Oleh Mark Synnott dalam artikel yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2020
Nationalgeographic.co.id—Nyaris satu dekade silam, Sandy Irvine dan rekan sepemanjatannya, George Mallory, menghilang di sebuah gigir nan tinggi di Everest. Apakah mereka berhasil mencapai puncak, 29 tahun sebelum Edmund Hillary dan Tenzing Norgay dielu-elukan sebagai orang pertama yang mendaki puncak tertinggi di dunia? Penulis dan timnya menapaki kembali jejak Irvine untuk menemukan jasadnya—dan kamera yang bisa jadi menulis ulang kisah gunung itu.
“JANGAN LAKUKAN ITU,” ujarnya. “Kamu terlalu lelah. Itu tak sepadan.”
Jamie McGuinness, pemandu dan pemimpin ekspedisi kami, menatap tajam ke arah saya dengan mata cekung dan memerah. Ia melepaskan masker oksigen dan membuka kacamatanya.
Kami duduk di tumpukan bebatuan pada ketinggian 8.440 meter di Northeast Ridge, Gunung Everest—sisi Tiongkok, jauh dari kerumunan di Nepal. Seratus meter di bawah kami terdapat titik GPS, yang bisa memecahkan misteri terbesar pendakian gunung ini. Penelitian baru mengindikasikan bahwa penjelajah asal Inggris nan legendaris, Andrew “Sandy” Irvine bisa jadi terjatuh dan berhenti di titik itu. Apakah jasadnya masih ada di sana?
Hampir satu abad yang lalu, saat menuruni punggungan ini, Irvine dan rekan pendakiannya, George Mallory, menghilang. Sejak saat itu dunia bertanya-tanya, apakah salah satu atau kedua orang itu berhasil mencapai puncak di hari itu? Tepatnya 29 tahun sebelum Edmund Hillary dan Tenzing Norgay menjadi sohor sebagai orang pertama yang berdiri di puncak Everest. Irvine diperkirakan membawa kamera Kodak Vest Pocket. Jika itu bisa ditemukan dan menyimpan jepretan di puncak, maka bisa menggores ulang sejarah terkait puncak tertinggi di dunia.
Saya menyapukan pandangan pada medan sekitar. Serangkaian tebing curam pendek diapit oleh langkan-langkan batu berliput es dan reruntuhan batu, di daerah batuan berwarna cerah yang dikenal dengan nama Yellow Band. Empat ribu meter di bawah, dataran gersang Plato Tibet berkilauan bagaikan fatamorgana.
Saya nyaris belum tidur selama 48 jam belakangan dan merasa lemas dan mual akibat ketinggian yang ekstrem. Sejak meninggalkan Advanced Base Camp pada ketinggian 6.400 meter tiga hari sebelumnya, saya hanya bisa memaksakan diri mengunyah beberapa gigit penganan—yang setelahnya saya muntahkan. Saya sangat lelah, otak saya yang kekurangan oksigen memohon-mohon agar saya bisa berbaring dan menutup mata. Namun sisa-sisa pikiran jernih memberikan pemahaman, bahwa jika saya melakukannya, saya bisa jadi tak akan pernah terbangun.
Beberapa batuan kecil berjatuhan dari atas Saya menengadah dan melihat fotografer Renan Ozturk menuruni punggungan ke arah kami. Tali statis kecil berona ungu meliliti tangannya. Itu merupakan tali nyawa kami menuju puncak, tempat kami berdiri beberapa jam sebelumnya.
“Bagaimana menurutmu?”
Dia tidak menjawabnya dengan segera, dadanya naik turun. Setelah napasnya teratur ia berkata, “Kamu harus mencobanya.”
Baca Juga: Setelah 100 Tahun, Potongan Tubuh Andrew Irvine Ditemukan di Everest
Saya mengangguk, melepaskan alat pengaman dari tali, dan dengan tidak yakin mengambil langkah pertama menuruni tebing langkan batu yang miring. Sesaat setelah saya meninggalkan tali tersebut, Lhakpa Sherpa berteriak, “tidak, tidak, tidak!”
Saya melambai padanya. “Saya hanya perlu memeriksa sesuatu. Saya tidak akan pergi jauh.”
Namun dia memohon pada saya untuk berhenti. “Sangat berbahaya, sangat berbahaya!”
Dia tahu bahwa sekali salah langkah saat menjejak bebatuan lepasan yang berserak, bisa menyebabkan saya jatuh bebas menuju Gletser Rongbuk setinggi 2.000 meter. Sebagian dari diri saya setuju dengannya dan ingin mengabaikan ide itu. Setelah puluhan tahun mendaki gunung di seluruh dunia, saya berjanji pada diri saya untuk tidak pernah melewati batas apapun yang risiko objektifnya terlalu tinggi. Namun, kini saya mengabaikan McGuinness, Lhakpa, dan janji saya sendiri. Misteri akan hilangnya Irvine, terlalu kuat.
Saya sudah lama mengetahui soal teori bahwa Mallory dan Irvine mungkin adalah yang pertama kali mendaki puncak Everest.
Tetapi saya terkena demam Irvine—antusiasme untuk menemukannya—hanya dua tahun sebelum ini. Itu terjadi setelah menghadiri ceramah oleh teman saya Thom Pollard, s eorang pendaki Everest berpengalaman yang tinggal beberapa kilometer dari rumah saya.
“Kamu tidak berpikir bahwa kamu benar-benar bisa menemukannya, bukan?” tanya saya.
Dia tertawa kecil. “Bagaimana jika aku punya informasi penting yang tak dimiliki orang lain?”
“Seperti apa?” balas saya dengan cepat.
Dia bergeming selama beberapa detik. “Seperti lokasi tepat letak jasadnya.”
Baca Juga: Bukan Everest, Inilah Gunung Paling Mematikan di Dunia bagi Para Pendaki
Pollard adalah juru kamera pada Mallory and Irvine Research Expedition 1999, saat pendaki gunung tinggi berkebangsaan Amerika, Conrad Anker, menemukan jasad George Mallory di bagian sisi utara Everest. Hanya beberapa pendaki yang berkelana di tempat ini.
Seluruh bagian belakang tubuh Mallory terbuka, kulitnya terawetkan begitu bersih dan putih bagaikan patung marmer. Tali putus yang diikatkan di pinggangnya telah meninggalkan bekas di tubuhnya, petunjuk bahwa pada suatu ketika, Mallory mungkin telah jatuh terayun dengan keras. Kaki kirinya disilangkan di atas kaki kanannya, yang patah di bagian atas sepatunya. Tampak jelas bahwa Mallory masih hidup, setidaknya dalam waktu singkat, ketika dia tiba di tempat peristirahatan terakhirnya.
Anker dan rekan-rekan pencari awalnya berasumsi bahwa jasad itu adalah milik Sandy Irvine karena letaknya hampir tepat di bawah tempat kapak es Irvine ditemukan. Apakah Mallory terikat dengan Irvine pada saat ia jatuh? Dan jika demikian, mengapa talinya terputus, dan mengapa Irvine tidak ada di dekatnya?
Mallory telah mengumumkan bahwa jika dia berhasil mencapai puncak, dia akan meninggalkan foto istrinya di atas. Foto istrinya tidak ditemukan di jasad itu.
Tanda-tanda keberadaan kamera juga tidak ditemukan, yang menyebabkan banyak sejarawan Everest menyimpulkan bahwa Irvine pasti membawanya.
Orang terakhir yang melihat pasangan itu adalah rekan satu tim mereka Noel Odell, yang pada 8 Juni 1924 berhenti di ketinggian sekitar 8.000 meter, untuk mengalihkan pandangannya ke arah puncak. Namun pada pukul 12:50, awan yang berputar itu terangkat sejenak, mengungkapkan pendakian Mallory dan Irvine yang “bergerak cepat” ke atas, sekitar 250 meter dari puncak, Odell melaporkan.
“Mata saya terpaku pada satu titik hitam kecil yang berbentuk siluet di atas puncak salju kecil,” tulis Odell dalam laporannya pada 14 Juni. “Yang pertama kemudian mendekati tempat pemanjatan batu besar dan segera muncul di puncak; yang kedua juga demikian. Lalu seluruh penglihatan yang menakjubkan itu lenyap, diselimuti awan sekali lagi."
HINGGA KINI, saya menolak gagasan untuk mendaki Everest, disurutkan oleh cerita-cerita tentang kerumunan, para pendaki ingusan, dan pengalihan risiko kepada tim pendukung pendakian, kebanyakan etnis Sherpa, yang kadang-kadang dibayar dengan nyawanya.
Itulah salah satu alasan saya tidak pernah memahami obsesi Pollard dengan puncak itu. Namun ketika kami terus berbincang, kisah Mallory dan Irvine semakin lama semakin membangkitkan minat saya. Pollard bercerita tentang Tom Holzel, penulis, dan penggemar Everest berusia 79 tahun yang telah menghabiskan lebih dari empat dekade mencoba memecahkan misteri ini.
Pada 1986, Holzel memimpin ekspedisi pertama mencari Mallory dan Irvine bersama Audrey Salkeld, seorang sejarawan Everest yang terkemuka. Akan tetapi, hujan salju yang luar biasa dahsyat pada musim gugur itu membuat tim mereka tidak bisa mencapai ketinggian yang semestinya, di sisi Tiongkok gunung itu. Jasad Mallory kemudian ditemukan dalam jarak 35 meter dari titik yang ditargetkan Holzel.
Baca Juga: Everest adalah Gunung Aneh di Pegunungan Himalaya, Ini Alasannya
Gagasan dia berikutnya adalah menggunakan foto udara yang diambil selama proyek pemetaan Everest yang didukung oleh National Geographic, untuk mencoba menentukan lokasi yang tepat di gunung, tempat seorang pendaki Tiongkok mengaku melihat tubuh Irvine.
Xu Jing adalah wakil pemimpin ekspedisi Tiongkok yang melakukan pendakian pertama dari sisi utara Everest pada Mei 1960. Menurut pengakuan Xu, setelah menyerah dari upaya pencapaian puncak, ia mengambil jalan pintas melalui Yellow Band ketika ia melihat seseorang yang sudah lama wafat, di dalam rekahan di ketinggian sekitar 8.300 meter. Pada saat penampakan ini terjadi, hanya dua orang yang telah meninggal dalam ketinggian ini di sisi utara Everest, yaitu Mallory dan Irvine. Pada saat Xu memberikan pengakuan ini, yaitu pada tahun 2001, jasad Mallory sudah ditemukan dengan ketinggian lebih rendah, di gunung itu.
Saat Pollard dan saya mengunjungi Holzel pada Desember 2018, ia menunjukkan kepada kami melalui foto Washburn yang skalanya dibesarkan, menjadi foto selebar 2,5 meter. Hanya ada satu rute yang masuk akal sebagai jalan pintas Xu. Holzel terfokus di satu rekahan yang ia yakini sebagai lokasi tubuh Irvine.
Saya menunjuk ke lingkaran merah di foto raksasa itu. “Bagaimana kemungkinannya bahwa dia benar-benar ada di sini?”
“Dia tak mungkin tidak berada di sana,” kata Holzel.
Keberhasilan Irvine mencapai Everest, dalam berbagai hal, adalah suatu kebetulan.
Pemuda atletis berusia 21 tahun yang pemalu itu masih menjadi seorang mahasiswa di Merton College milik Oxford, ketika Mount Everest Committee mengundangnya untuk bergabung dalam ekspedisi pada 1923. Tidak seperti anggota tim Inggris yang lebih berpengalaman, Irvine memiliki pengalaman pendakian yang terbatas.
Namun, pada saat kelompok itu mencapai gunung tersebut, anggota termuda dari tim ini memenangkan rasa hormat dari rekan-rekan satu timnya dan membuktikan kegunaan dirinya dengan sepenuhnya mendesain ulang peralatan oksigen model baru mereka. Ia menjadikannya lebih ringan, tidak berat dan besar, dan tidak mudah rusak.
Beberapa bulan sebelum ekspedisi kami sendiri pada 2019, saya pergi menyambangi Sandy Irvine Archive di Merton untuk melihat buku harian Irvine terkait Everest, yang diambil kembali dari gunung tersebut setelah kepergiannya.
Petugas pengarsipan Julian Reid membawakan saya buku itu. Dia membuka lembaran catatan terakhir dan berkata, “Ketika saya membacanya, ini membuat bulu kuduk saya berdiri.”
Baca Juga: Inilah Alasan Kita Tidak Bisa Merebus Telur di Puncak Gunung Everest
Irvine menulis catatan terakhirnya pada malam 5 Juni, ketika ia dan Mallory berkemah di ketinggian 7.000 meter di North Col, tempat mereka bersiap untuk memulai percobaan untuk mencapai puncak di hari berikutnya. Dia mengeluhkan dalam buku hariannya bahwa kulitnya telah retak dan melepuh akibat matahari. “Wajahku yang mulus terasa benar-benar menderita. Telah menyiapkan 2 peralatan oksigen untuk memulai perjalanan kami esok pagi.“
Saya memiliki reaksi yang sama dengan reaksi Reid ketika membaca kata-kata Irvine, bersamaan dengan perasaan sedih yang mendalam. Ketika Irvine menghilang, usianya sama dengan usia putra sulungku.
Sebelum kami dapat melakukan pencarian untuk Irvine, kami harus beraklimatisasi dengan ketinggian dan menguji senjata rahasia kami: armada kecil drone.
Ozturk berharap untuk menggunakan wahana udara nirawak ini untuk mencari tidak hanya yang disebut sebagai rekahan Irvine, tetapi juga seluruh wajah utara gunung itu.
Pada 1 Mei 2019, tim kami duduk di sekitar meja lipat di tenda makan, yang bertengger pada ketinggian 6.400 meter, di atas platform batu di Advanced Base Camp.
"Itu adalah siklon kategori 4,” kata McGuinness, menunjuk ke pusaran berwarna cerah di Teluk Bengala pada laptopnya. ”Siklon ini bisa menumpahi kita, salju setebal 30 sentimeter dalam beberapa hari ke depan.”
Rencana kami adalah menerbangkan drone dari North Col, keesokan harinya. Namun McGuinness skeptis. “Mungkin terlalu berangin di sana.”
Dia benar. Embusan angin di North Col satu setengah hari kemudian demikian kuat sehingga Ozturk bahkan tidak bisa membawa drone pertamanya kembali ke tempatnya diterbangkan. Dia harus mendaratkannya di dekatnya, untuk mengambilnya.
Malam itu kami berkerumun di tenda, saat badai semakin kuat. Sekarang kami berada 600 meter lebih tinggi dibandingkan dengan Advanced Base Camp, dan saya mengalami batuk yang menyiksa dan merasa lesu dan sedikit mual. Beberapa saat sebelum tengah malam saya mendengar sesuatu yang terdengar seperti pesawat Boeing 747 lepas landas di atas kepala kami. Beberapa detik kemudian, tenda itu rata. Embusan angin hanya berlangsung beberapa detik sebelum tenda itu kembali berdiri, tetapi saya tahu lebih banyak lagi angin yang akan datang.
Selama beberapa jam berikutnya, angin ribut terbentuk, sampai sekitar pukul 2 pagi, ketika embusan angin menggencet kepala saya ke tanah, dan saya merasakan pipi saya menekan es di bawah tenda. Gunung itu bergetar seperti gunung api yang akan meledak. Raungan amarah menyematkan kami ke tanah selama 20 atau 30 detik, dan saya ingat berpikir dalam hati, Seperti inikah rasanya tepat sebelum mati? Tiang-tiang tenda patah, dan serpihan-serpihan patahannya memotong nilon tenda berwarna kuning itu menjadi lembaran pita. Saya berdoa agar pasak bambu yang menahan kami ke gunung itu akan bertahan.
Baca Juga: Ahli Geologi Jelaskan Kenapa Gunung Everest Bertambah Tinggi Tiap Tahun
Ketika matahari akhirnya terbit, dua anggota tim saya meringkuk dalam posisi bagaikan janin di sebelah saya, dan saya menyenggoli kaki mereka untuk memastikan mereka masih hidup. Ketika saya merangkak keluar, setiap tenda hancur dan rusak, dan satu, terbang di udara sekitar 150 meter di atas kami.
Saya melirik ke arah punggungan gunung dan melihat sekelompok pendaki India turun menuju perkemahan kami saat embusan angin lain menerpa. Tiba-tiba, semua orang berteriak. Empat orang tersapu dan bergelantungan di bibir dinding es setinggi 300 meter. Salah satu anggota tim kami meluncur ke pasak yang menahan ujung tali mereka dan menghantamnya dengan kapak agar tali itu tertahan, sementara yang lain menggunakan tali tambahan untuk menarik pendaki kembali ke tempat yang aman.
KAMI MEMILIKI KEBERUNTUNGAN YANG LEBIH BAIK terkait drone seminggu kemudian.
Dalam satu upaya terakhir pencarian dari udara, kami naik kembali ke North Col dan menyaksikan dengan tegang ketika Ozturk meluncurkan drone menuju puncak. Pada saat angin mulai berembus di sore hari, Ozturk telah mengambil 400 gambar beresolusi tinggi dari area pencarian, termasuk gambar jarak dekat dari titik yang ditentukan Holzel.
Di salah satu foto, saya melihat rekahan, tetapi tidak bisa melihat ke bagian dalamnya. Apakah jasad Irvine ada di dalam?
Kesempatan pertama untuk mencapai puncak terbuka pada 22 Mei, saat kami menunggu di Advanced Base Camp.
Setelah dua kali perjalanan ke North Col, kami sekarang benar-benar sudah teraklimatisasi, siap berangkat ke area pencarian kami yang tinggi di Northeast Ridge. Akan tetapi, kami jauh dari sendiri di gunung itu. Lebih dari 450 orang siap untuk melakukan pendakian dari sisi gunung Nepal. Sekitar 200 lainnya menunggu di sisi Tiongkok, bersama kami. McGuinness melepaskan pandangan pada kerumunan yang haus akan puncak ini dan berkata, tidak. Kami harus menunggu jendela berikutnya.
Selama beberapa hari berikutnya, sembilan orang kehilangan nyawanya di Everest. Tujuh di sisi selatan dan dua di utara (dua lagi meninggal seminggu sebelumnya di sisi selatan, sehingga totalnya menjadi 11).
Pada 23 Mei sore hari, kami duduk bersama tim pendukung pendakian, untuk membahas logistik bagi pencarian ini. McGuinness meyakinkan kami bahwa tim sudah paham dengan rencana kami, tetapi tampaknya ada sesuatu yang hilang akibat kekurangpahaman bahasa. Ketika saya menggambarkan strategi kami untuk mencari jasad Irvine di Yellow Band, mereka mengangkat tangan dan mulai berdebat dalam bahasa Nepal.
“Kita tidak akan pergi ke puncak?” Lhakpa Sherpa bertanya. “Masalah besar.”
Baca Juga: Sejarah Mematikan Gunung Everest, Penjelajahan, dan Perubahan Iklim
Ozturk menerjemahkan untuk kami semua. Pertama-tama, tim pendukung tidak ingin kami keluar dari jalur tali statis yang dipasang oleh orang Tiongkok. Hal itu terlalu berbahaya dan bertentangan dengan instruksi resmi, kata mereka. Hal yang kedua, puncak adalah hal penting bagi mereka. Beberapa orang dari tim kami adalah pemula yang belum pernah mencapai puncak Everest. Hal yang ketiga, mereka ingin menghabiskan waktu sesedikit mungkin di Camp III, yang berketinggian sekitar 8.200 meter, yang masuk ke Death Zone—Zona Kematian, tempat udara terlalu tipis untuk bertahan dalam waktu lama. “Sangat berbahaya untuk semua orang,” kata mereka.
Saya beralih ke McGuinness. “Aku pikir kamu sudah memberi tahu mereka tentang pencarian ini.“
Dia mengindikasikan bahwa dia memang mendiskusikan rencana tersebut dengan setidaknya beberapa tim pendukung kami saat di Kathmandu.
Kami sekarang berada dalam risiko besar dengan tim pendukung kami, yang berjumlah 12 orang. Seperti hampir setiap tim lain, kami bergantung pada dukungan mereka, dan jika mereka pergi, ekspedisi kami akan berakhir.
“Jika kita pergi ke puncak, bisakah aku membelok dari rute yang telah ditentukan untuk mencari rekahan Irvine baik saat di jalan naik atau turun?” Saya bertanya pada McGuinness.
“Dalam perjalanan turun akan lebih baik,” katanya. Plus, dengan cara itu, medannya akan tampak sama seperti yang Xu Jing lihat pada 1960, ketika ia mengklaim telah melihat mayat itu.
Ketika kami memanggil Lhakpa ke tenda makan dan mengatakan kepadanya bahwa kami akan menuju puncak, dia mengangguk dan berkata OK dalam bahasa Nepal. Tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan kemungkinan bahwa saya mungkin akan membandel saat turun. Namun saya berasumsi Lhakpa mengerti, mengingat b eb erapa menit sebelumnya kami mengatakan kepadanya bahwa itu adalah tujuan utama kami. Kami melihat rencana ini—pergi ke puncak dan melakukan pencarian di jalan turun—sebagai kompromi yang masuk akal.
DELAPAN HARI KEMUDIAN, tim kami mencapai puncak dunia dan mulai turun. Lhakpa memperhatikan saya dengan cermat ketika saya mempelajari medan. Ketika saya membuka klip dari tali pada ketinggian 8.440 meter, dia berteriak, “Tidak, tidak, tidak!”
Saya berdiri di sana. Dalam hati saya tahu bahwa menentang Lhakpa adalah salah dan saya bertindak seperti orang Barat yang lebih egois. Jika saya jatuh atau menghilang, Lhakpa wajib pergi mencari saya. Dan jika saya mati, dia harus menjelaskan kepada pejabat Tiongkok apa yang terjadi. Namun saya tahu saya bisa melakukannya. Dan bahwa Lhakpa akan memaafkan saya atas kelancangan ini.
Menurut GPS, rekahan Irvine sekarang dalam jarak sepelemparan batu. Saya berjalan melintasi sebuah langkan sempit yang ditutupi lempenglempeng kapur longgar. Satu meter ke arah luar, saya menginjak sepotong yang terlepas dari bawah kaki, dan saya terhuyung-huyung.
“Hati-hati!” Teriak Ozturk.
Setelah melintas ke arah samping sekitar 30 meter, saya mengamati arah bawah dan melihat celah dangkal curam yang memotong lapisan bebatuan, saat menuju langkan salju berikutnya di bawah. Samar-samar saya ingat fitur ini dari foto medan drone. Apakah ini tempat Xu mengambil jalan pintas?
Saya berbalik menghadap lereng, memposisikan diri seperti orang yang hendak menuruni tangga, dan menancapkan bagian pasak dari kapak es saya ke salju sekeras batu. Memandang ke bawah di antara kedua kaki, saya merasakan kehampaan yang memusingkan antara saya dan gletser jauh di bawah. Beberapa ratus meter di bawah saya adalah teras salju tempat Mallory ditemukan. Saya memeriksa GPS sekali lagi. Panah pada kompas menunjuk ke barat laut. Lima belas meter lagi.
Setelah memanjat turun sejauh beberapa kali panjang tubuh, saya berhenti di potongan gamping carut-marut berwarna cokelat pucat. Tebing itu bertinggi sekitar 2,5 meter dan kecuramannya bagaikan perosotan di taman bermain. Itu hampir tidak ada artinya di tempat lain, tetapi di sini, dalam kondisi kehabisan tenaga, sendirian dan tanpa tali, hal ini membuat saya takut. Dengan pasak kapak masih menancap di salju, saya turun menuju batuan itu.
Di dasar tebing, saya menarik napas dalamdalam. Tiga meter di sebelah kanan saya adalah sebuah ceruk kecil yang dikelilingi oleh dinding batu. Bagian tengah dinding bergaris-garis dengan urat batu cokelat gelap dengan retakan sempit di tengahnya. GPS mengatakan, saya telah tiba. Saat itulah saya tersadar: batu hitam itu adalah “celah” yang kami lihat melalui drone. Rupanya itu adalah ilusi optik. Retakan di tengahnya itu hanya selebar 23 sentimeter. Terlalu sempit bagi seseorang untuk masuk. Dan di dalamnya kosong. Dia tidak di sini.
Lereng itu terlalu curam bagi saya untuk duduk, jadi saya menanamkan kaki kanan ke samping, di sepetak salju, dan menyandarkan lutut kiri ke gunung. Membungkuk di atas kapak, dengan dagu di dada, saya mengisap masker oksigen, berusaha membersihkan kabut dari kepala. Ketika saya melihat kembali, berkedip di bawah sinar matahari tengah hari, celah itu masih kosong. Jauh di atas, puncak gunung berkilauan di langit biru pucat, tidak berubah dan acuh tak acuh.
Kami telah meneliti setiap petunjuk atau kemungkinan, dan saya telah mempertaruhkan hidup untuk memecahkan salah satu misteri terbesar Everest. Dan seperti semua orang yang pernah mencobanya, kami dihantui dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apa yang terjadi pada Irvine hari itu? Di mana dia akhirnya beristirahat? Apakah seseorang memindahkan tubuhnya dari lereng, atau apakah aliran angin kencang menyapunya?
Saya tidak punya jawabannya. Namun, saya belajar sesuatu tentang daya tarik Gunung Everest yang mendorong orang untuk memaksa diri mereka dengan sangat keras. Karena, jika saya tidak mengikuti jejak langkah Sandy Irvine, saya tak akan pernah merasakannya sendiri. Satu-satunya hal yang sekarang bisa saya katakan dengan pasti, adalah bahwa misteri Mallory dan Irvine akan bertahan—mungkin selamanya. Dan itu tidak mengapa.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR