Irvine menulis catatan terakhirnya pada malam 5 Juni, ketika ia dan Mallory berkemah di ketinggian 7.000 meter di North Col, tempat mereka bersiap untuk memulai percobaan untuk mencapai puncak di hari berikutnya. Dia mengeluhkan dalam buku hariannya bahwa kulitnya telah retak dan melepuh akibat matahari. “Wajahku yang mulus terasa benar-benar menderita. Telah menyiapkan 2 peralatan oksigen untuk memulai perjalanan kami esok pagi.“
Saya memiliki reaksi yang sama dengan reaksi Reid ketika membaca kata-kata Irvine, bersamaan dengan perasaan sedih yang mendalam. Ketika Irvine menghilang, usianya sama dengan usia putra sulungku.
Sebelum kami dapat melakukan pencarian untuk Irvine, kami harus beraklimatisasi dengan ketinggian dan menguji senjata rahasia kami: armada kecil drone.
Ozturk berharap untuk menggunakan wahana udara nirawak ini untuk mencari tidak hanya yang disebut sebagai rekahan Irvine, tetapi juga seluruh wajah utara gunung itu.
Pada 1 Mei 2019, tim kami duduk di sekitar meja lipat di tenda makan, yang bertengger pada ketinggian 6.400 meter, di atas platform batu di Advanced Base Camp.
"Itu adalah siklon kategori 4,” kata McGuinness, menunjuk ke pusaran berwarna cerah di Teluk Bengala pada laptopnya. ”Siklon ini bisa menumpahi kita, salju setebal 30 sentimeter dalam beberapa hari ke depan.”
Rencana kami adalah menerbangkan drone dari North Col, keesokan harinya. Namun McGuinness skeptis. “Mungkin terlalu berangin di sana.”
Dia benar. Embusan angin di North Col satu setengah hari kemudian demikian kuat sehingga Ozturk bahkan tidak bisa membawa drone pertamanya kembali ke tempatnya diterbangkan. Dia harus mendaratkannya di dekatnya, untuk mengambilnya.
Malam itu kami berkerumun di tenda, saat badai semakin kuat. Sekarang kami berada 600 meter lebih tinggi dibandingkan dengan Advanced Base Camp, dan saya mengalami batuk yang menyiksa dan merasa lesu dan sedikit mual. Beberapa saat sebelum tengah malam saya mendengar sesuatu yang terdengar seperti pesawat Boeing 747 lepas landas di atas kepala kami. Beberapa detik kemudian, tenda itu rata. Embusan angin hanya berlangsung beberapa detik sebelum tenda itu kembali berdiri, tetapi saya tahu lebih banyak lagi angin yang akan datang.
Selama beberapa jam berikutnya, angin ribut terbentuk, sampai sekitar pukul 2 pagi, ketika embusan angin menggencet kepala saya ke tanah, dan saya merasakan pipi saya menekan es di bawah tenda. Gunung itu bergetar seperti gunung api yang akan meledak. Raungan amarah menyematkan kami ke tanah selama 20 atau 30 detik, dan saya ingat berpikir dalam hati, Seperti inikah rasanya tepat sebelum mati? Tiang-tiang tenda patah, dan serpihan-serpihan patahannya memotong nilon tenda berwarna kuning itu menjadi lembaran pita. Saya berdoa agar pasak bambu yang menahan kami ke gunung itu akan bertahan.
Baca Juga: Ahli Geologi Jelaskan Kenapa Gunung Everest Bertambah Tinggi Tiap Tahun
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR