Survei itu menyebut bahwa umat Islam dengan pandangan konservatif justru cenderung berperilaku kurang ramah lingkungan. "Umat Islam yang berpandangan konservatif cenderung memandang manusia sebagai penguasa alam dan memiliki perilaku ramah lingkungan yang lebih rendah," jelas Iim. "Agama memiliki efek ganda dalam membentuk perilaku ramah lingkungan," tambahnya.
Setiap agama memiliki pandangan ekoteologis, ajaran penafsiran yang memosisikan nilai-nilai hubungan agama dan lingkungan hidup. Dari survei tersebut, 33,52 persen masyarakat muslim memiliki ajaran ekoteologis teosentris, yakni pandangan ekoteologis di mana Tuhan berada posisi paling tinggi di alam semesta.
Pandangan ekosentrisme justru lebih banyak diyakini masyarakat yang berafiliasi dengan "agama lainnya/kepercayaan lokal" sebesar 73,33 persen, diikuti Katolik 48.26 persen. Ekosentrisme adalah filsafat ekoteologis yang memandang bahwa semua makhluk hidup di dunia punya nilai seperti manusia.
Survei ini dilakukan dalam rentang waktu dari 1 Maret hingga 21 April 2024. Iim dan rekan-rekan mengambil sampel survei dari 3.397 responden yang tersebar dari seluruh Indonesia yang dibagi berdasarkan latar belakang agama dan afiliasi organisasi keagamaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, generasi, besar pendapatan, dan status pekerjaan. Para peneliti juga mewawancarai langsung responden untuk melengkapi hasil survei.
Perilaku ramah lingkungan ini masih terkonsentrasi pada golongan sosial ekonomi menengah ke atas di dalam masyarakat Indonesia. Perilakunya pun masih berhubungan dengan keuntungan ekonomis. Dengan demikian, para peneliti menyarankan, kebijakan harus mendorong perilaku ramah lingkungan yang mempertimbangkan intensif ekonomi.
Para peneliti menawarkan pendekatan baru. Semenjak Indonesia menggiatkan kerukunan antarumat beragama demi meningkatkan toleransi, Iim menyarankan bahwa isu lingkungan bisa masuk dalam kegiatan ini.
"Mayoritas masyarakat Indonesia sepakat untuk bekerja sama dalam menanggapi isu lingkungan dan perbedaan keyakinan bukan menjadi halangan untuk bekerja," ungkap Iim.
Masalahnya, dalam survei membuktikan bahwa 40,33 persen responden mengaku bahwa tidak pernah memiliki kesempatan untuk bekerja sama dalam pelestarian alam dengan penganut agama lain.
Hal ini disebabkan kondisi sosiologis yang membuat masyarakat Indonesia kurang atau bahkan tidak pernah berinteraksi dengan penganut agama lain. Oleh karena itu, para peneliti menyarankan peningkatan ruang pertemuan dan kerja sama lintas agama dalam menanggapi isu lingkungan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR