Saya mengangguk, melepaskan alat pengaman dari tali, dan dengan tidak yakin mengambil langkah pertama menuruni tebing langkan batu yang miring. Sesaat setelah saya meninggalkan tali tersebut, Lhakpa Sherpa berteriak, “tidak, tidak, tidak!”
Saya melambai padanya. “Saya hanya perlu memeriksa sesuatu. Saya tidak akan pergi jauh.”
Namun dia memohon pada saya untuk berhenti. “Sangat berbahaya, sangat berbahaya!”
Dia tahu bahwa sekali salah langkah saat menjejak bebatuan lepasan yang berserak, bisa menyebabkan saya jatuh bebas menuju Gletser Rongbuk setinggi 2.000 meter. Sebagian dari diri saya setuju dengannya dan ingin mengabaikan ide itu. Setelah puluhan tahun mendaki gunung di seluruh dunia, saya berjanji pada diri saya untuk tidak pernah melewati batas apapun yang risiko objektifnya terlalu tinggi. Namun, kini saya mengabaikan McGuinness, Lhakpa, dan janji saya sendiri. Misteri akan hilangnya Irvine, terlalu kuat.
Saya sudah lama mengetahui soal teori bahwa Mallory dan Irvine mungkin adalah yang pertama kali mendaki puncak Everest.
Tetapi saya terkena demam Irvine—antusiasme untuk menemukannya—hanya dua tahun sebelum ini. Itu terjadi setelah menghadiri ceramah oleh teman saya Thom Pollard, s eorang pendaki Everest berpengalaman yang tinggal beberapa kilometer dari rumah saya.
“Kamu tidak berpikir bahwa kamu benar-benar bisa menemukannya, bukan?” tanya saya.
Dia tertawa kecil. “Bagaimana jika aku punya informasi penting yang tak dimiliki orang lain?”
“Seperti apa?” balas saya dengan cepat.
Dia bergeming selama beberapa detik. “Seperti lokasi tepat letak jasadnya.”
Baca Juga: Bukan Everest, Inilah Gunung Paling Mematikan di Dunia bagi Para Pendaki
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR