Nationalgeographic.co.id—Meski menyandang status sebagai kawasan taman nasional, Karimunjawa tidak serta merta lepas dari berbagai permasalahan lingkungan.
Potensi laut Kepulauan Karimunjawa menarik banyak nelayan dari berbagai daerah dan negara. Ekploitasi dengan menggunakan bahan peledak oleh nelayan asing di sekitar Kepulauan Karimunjawa telah ditemukan.
Kapal asing tanpa surat izin yang menangkap ikan dengan bahan terlarang berhasil menangkap ikan sebanyak 500 kg diungkap dalam The Efectiveness of The Zoning System in The Management of Reef Fisheries in The Marine Protected Area of Karimunjawa National Park, Indonesia oleh Ernik Yuliana dkk pada 2016 silam.
Selain itu, banyak eksploitasi besar-besaran yang terjadi di perairan Kepulauan Karimunjawa, penangkapan ikan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan, illegal fishing, penimbunan batu karang untuk membuat tempat tinggal, dan pengambilan biota laut.
Bahkan beberapa tahun terakhir, kondisi kerusakan diperparah karena tercemar limbah dari aktivitas tambak udang intensif.
Padahal jika ditilik dari keragamaan suku penghuni Karimunjawa, mereka masing-masing mewarisi kearifan lokal tersendiri yang berperan aktif dalam menjaga lingkungan, termasuk yang dilakukan oleh Suku Bajo di Karimunjawa.
"Suku Bajo Karimunjawa mempunyai pola penangkapan hasil laut tersendiri sesuai kondisi alam," ungkap Rizal Akbar Aldyan dalam Model Pengelolaan Lingkungan Taman Nasional Karimunjawa Berbasis Masyarakat.
"Jika air laut sedang surut, maka pencarian diarahkan pada ikan, gurita, kepiting, siput dan tiram. Jika terang bulan pencarian diarahkan pada ikan, cumi dan sumampara dengan memancing atau mallinta," tulisnya.
Pola penangkapan ikan dan tiram suku Bajo dilakukan secara alami dengan meniru dan mewarisi dari orang tuanya, dalam bentuk yang sangat sederhana, seperti memancing (mallinta) dan memanah (pappanah/panombak).
Kedekatan masyarakat suku Bajo Karimunjawa dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki banyak kecerdasan lokal tentang fenomena alam, pengetahuan yang diketahui dan diterapkan dari generasi sebelumnya.
Seiring terjadinya kerusakan atmosfer bumi yang menyebabkan perubahan cuaca yang tidak dapat diprediksi, terdapat fenomena alam dan tanda atmosfer yang masih digunakan oleh masyarakat suku Bajo ketika melaut.
Baca Juga: Kisah Nelayan Terakhir Pulau Buru di Tengah Gempuran Tambang Emas Ilegal
Tradisi Melaut Suku Bajo Karimunjawa
Ketika melaut (mamia kadialo) nelayan suku Bajo mengenal pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh keluarga yang ditinggal dan maupun mereka yang sedang melaut.
Pantangan tersebut antara lain dilarang membuang beberapa benda ke perairan laut seperti; air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabe, jahe dan air perasan jeruk, dan juga larangan mencuci alat masak menggunakan air laut. Air cucian maupun bahan-bahan tersebut hendaknya ditampung kemudian dibuang di daratan.
"Terdapat pula pantangan memakan daging penyu. Jika hal tersebut dilanggar maka dapat mendatangkan malapetaka," ungkap Rizal berdasarkan wawancaranya dengan Maliki, nelayan Suku Bajo.
Petaka yang dimaksud dapat berupa bencana badai, gangguan roh jahat bahkan mereka yang pergi melaut tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Penyu dipercaya oleh masyarakat suku Bajo sebagai penolong manusia yang mengalami musibah, oleh sebab itu penyu tidak boleh dibunuh.
Generasi tua suku Bajo masih memercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang mereka.
Orang tua melarang anggota keluarganya menangkap ikan dan biota lain di sekitar gugusan karang kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sesajen bagi leluhur.
Kecerdasan lokal dalam melaut antara lain: adanya larangan membuang limbah ke perairan laut yang dapat mencemari laut dan menganggu kehidupan biota. Membuang abu dapur, puntung rokok dan abu rokok, air cabe, air jahe ke perairan dapat membunuh ubur-ubur.
Air cucian wajan dan alat memasak mengandung arang dan jelaga dapat menyebabkan air laut menjadi keruh, yang dapat menganggu kehidupan lamun dan terumbu karang.
Pantangan dalam melaut (mamia kadialo) merupakan upaya pemanfaatan sumber daya laut dalam jangka waktu tertentu. Pelarangan masyarakat suku Bajo untuk membunuh penyu dan mendekati gugusan terumbu karang tertentu mengandung nilai konservasi satwa guna menjaga kelangsungan ekosistem pesisir dan laut.
Baca Juga: Nelayan Jual Perahu: Lautan Tak Lagi 'Kolam Susu' Akibat Tambang Pasir Laut
Teknik Menangkap Biota Laut
Nelayan suku Bajo sebagian masih menggunakan metode sederhana dalam penangkapan ikan. Alat-alat yang digunakan dalam memancing ikan menggunakan benang dengan mata pancing.
Selain memancing, nelayan suku Bajo juga menggunakan tombak atau anak panah khusus untuk menangkap ikan di terumbu karang. Panah dan tombak mengarah pada ikan tertentu membidik ikan tertentu yang menjadi sasaran.
Ikan yang hidup di sekitar pemukiman tidak dikonsumsi penduduk setempat kecuali jika digunakan sebagai umpan untuk memancing di laut lepas.
Penggunaan peralatan tangkap yang sederhana, selain persiapan yang mudah dan murah, peralatan ini selektif terhadap ikan dan biota dalam ukuran tertentu dan sudah dapat dikonsumsi.
Misalnya tombak dan anak panah hanya melukai spesies ikan sasaran tertentu. Kecerdasan lokalnya adalah biota (ikan) diberi kesempatan mencapai usia dewasa sehingga dapat berkembang biak.
Dengan demikian sumber daya laut (biota) memiliki peluang untuk meningkatkan populasi guna mempertahankan spesiesnya.
Filosofi Hidup Suku Bajo Karimunjawa
Masyarakat suku Bajo memiliki kepercayaan bahwa laut memiliki penguasa atau dewa. Mereka percaya bahwa laut harus dilestarikan dan dihormati karena laut telah memberi mereka kehidupan.
Suku Bajo memiliki beberapa filosofi mengenai laut yaitu, “di lao ‘denangdaku’ (laut adalah saudaraku). Lautan adalah tempat hidup dan mencari nafkah yang harus dijaga dan dihormati.
Pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare yang artinya memindahkan orang Bajo ke darat sama dengan memindahkan kura kura ke darat.
Baca Juga: Mengintip Upaya Konservasi Biodiversitas oleh Industri Kelapa Sawit Malaysia
Masyarakat suku Bajo menunjukkan rasa hormat mereka kepada laut dengan memberikan sesajen ke laut pada waktu-waktu tertentu. Suku Bajo percaya bahwa laut dikuasai oleh dewa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Ma Dilao.
Mbo Ma Dilao terdiri dari empat dewa, yaitu Mbo Janggo (dewa yang paling sakti, Mbo Tambirah, Mbo Goyah, dan Mbo Dugah).
Salah satu adat suku Bajo di Karimunjawa adalah mereka selalu memanggil Mbo Janggo dan Mbo Tambirah saat berlayar dan terjadi badai. Mereka percaya bahwa Mbo Janggo dan Mbo Tambirah adalah nenek moyang mereka yang menjadi penguasa laut yang melindungi mereka.
Faktor sosial budaya juga memengaruhi mengapa Suku Bajo adalah suku yang sangat akrab dengan kehidupan di laut dan berkelana di lautan.
Sebagai pelaut, suku Bajo merupakan keturunan dari kelompok pelaut nomaden yang kemudian disebut manusia perahu. Pada awalnya tinggal di tepi pantai pada lahan yang ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun dan lain-lainnya.
Karena terus-menerus diganggu oleh tuan tanah akhirnya mereka pergi dan tinggal secara permanen dalam perahu yang diberi atap (rumah terapung).
Suku Bajo suka berpindah tempat di tepi pantai ketika kondisi alam tempat tinggal mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, apalagi jika wabah penyakit merajalela, perang sering berkecamuk, bencana banjir seing menimpa, musim kemarau berkepanjangan.
Oleh karea itu, mereka mulai mencari tempat tinggal baru yang aman dan strategis untuk melangsungkan hidupnya dengan tumpuan harapan mendapatkan ikan. Suku Bajo datang ke Karimunjawa secara berkelompok dari Bau-Bau untuk mencari penghidupan sebagai nelayan.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR