pengganti pasir dalam pembuatan beton.
"Dengan begitu, kita bisa mengurangi ketergantungan kita pada pasir alami," papar Kuebler.
PBB sendiri telah menyarankan agar kita lebih bijak dalam memanfaatkan pasir. Kita perlu memastikan bahwa proses pengambilan dan pengangkutan pasir dilakukan dengan cara yang tidak merusak lingkungan dan masyarakat sekitar.
"Selain itu, jika ada ekosistem yang rusak akibat penambangan pasir, kita harus segera melakukan upaya pemulihan dengan menggunakan metode-metode alami," pungkas Kuebler.
KOMENTAR