Ozturk menerjemahkan untuk kami semua. Pertama-tama, tim pendukung tidak ingin kami keluar dari jalur tali statis yang dipasang oleh orang Tiongkok. Hal itu terlalu berbahaya dan bertentangan dengan instruksi resmi, kata mereka. Hal yang kedua, puncak adalah hal penting bagi mereka. Beberapa orang dari tim kami adalah pemula yang belum pernah mencapai puncak Everest. Hal yang ketiga, mereka ingin menghabiskan waktu sesedikit mungkin di Camp III, yang berketinggian sekitar 8.200 meter, yang masuk ke Death Zone—Zona Kematian, tempat udara terlalu tipis untuk bertahan dalam waktu lama. “Sangat berbahaya untuk semua orang,” kata mereka.
Saya beralih ke McGuinness. “Aku pikir kamu sudah memberi tahu mereka tentang pencarian ini.“
Dia mengindikasikan bahwa dia memang mendiskusikan rencana tersebut dengan setidaknya beberapa tim pendukung kami saat di Kathmandu.
Kami sekarang berada dalam risiko besar dengan tim pendukung kami, yang berjumlah 12 orang. Seperti hampir setiap tim lain, kami bergantung pada dukungan mereka, dan jika mereka pergi, ekspedisi kami akan berakhir.
“Jika kita pergi ke puncak, bisakah aku membelok dari rute yang telah ditentukan untuk mencari rekahan Irvine baik saat di jalan naik atau turun?” Saya bertanya pada McGuinness.
“Dalam perjalanan turun akan lebih baik,” katanya. Plus, dengan cara itu, medannya akan tampak sama seperti yang Xu Jing lihat pada 1960, ketika ia mengklaim telah melihat mayat itu.
Ketika kami memanggil Lhakpa ke tenda makan dan mengatakan kepadanya bahwa kami akan menuju puncak, dia mengangguk dan berkata OK dalam bahasa Nepal. Tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan kemungkinan bahwa saya mungkin akan membandel saat turun. Namun saya berasumsi Lhakpa mengerti, mengingat b eb erapa menit sebelumnya kami mengatakan kepadanya bahwa itu adalah tujuan utama kami. Kami melihat rencana ini—pergi ke puncak dan melakukan pencarian di jalan turun—sebagai kompromi yang masuk akal.
DELAPAN HARI KEMUDIAN, tim kami mencapai puncak dunia dan mulai turun. Lhakpa memperhatikan saya dengan cermat ketika saya mempelajari medan. Ketika saya membuka klip dari tali pada ketinggian 8.440 meter, dia berteriak, “Tidak, tidak, tidak!”
Saya berdiri di sana. Dalam hati saya tahu bahwa menentang Lhakpa adalah salah dan saya bertindak seperti orang Barat yang lebih egois. Jika saya jatuh atau menghilang, Lhakpa wajib pergi mencari saya. Dan jika saya mati, dia harus menjelaskan kepada pejabat Tiongkok apa yang terjadi. Namun saya tahu saya bisa melakukannya. Dan bahwa Lhakpa akan memaafkan saya atas kelancangan ini.
Menurut GPS, rekahan Irvine sekarang dalam jarak sepelemparan batu. Saya berjalan melintasi sebuah langkan sempit yang ditutupi lempenglempeng kapur longgar. Satu meter ke arah luar, saya menginjak sepotong yang terlepas dari bawah kaki, dan saya terhuyung-huyung.
“Hati-hati!” Teriak Ozturk.
Setelah melintas ke arah samping sekitar 30 meter, saya mengamati arah bawah dan melihat celah dangkal curam yang memotong lapisan bebatuan, saat menuju langkan salju berikutnya di bawah. Samar-samar saya ingat fitur ini dari foto medan drone. Apakah ini tempat Xu mengambil jalan pintas?
Saya berbalik menghadap lereng, memposisikan diri seperti orang yang hendak menuruni tangga, dan menancapkan bagian pasak dari kapak es saya ke salju sekeras batu. Memandang ke bawah di antara kedua kaki, saya merasakan kehampaan yang memusingkan antara saya dan gletser jauh di bawah. Beberapa ratus meter di bawah saya adalah teras salju tempat Mallory ditemukan. Saya memeriksa GPS sekali lagi. Panah pada kompas menunjuk ke barat laut. Lima belas meter lagi.
Setelah memanjat turun sejauh beberapa kali panjang tubuh, saya berhenti di potongan gamping carut-marut berwarna cokelat pucat. Tebing itu bertinggi sekitar 2,5 meter dan kecuramannya bagaikan perosotan di taman bermain. Itu hampir tidak ada artinya di tempat lain, tetapi di sini, dalam kondisi kehabisan tenaga, sendirian dan tanpa tali, hal ini membuat saya takut. Dengan pasak kapak masih menancap di salju, saya turun menuju batuan itu.
Di dasar tebing, saya menarik napas dalamdalam. Tiga meter di sebelah kanan saya adalah sebuah ceruk kecil yang dikelilingi oleh dinding batu. Bagian tengah dinding bergaris-garis dengan urat batu cokelat gelap dengan retakan sempit di tengahnya. GPS mengatakan, saya telah tiba. Saat itulah saya tersadar: batu hitam itu adalah “celah” yang kami lihat melalui drone. Rupanya itu adalah ilusi optik. Retakan di tengahnya itu hanya selebar 23 sentimeter. Terlalu sempit bagi seseorang untuk masuk. Dan di dalamnya kosong. Dia tidak di sini.
Lereng itu terlalu curam bagi saya untuk duduk, jadi saya menanamkan kaki kanan ke samping, di sepetak salju, dan menyandarkan lutut kiri ke gunung. Membungkuk di atas kapak, dengan dagu di dada, saya mengisap masker oksigen, berusaha membersihkan kabut dari kepala. Ketika saya melihat kembali, berkedip di bawah sinar matahari tengah hari, celah itu masih kosong. Jauh di atas, puncak gunung berkilauan di langit biru pucat, tidak berubah dan acuh tak acuh.
Kami telah meneliti setiap petunjuk atau kemungkinan, dan saya telah mempertaruhkan hidup untuk memecahkan salah satu misteri terbesar Everest. Dan seperti semua orang yang pernah mencobanya, kami dihantui dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apa yang terjadi pada Irvine hari itu? Di mana dia akhirnya beristirahat? Apakah seseorang memindahkan tubuhnya dari lereng, atau apakah aliran angin kencang menyapunya?
Saya tidak punya jawabannya. Namun, saya belajar sesuatu tentang daya tarik Gunung Everest yang mendorong orang untuk memaksa diri mereka dengan sangat keras. Karena, jika saya tidak mengikuti jejak langkah Sandy Irvine, saya tak akan pernah merasakannya sendiri. Satu-satunya hal yang sekarang bisa saya katakan dengan pasti, adalah bahwa misteri Mallory dan Irvine akan bertahan—mungkin selamanya. Dan itu tidak mengapa.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR