Nationalgeographic.co.id—Perang Dunia Pertama tidak hanya tentang baku tembak dan medan perang, tetapi juga tentang propaganda, tak terkecuali di Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-20, komunitas Hadhrami-Arab memiliki hubungan kuat dengan Kekaisaran Ottoman. Selain itu, mereka juga menaruh minat dan ikatan yang kuat dengan organisasi Islam modern pertama yang didirikan, yakni Sarekat Dagang Islam.
Didukung oleh Tirtoadisuryo (lulusan OSVIA), seorang pedagang batik bernama Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 sebagai koperasi pedagang batik Jawa.
Dalam Perang Dunia Pertama, Sarekat Islam (penerus Sarekat Dagang Islam) meluncurkan propaganda untuk mendukung Ottoman.
"Dengan surat kabarnya yang bernama Oetoesan Hindia, mereka sering menerbitkan berita mengenai Ottoman," ungkap Frial Ramadhan Supratman dalam makalah "Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia during the First World War 1911-1924" yang dimuat di jurnal Studia Islamika.
Cokroaminoto diangkat sebagai editor Oetoesan Hindia. Surat kabar ini menyebarkan berita negatif tentang Inggris, karena negara itu telah menjajah banyak negara muslim. Bahkan, Oetoesan Hindia secara jelas mengungkapkan harapannya dalam Perang Dunia Pertama.
"Meskipun Turki mengambil posisi netral, pemerintah dan Kekhalifahan Ottoman menyerukan kekalahan aliansi antara Inggris dan Rusia karena, jika mereka menang, mereka akan mendapatkan otoritas luas atas Asia dan Eropa.
Dalam hal ini, orang-orang yakin bahwa Rusia tidak akan menunggu terlalu lama untuk menyerbu Konstantinopel dan mendeklarasikan negara Armenia yang terpisah; Mesir akan dijadikan Kerajaan Arab oleh Inggris (tentu saja, di bawah perlindungan Inggris). Dan Khalifah akan dipindahkan ke Mekah, serta Prancis akan tinggal selamanya di Suriah, dan negara itu akan menjadi Tunisia kedua."
Selain Oetoesan Hindia, surat kabar Pantjaran Warta juga menjadi media penting bagi Sarekat Islam. Surat kabar ini dibeli oleh Sarekat Islam dari Seng Hoat pada 21 Juni 1913.
Di bawah kepemimpinan Goenawan, surat kabar ini akhirnya menjadi corong Sarekat Islam. Seperti Mas Marco Kartodikromo dan Sosro Koornio dari surat kabar Sarotomo, serta Djojosoediro dari Tjahaja Timoer, Goenawan termasuk salah satu editor paling radikal pada masanya.
Dalam pemberontakan di Muara Tembesi di Jambi, Sumatra, Goenawan disebut sebagai perwakilan dari Khalifah Turki. Surat kabar Pantjaran Warta membantu Rafet Bey untuk menyampaikan pandangan dan pemikirannya terkait Ottoman selama Perang Dunia Pertama dan masalah Armenia.
Baca Juga: Komunitas di Batavia 'Backingan' Ottoman Buat Kesal Kolonial Belanda
Dalam pemberitaan tentang Perang Dunia Pertama, Pantjaran Warta selalu mendukung Ottoman. Surat kabar ini memberi tahu para pembacanya yang berbahasa Melayu tentang kondisi tentara Ottoman di medan perang:
“Seperti yang telah kami tulis dalam beberapa minggu terakhir mengenai bagaimana perlakuan muslim Turki terhadap musuh-musuh mereka, kami berharap Tuan Law (Menteri Keuangan Inggris) tidak perlu khawatir, karena mereka (muslim Turki) harus menghadapi musuh-musuh mereka, dan selalu memperlakukan musuh mereka dengan baik.”
Dalam edisi Pantjaran Warta yang diterbitkan pada hari raya Idulfitri, surat kabar tersebut dengan jelas mendukung Ottoman dalam Perang Dunia Pertama. Goenawan, sebagai editor, menulis bahwa umat muslim di Hindia Belanda selalu mencintai Turki (Ottoman). Ia menulis:
"Kita semua sebagai muslim mencintai Turki dari perkataan merasuk hingga ke tulang kita. Tidak ada gunanya jika Inggris menerbitkan berita untuk mencoba membuat kita membenci Ottoman. Para pembaca, percayalah!"
Berkat koneksinya yang luas di Hindia Belanda, Rafet Bey berhasil mengumpulkan dukungan dan sumbangan dari umat muslim di seluruh Hindia Belanda.
Dalam upayanya, dia mengorganisir Hilal-i Ahmer Cemiyeti (Perkumpulan Bulan Sabit Merah), sebuah organisasi amal Ottoman yang didirikan pada tahun 1912 selama perang Balkan untuk membantu para janda dan yatim piatu tentara Ottoman.
Pada 16 Maret 1916, cabang Hilal-i Ahmer Cemiyeti di Batavia berhasil mengumpulkan uang sebanyak 2.120 gulden Hindia Belanda, yang kemudian dikirimkan kembali ke pusat organisasi di Istanbul.
"Dalam konteks ini, Rafet Bey berhasil memainkan peran diplomatik yang penting karena mampu menjalin hubungan dengan komunitas Arab-Hadhrami di Batavia," ungkap Frial.
Sejak pembukaan konsulat Ottoman di Batavia, komunitas Arab-Hadhrami berperan penting dalam membantu Ottoman di Asia Tenggara melalui kerja sama baik secara diplomatik dan ekonomi.
Berkat hubungan baik antara konsulat Ottoman dan komunitas Hadhrami, Hilal-i Ahmer Cemiyeti dapat beroperasi di Hindia Belanda. Ketua dari Hilal-i Ahmer Cemiyeti Hindia Belanda adalah Sayyid Hasan bin Semit, seorang Hadhrami.
"Seperti ia mendapatkan dukungan dari komunitas Hadhrami, Rafet Bey juga mendukung mereka dalam kehidupan sosial. Ini kontras dengan hubungannya dengan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda," jelas Frial.
Baca Juga: Kunci Sukses 'Sosok Tunggal' di Balik 600 Tahun Kekuasaan Ottoman
Rafet mengkritik kondisi ekonomi Hindia Belanda selama Perang Dunia Pertama. Menurutnya, orang-orang Tionghoa berperan buruk dengan menimbun berbagai produk sehingga harga banyak barang menjadi terlalu mahal.
Dalam konteks ini, Rafet Bey berusaha mendukung komunitas Hadhrami dalam persaingan antara pedagang Hadhrami dan Tionghoa di Jawa saat itu.
Komunitas Hadhrami membantu orang Jawa mendirikan organisasi modern bernama Sarekat Dagang Islam. Oleh karena itu, ada aliansi antara Ottoman, Hadhrami, dan masyarakat Jawa untuk menghadapi persaingan dengan pedagang Tionghoa.
Dalam surat kabarnya, Neraca, Sarekat Islam mengkritik kapitalisme para pedagang Tionghoa, menentang aktivitas pedagang Tionghoa.
Meskipun Rafet Bey jauh dari medan pertempuran, ia tetap harus bekerja untuk mendapatkan dukungan umat muslim di Hindia Belanda.
Ahmet Hancoglu berpendapat bahwa deklarasi jihad Ottoman kepada umat muslim di Asia Selatan dan Asia Tenggara bukanlah prioritas utama, karena jihad yang paling penting bukan untuk umat Sunni, melainkan untuk menarik umat Syiah guna membela tanah Islam di wilayah Ottoman.
Namun, reaksi umat muslim (yang mayoritas Sunni) di Hindia Belanda selama Perang Dunia Pertama adalah positif. Mereka mendukung Ottoman dengan uang dan media mereka, terutama surat kabar mereka.
Oleh karena itu, menyebarkan berita dukungan dan menyebarkan instruksi jihad menjadi agenda utama konsulat Ottoman di Batavia selama Perang Dunia Pertama untuk mendapatkan dukungan dari umat muslim di Hindia Belanda. Dukungan ini penting untuk mempertahankan posisi Utsmaniyah dalam perang.
Konsulat Ottoman dan Jerman di Batavia selalu berusaha bekerja sama dalam berbagai aktivitas, terutama selama Perang Dunia Pertama. Dengan upaya mereka dalam menyebarkan propaganda jauh dari medan pertempuran, banyak umat muslim di Hindia Belanda yang bersimpati pada Ottoman.
Dalam konteks ini, cabang Hilal-i Ahmer Cemiyeti di Batavia memainkan peran yang sangat penting dalam mengumpulkan sumbangan dari umat muslim meskipun ada pembatasan dari pemerintah Belanda mengenai pengumpulan uang amal selama Perang Dunia Pertama.
Dapat disimpulkan bahwa Batavia menyaksikan perang propaganda antara Ottoman, Jerman, dan Inggris selama Perang Dunia Pertama.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR