Sebutan dalam pangkat militer di negeri kita umumnya dipengaruhi bahasa Belanda—kerena kita pernah menjadi koloninya. Sebagai contoh lutnani dalam pasukan Tamburu, yang tampaknya diadopsi dari sebutan luitenant dalam organisasi militer Belanda.
Namun, pangkat saragenti tampaknya memiliki kemiripan dengan sargento dalam bahasa Portugis. Begitu juga nama sulujaju telah mengingatkan saya pada kata soldado dalam bahasa Portugis yang bermakna serdadu atau prajurit tempur. Tampaknya orang-orang Portugis pernah berjejak di Kepulauan Tukang Besi, atau setidaknya Kerajaan Buton.
Lima prajurit Tamburu itu mengantarkan kami menghadap Lakina Barata Kahedupa, yang kedudukannya setara raja untuk masyarakat adat. Saya begitu terkesan menyaksikan sebuah tarian penyambutan nan agung itu di muka bangunan Kamali, sebutan untuk istana Raja Kaledupa yang sekujur pagarnya ditanami meriam-meriam kuno.
"Sebenarnya itu bukan tarian," ujar La Saidin selaku Lakina Barata Kahedupa XXIV kepada kami di istananya. "Itu adalah pasukan di mana pasukan ini dipergelarkan setiap ada tamu kehormatan yang ingin masuk ke kerajaan bertemu dengan lakina maupun sara barata kahedupa, yang hanya di kamali untuk menjemput tamu kehormatan."
Kerajaan kecil ini memiliki pasukan perang yang pernah menjadi garis depan pertahanan kerajaan kecil ini. Dahulu mereka merupakan anggota masyarakat yang direkrut karena kemampuan yang telah teruji dalam perang. Dia menambahkan bahwa kini pasukan Tamburu hanya berjumlah sepuluh orang, yang terbagi dalam "dua pasukan, timur dan barat, umbosa dan siofa. Mereka berada di bawah koordinasi Miantu'u Sulujaju atau Panglima."
Saidin, yang berlatar pendidikan guru, duduk bersila didampingi para perangkat adat Barata Kahedupa, yang strukturnya nyaris serupa dengan struktur pemerintahan negara kita. Semua pejabat adat yang hadir tampak bersarung tenun Kaledupa. Mereka telah duduk bersila dalam satu deret sebelum kami tiba di istana ini. Suasananya mirip sidang kabinet dalam pemerintahan negara, kendati tak semua pejabat adat hadir.
Kami pun merasa sebagai para pelawat dari negeri seberang yang disambut oleh raja dan rakyatnya dengan begitu rancak.
Tahun ini Barata Kahedupa merayakan hari jadinya yang ke-764. Artinya, tiga dekade lebih tua dari Kerajaan Majapahit yang didirikan di hutan Trik, Jawa Timur!
Sayudin selaku Bonto Paseba, protokoler yang menanganai adat istiadat dalam istana, mengungkap tradisi tutur di Kaledupa secara ringkas. Empat ribu tahun silam, ujarnya, permukiman pertama di Kaledupa adalah Bukit Tapa'a Tombuluruha. Pada awal abad ke-13 datanglah rombongan asal Persia. Mereka menggelar acara sarahungka—yaitu raja-raja lokal di masa itu. "Setelah tahun 1260 Masehi," ujarnya, "kerajaan-kerajaan lokal bergabung menjadi Sara Kahedupa, yang namanya Kerajaan Kahedupa, pemimpinnya disebut Waopu."
Saya tertarik untuk mengetahui hierarki Barata Kahedupa karena kita bisa mengetahui pemimpin adat atau tokoh masyarakat yang memiliki otoritas dalam menetapkan dan menegakkan aturan. Apabila kita memahami siapa selaku pemegang kuasa, informasi itu membantu dalam mengidentifikasi sumber aturan dan cara penerapannya. Menurut hemat saya, struktur masyarakat adat sering kali mencerminkan etika ekologi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Etika ekologi yang mereka miliki biasanya mengandung pengetahuan penting tentang cara-cara efektif menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Baca Juga: Benteng Baadia, Benteng Pertahanan Raksasa Era Sultan Buton XXIX
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR