Jeniusnya Tokwi Lasem
Di seberangnya, atau sisi kanan ruang utama, para pengunjung berkesempatan menyaksikan koleksi tokwi yang berupa batik. Agni mengatakan bahwa kain penutup altar ini merupakan adaptasi para pengusaha batik Lasem dan warga pecinan Lasem untuk membuat kain tokwi batik.
Sejatinya tradisi kain penutup altar ini sudah populer sejak zaman Dinasti Tang di Tiongkok, sekitar 800 Masehi. Di negeri asalnya, mereka menggunakan kain sutra atau beludru yang disulam benang emas dan benang-benang sutra lainnya.
Akan tetapi, ujar Agni, mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan kain-kain itu ketika keluar dari Tiongkok. Di sisi lain, kebutuhan ekspresi budaya mereka harus tetap lestari untuk memberikan penghormatan pada leluhur. "Maka tokwi beradaptasi menjadi batik sebagai bentuk adaptasi pada lingkungan sekitar dan adaptasi pada bahan-bahan lokal yang ada di sekitarnya."
Karena mereka tiba di Lasem, tokwi pun menyesuaikan dengan tradisi batik. Bagi saya, ruangan tokwi ini menarik karena membandingkan tokwi beragam generasi. Sulistiyono, pemilik Rumah Batik Nyah Kiok, memamerkan tokwi warisan kakeknya, dibuat sekitar 1900. Rudi Siswanto, pemilik Rumah Batik Kidang Mas, memamerkan tokwi yang diduga dibuat pada 1960-an. Kemudian, sebagai pembanding lawas dan kini, dipamerkan pula tokwi warisan Sigit Witjaksono, pendiri Rumah Batik Sekar Kencana. Saat ini rumah batik itu dikelola oleh Mak Marpat, istri mendiang.
Peranti lawas dan pengetahuan yang terampas
Di ruangan paling belakang, pengunjung menyaksikan kain-kain batik yang berjaya menurut urutan tahun, mulai 1900-an dari beberapa rumah batik. Sebagai contoh, koleksi batik empat negeri milik Rumah Batik Kidang Mas dan koleksi batik gringsing milik Rumah Batik Nyah Kiok yang yang saat ini tidak lagi dibuat di Lasem.
Pengunjung pameran dapat menyaksikan peralatan membatik seperti canting dan cap yang pernah digunakan rumah-rumah batik di Lasem. Agik N.S., salah satu pengurus Museum Nyah Lasem dan Yayasan Lasem Heritage-Kesengsem Lasem, menampilkan koleksi beragam bentuk canting yang sudah tidak digunakan dan sudah tidak lagi diproduksi pada masa sekarang.
Agik mendapatkannya dari pedagang barang bekas. Menurutnya, canting-canting beragam bentuk ini berasal dari Desa Babagan, yang sejak dahulu sampai sekarang menjadi perkampungan batik milik orang-orang Tionghoa.
"Canting-canting ini ada yang menyebut canting cap, ada yang menyebut canting tutul," kata Agik. "Canting ini digunakan untuk isen2 batik lawas—1870 hingga awal abad 20—karena perannya sudah banyak tergantikan oleh cap batik."
"Apakah ada yang tertarik merevitaliisasi canting-canting ini sehingga bisa digunakan kembali?" tanya Agni. "Mungkin ini bisa menginspirasi kita untuk melahirkan batik Lasem napas baru." Menurutnya, tradisi batik—sebagai budaya tak benda—bisa berubah sesuai dengan konsesi atau kesepakatan komunitas masing-masing yang menjadi pelindung, dan tentunya melibatkan banyak pihak dalam pelestariannya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR