Masyarakat suku Bajo menunjukkan rasa hormat mereka kepada laut dengan memberikan sesajen ke laut pada waktu-waktu tertentu. Suku Bajo percaya bahwa laut dikuasai oleh dewa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Ma Dilao.
Mbo Ma Dilao terdiri dari empat dewa, yaitu Mbo Janggo (dewa yang paling sakti, Mbo Tambirah, Mbo Goyah, dan Mbo Dugah).
Salah satu adat suku Bajo di Karimunjawa adalah mereka selalu memanggil Mbo Janggo dan Mbo Tambirah saat berlayar dan terjadi badai. Mereka percaya bahwa Mbo Janggo dan Mbo Tambirah adalah nenek moyang mereka yang menjadi penguasa laut yang melindungi mereka.
Faktor sosial budaya juga memengaruhi mengapa Suku Bajo adalah suku yang sangat akrab dengan kehidupan di laut dan berkelana di lautan.
Sebagai pelaut, suku Bajo merupakan keturunan dari kelompok pelaut nomaden yang kemudian disebut manusia perahu. Pada awalnya tinggal di tepi pantai pada lahan yang ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun dan lain-lainnya.
Karena terus-menerus diganggu oleh tuan tanah akhirnya mereka pergi dan tinggal secara permanen dalam perahu yang diberi atap (rumah terapung).
Suku Bajo suka berpindah tempat di tepi pantai ketika kondisi alam tempat tinggal mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, apalagi jika wabah penyakit merajalela, perang sering berkecamuk, bencana banjir seing menimpa, musim kemarau berkepanjangan.
Oleh karea itu, mereka mulai mencari tempat tinggal baru yang aman dan strategis untuk melangsungkan hidupnya dengan tumpuan harapan mendapatkan ikan. Suku Bajo datang ke Karimunjawa secara berkelompok dari Bau-Bau untuk mencari penghidupan sebagai nelayan.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR