Jargon 'spesies kunci' lazim dalam praktik pelestarian ekologi, yakni organisme yang berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kehadiran atau ketiadaan spesies ini dapat berdampak besar terhadap struktur dan fungsi ekosistemnya. Kita pun bisa menganalogikan batik sebagai spesies kunci dalam pelestarian budaya.
Boleh dibilang, batik memegang peran kunci dalam menjaga keberlanjutan budaya Indonesia serupa spesies kunci yang menjaga keseimbangan ekosistem. Keberadaan batik telah membantu menjaga kebanggaan dan identitas nasional, mendukung ekonomi lokal, membangkitkan pariwisata budaya, mewariskan nilai dan tradisi pembuatan batik, melestarikan seni dan kerajinan.
Apa yang bisa dilestarikan apabila kita melestarikan batik? Ada sederet elemen budaya dan tradisi lainnya yang turut lestari: Simbol dan pesan di baliknya, cara dan teknik pembuatan, peralatan batik, tanaman pewarna, arsitektur rumah batik, sejarah batik dan kota, arsip warga, tokoh-tokoh perintis batik, tarian atau tradisi yang menggunakan batik, pelestarian satwa dan puspa dalam motif batik, tradisi tutur atau cerita rakyat terkait batik.
Baca Juga: Semangat Kartini Mengembalikan Pesona Rona Wastra Batik Lasem
Menemukan Kembali Jiwa Kota
Semenjak pagi hingga jelang malam, Museum Nyah Lasem tampak menyala-nyala. Berandanya yang luas dan teduh telah menjadi ajang berbagi cerita dan belajar membatik sepanjang dua hari itu. Ruang-ruang dalamnya yang simetris, menjadi ruang-ruang pamer yang mengekalkan memori warga tentang sejarah dan kehidupan sosial rumah-rumah batik di Lasem. Museum ini juga berkisah tentang upaya dan pencapaian warga Lasem demi mencari jati diri kota mereka melalui penyelisikan arsip—surat-surat yang nyaris terlewat.
Singkat kata, museum ini menampilkan narasi-narasi tentang kebudayaan Tionghoa Lasem dan kebudayaan babah dan nyonya, sesuai nama museum ini.
Sebutan "nyah" merupakan kependekan dari "nyonyah", yakni perempuan Tionghoa yang sudah bersuami. Semisal pada suatu masa pernah seorang perempuan Tionghoa Lasem mendapat julukan "Nyah Persen" lantaran gemar memberi persenan atau bonus uang kepada orang-orang yang bekerja dengannya. Jadi nama museum ini mengingatkan kita pada perempuan-perempuan Tionghoa di Lasem masa silam, dengan segala aspek kehidupannya—dari urusan anting, ceting, sampai canting.
"Museum Nyah Lasem diinisiasi oleh Afnantio Susantio almarhum," ujar Agni, "yang menginginkan dan mendedikasikan rumah ini untuk menyimpan memori-memorinya terutama keluarganya yang membatik, mereka yang terlibat dalam pekerjaan membatik, dan para pekerja dalam rumah batiknya."
Sekitar satu dekade silam, Lasem belum sesemarak sekarang. Ruas-ruas jalan yang menyekat-nyekat permukimannya masih tampak kuno. Saat itu saya berjumpa dengan Baskoro "Pop", pegiat pelestarian pusaka di Rembang. Ia menyarankan saya bermalam di rumah yang sudah lama tak dihuni. Kemudian saya berkenalan dengan pemiliknya, Susantio.
Akhirnya saya bermalam di rumah bergaya Art-Nouveau yang saat itu ruangan-ruangannya tampak berdebu. Rumah itu satu pekarangan dengan rumah Cina-Hindia yang megah—tetapi sunyi, gelap, dan misterius ketika malam tiba. Kabarnya, rumah itu milik leluhur Susantio yang memiliki Perusahaan Batik Tio Swan Sien. Setahu saya, Susantio menyandang nama Tio Sian Gwan.
Hari ini saya menjumpai kedua bangunan itu masih terjaga, namun tampak lebih berseri-seri dan berenergi. Ada kehidupan di balik dinding-dindingnya. Rumah Art-Nouveau itu menjadi Guest House Nyah Lasem yang nyaman dan berpenyejuk udara, sedangkan rumah Cina-Hindia di sebelahnya menjelma Museum Nyah Lasem yang sarat sejarah pecinan ini. Ketika Festival Babaran Batik Lasem, rumah dan pekarangannya begitu sibuk menerima tetamu.
Pun, manusia-manusianya turut berubah. Baskoro tampak lebih segar berbinar memandu tetamunya menjelajahi Lasem. Ia pun tampil sebagai salah satu pengurus Yayasan Lasem Heritage dan komunitas Kesengsem Lasem. Namun, saya merasa kehilangan Susantio, yang wafat jelang pertengahan tahun ini. Keduanya merupakan tokoh penting di balik berdirinya Museum Nyah Lasem pada delapan tahun silam. Kerja-kerja keduanya telah menemukan kembali jiwa kota yang nyaris hilang.
Agik, yang juga mengelola Warung Nyah Lasem di sudut museum, mengungkapkan bahwa manfaat dari upaya pelestarian batik setidaknya telah dirasakan warga. "Tamu-tamu luar kota yang mendatangi langsung ke rumah-rumah batik di Lasem," ujarnya. "Kalau dulu biasanya hanya pedagang yang kulakan batik."
Ia juga mengamati kebangkitan rumah-rumah batik di Lasem. "Pembatik juga sudah banyak bermunculan, sekarang lebih multietnis, ya," ujarnya. "Dari pembatik ini menggambarkan perkembangan batik dan usaha pelestarian yang dilakukannya."
Ketika perhelatan Babaran Batik Lasem menyemarakkan pecinan kuno ini, saya justru lebih banyak berdiam atau duduk menyendiri di sudut pekarangan museum. Kepala saya terasa penuh dengan kecamuk pertanyaan: Apakah selama satu dekade ini Lasem semakin mencerahkan sebagai teladan pelestarian kota? Atau, perubahannya baru sebatas lampu-lampu benderang yang tiang-tiangnya dipaksa berjajar di tepian jalan?
Satu hal yang pasti, pameran Kembali Lasem, Kembali ke Akar memberi saya pemahaman baru tentang makna "pulang": menemukan keramahan, kehangatan, dan kebersamaan di Lasem.
Barangkali serupa dengan perasaan kakek leluhur saya, yang pernah berjejak di pecinan ini pada pertengahan abad ke-18. Kakek, seorang Jawa, menerima sambutan hangat dan bersahabat dari warga Tionghoa Lasem. Bahkan, mereka menghidangkan rupa-rupa makanan ketika ia dan laskarnya bersiap merebut benteng VOC di tepian Sungai Lasem.
Lasem laksana rumah bagi siapapun yang singgah.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR