Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa keindahan seni dan arsitektur kekaisaran Ottoman tidak tercipta begitu saja dalam ruang hampa, melainkan melalui perjalanan dan perjalinan dengan berbagai budaya.
Selama lebih dari 600 tahun, Ottoman menjadi kekaisaran Islam yang paling kuat. Pada puncak ekspansinya di tahun 1500-an, wilayah kekaisaran Ottoman mencakup Hongaria, Balkan, Anatolia, Suriah, Mesopotamia, Mesir, sebagian besar Afrika Utara, dan wilayah di sekitar kota-kota suci Madinah dan Mekah. Ottoman juga menghubungkan tiga benua—Eropa, Asia, dan Afrika.
Ottoman memerintah beragam kelompok dari Muslim dan non-Muslim. Mereka semua menyediakan sarana untuk mendukung keberlangsungan hidup sultan, militer, dan birokrasi besar yang bertanggung jawab atas administrasi kekaisaran.
Sebagian besar masa pemerintahannya, Ottoman berdiri berdampingan dengan dua dinasti Islam besar lainnya: Safawi di Iran dan Mughal di India.
Dalam menciptakan identitas mereka sendiri, Ottoman sangat dipengaruhi oleh warisan budaya Persia. Namun, pengaruh ini bergeser ke arah Eropa dari tahun 1600-an hingga 1800-an. Bahkan, nasib politik dan budaya Eropa banyak dipengaruhi oleh Ottoman.
Seni Ottoman mencerminkan berbagai keragaman yang mendapat pengaruh artistik dari budaya-budaya lain, baik negara-negara tetangga hingga Asia Tengah.
Pengaruh-pengaruh ini meresap ke ibu kota di Istanbul dari tempat-tempat sejauh Tiongkok, Iran, Mesir, Suriah, dan negara-kota Italia seperti Genoa dan Venesia.
Gaya-gaya artistik diserap melalui penaklukan, mengundang langsung para seniman, atau melalui migrasi penduduk. Para seniman, pada gilirannya, membawa tradisi asli mereka masing-masing dan memperkenalkannya di Ottoman.
Sultan Pengemban Kesenian
Kesenian di Ottoman berkembang dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Suleyman yang Agung (1520–1566). Mehmet Ozay dalam An Overview on Ottoman Manuscript Collection in Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas Library mengungkap bahwa tidak hanya pelukis, penyair, arsitek, dan kaligrafer yang paling terkenal yang dipekerjakan oleh sultan, tetapi hampir semua anggota istana—termasuk Suleyman sendiri— untuk membuat mahakarya dalam satu atau lebih seni visual dan sastra.
"Awalnya dilatih sebagai seorang tukang emas, Suleyman juga menjadi penyair ulung dengan nama samaran Muhibbi, yang berarti “sahabat terkasih,"” ungkap Mehmet. Sultan-sultan berikutnya seperti Mahmut II (1807–1839) dan putranya, Abdulmecid I (1839–1861), dikenal sebagai kaligrafer ulung.
Baca Juga: Bayangan 'Raja Kafir' Buat Melayu-Nusantara Menggandeng Ottoman
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR