Pollard adalah juru kamera pada Mallory and Irvine Research Expedition 1999, saat pendaki gunung tinggi berkebangsaan Amerika, Conrad Anker, menemukan jasad George Mallory di bagian sisi utara Everest. Hanya beberapa pendaki yang berkelana di tempat ini.
Seluruh bagian belakang tubuh Mallory terbuka, kulitnya terawetkan begitu bersih dan putih bagaikan patung marmer. Tali putus yang diikatkan di pinggangnya telah meninggalkan bekas di tubuhnya, petunjuk bahwa pada suatu ketika, Mallory mungkin telah jatuh terayun dengan keras. Kaki kirinya disilangkan di atas kaki kanannya, yang patah di bagian atas sepatunya. Tampak jelas bahwa Mallory masih hidup, setidaknya dalam waktu singkat, ketika dia tiba di tempat peristirahatan terakhirnya.
Anker dan rekan-rekan pencari awalnya berasumsi bahwa jasad itu adalah milik Sandy Irvine karena letaknya hampir tepat di bawah tempat kapak es Irvine ditemukan. Apakah Mallory terikat dengan Irvine pada saat ia jatuh? Dan jika demikian, mengapa talinya terputus, dan mengapa Irvine tidak ada di dekatnya?
Mallory telah mengumumkan bahwa jika dia berhasil mencapai puncak, dia akan meninggalkan foto istrinya di atas. Foto istrinya tidak ditemukan di jasad itu.
Tanda-tanda keberadaan kamera juga tidak ditemukan, yang menyebabkan banyak sejarawan Everest menyimpulkan bahwa Irvine pasti membawanya.
Orang terakhir yang melihat pasangan itu adalah rekan satu tim mereka Noel Odell, yang pada 8 Juni 1924 berhenti di ketinggian sekitar 8.000 meter, untuk mengalihkan pandangannya ke arah puncak. Namun pada pukul 12:50, awan yang berputar itu terangkat sejenak, mengungkapkan pendakian Mallory dan Irvine yang “bergerak cepat” ke atas, sekitar 250 meter dari puncak, Odell melaporkan.
“Mata saya terpaku pada satu titik hitam kecil yang berbentuk siluet di atas puncak salju kecil,” tulis Odell dalam laporannya pada 14 Juni. “Yang pertama kemudian mendekati tempat pemanjatan batu besar dan segera muncul di puncak; yang kedua juga demikian. Lalu seluruh penglihatan yang menakjubkan itu lenyap, diselimuti awan sekali lagi."
HINGGA KINI, saya menolak gagasan untuk mendaki Everest, disurutkan oleh cerita-cerita tentang kerumunan, para pendaki ingusan, dan pengalihan risiko kepada tim pendukung pendakian, kebanyakan etnis Sherpa, yang kadang-kadang dibayar dengan nyawanya.
Itulah salah satu alasan saya tidak pernah memahami obsesi Pollard dengan puncak itu. Namun ketika kami terus berbincang, kisah Mallory dan Irvine semakin lama semakin membangkitkan minat saya. Pollard bercerita tentang Tom Holzel, penulis, dan penggemar Everest berusia 79 tahun yang telah menghabiskan lebih dari empat dekade mencoba memecahkan misteri ini.
Pada 1986, Holzel memimpin ekspedisi pertama mencari Mallory dan Irvine bersama Audrey Salkeld, seorang sejarawan Everest yang terkemuka. Akan tetapi, hujan salju yang luar biasa dahsyat pada musim gugur itu membuat tim mereka tidak bisa mencapai ketinggian yang semestinya, di sisi Tiongkok gunung itu. Jasad Mallory kemudian ditemukan dalam jarak 35 meter dari titik yang ditargetkan Holzel.
Baca Juga: Everest adalah Gunung Aneh di Pegunungan Himalaya, Ini Alasannya
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR