Nationalgeographic.co.id—Dua puluh tiga lembar kain batik Lasem 'pulang kampung' setelah seabad di negeri seberang. Apa moral cerita dari sebuah kepulangan dalam narasi batik?
"Kain yang kita pamerkan ini kain yang berasal kurang lebih sudah seratus tahun usianya," ujar Agni Malagina sembari menunjuk kain-kain batik yang dipajang menjuntai di ruang utama Museum Nyah Lasem. "Pada hari ini mereka pulang dua hari saja untuk berkunjung ke Lasem."
Agni merupakan sinolog dan arsiparis Museum Nyah Lasem, yang kerap menuliskan kisah-kisah tentang pecinan Nusantara untuk National Geographic Indonesia. Jelang sore yang lembap, ia memandu tur perdana Festival Babaran Batik Lasem dengan tema pameran temporer Kembali Lasem, Kembali ke Akar. Museum Nyah Lasem dan Yayasan Lasem Heritage menggelarnya pada 25-26 Oktober silam, yang sekaligus merayakan bulan batik kita.
Pameran temporer ini sungguh langka karena menampilkan 20-an koleksi batik Lasem 1900-1930 yang beredar di kota-kota tepian Selat Malaka—pantai timur Sumatra, Singapura, dan Malaysia. Menurutnya, pada awal abad ke-20, selendang, sarung, dan kacu banyak dipasarkan di kawasan Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Jaringan Batik Lasem
Tampaknya temuan historis ini senada dengan informasi arsip jaringan batik Lasem 1900-1940, yang dipajang di ruang utama museum.
Empat lembar surat yang kertasnya sudah menguning itu menautkan hubungan perdagangan antara rumah-rumah batik Lasem dan para pedagang di kawasan seberang nun jauh. Arsip itu telah dianugerahi penghargaan sebagai Memori Kolektif Bangsa oleh Arsip Nasional Republik Indonesia pada Mei 2024.
"Ini adalah ciri merah getih pithik yang menjadi ciri khas batik Lasem," ujarnya sembari menunjuk sederet kain batik yang dimaksud. "Sebelum 1900-an, [warna merah] dibuat dari pewarna alami." Racikan warna merah khas Lasem itu berasal dari "akar mengkudu yang dicampur dengan beragam ramuan lainnya, seperti penguat warna dari tanaman jirak dan gambir yang diimpor dari Kepulauan Riau, Tanjung Pinang."
Sebelum berpindah ke ruangan lain, Agni mengingatkan dengan hormat kepada para peserta tur untuk tidak menyentuh kain-kain yang dipamerkan, mengingat tangan kita mengandung zat asam yang dapat merusak kelestarian kain.
Museum Nyah Lasem menempati bangunan berarsitektur Cina-Hindia. Menurut pewarisnya, rumah ini dibangun pada pertengahan abad ke-19. Pembagian ruangannya masih melestarikan tradisi Tionghoa. Ruang utama museum, misal, dahulunya merupakan ruang utama tempat altar sembahyang.
Baca Juga: Arsip dari Lasem Ditetapkan Menjadi Memori Kolektif Bangsa 2024
Batik Lasem di Tepian Selat Malaka
Di ruangan berikutnya, yang berada di sisi kiri belakang ruang utama, ia menunjukkan sembilan koleksi batik Lasem era 1900 yang dihimpun dari pantai timur Sumatra, Singapura, dan Malaysia. Bahkan, terdapat salah satu koleksi batik yang berasal dari 1890-an.
Karya seniman-seniman maestro batik leluhur kita begitu indah, begitu halus, dan begitu langka! Kita pun bertanya-tanya, mengapa keindahan corak-corak itu tidak berulang pada zaman sekarang sehingga membuatnya antik dan langka.
"Jadi bener-bener kain yang sangat berharga yang pernah dibuat di Lasem," ujar Agni, "dan kita bisa melihatnya walau cuma sebentar."
Batik Lasem lawasan dari Selat Malaka itu merupakan koleksi Mami Kato, seorang seniman dan pemerhati batik di Borobudur, Magelang. Perempuan asal Negeri Sakura itu istri dari budayawan Sutanto Mendut, yang keduanya bergiat dalam Studio Mendut dan Komunitas Lima Gunung. Aktivitas mereka, mempromosikan seni dan budaya di masyarakat sekitar.
Selama dua hari, batik-batiknya pulang kampung ke tanah asalnya. "Pulang kampung" bisa berarti kembali ke rumah, tetapi juga bisa menjadi simbol kembalinya seseorang ke akar budayanya, identitasnya, atau ke tempat di mana hati merasa berada. Frasa "pulang kampung" sering kali terkait perasaan hangat, kebersamaan, dan kedamaian yang dirindukan.
Bennita Ciu, anak muda pemerhati batik dan pemandu pameran, menunjukkan kepada saya beragam corak batik lawasan yang tidak lagi ditemukan dalam kain-kain batik zaman sekarang.
Setidaknya, temuannya telah menyadarkan kepada kita bahwa kepiawaian dan teknik seniman batik zaman dahulu tampaknya tidak semuanya diwariskan kepada pembatik generasi kini. Ia juga mengungkapkan beberapa corak batik Lasem lawasan menyisakan misteri teknik membatiknya. "Saya pernah mencoba membuat corak [detail] seperti itu, tapi gagal," ujarnya.
Menurutnya, secara umum pameran ini menampilkan corak batik lawasan yang lebih rapi dan rapat, serta visualisasinya lebih halus. Perihal warna, ia mengungkapkan bahwa warna batik Lasem zaman sekarang tampaknya cenderung lebih gelap atau lebih tua.
"Batik Lasem yang sekarang lebih explorative untuk memenuhi kebutuhan pasar," Bennita menambahkan. "Banyak request pola-pola yang tidak lazim atau tidak ditemui di batik lawasan: Gambar shio, Tuhan Yesus, Bunda Maria."
Baca Juga: Sejarah Batik Lasem, Wastra Pesisir di Jalur Rempah Nusantara
Jeniusnya Tokwi Lasem
Di seberangnya, atau sisi kanan ruang utama, para pengunjung berkesempatan menyaksikan koleksi tokwi yang berupa batik. Agni mengatakan bahwa kain penutup altar ini merupakan adaptasi para pengusaha batik Lasem dan warga pecinan Lasem untuk membuat kain tokwi batik.
Sejatinya tradisi kain penutup altar ini sudah populer sejak zaman Dinasti Tang di Tiongkok, sekitar 800 Masehi. Di negeri asalnya, mereka menggunakan kain sutra atau beludru yang disulam benang emas dan benang-benang sutra lainnya.
Akan tetapi, ujar Agni, mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan kain-kain itu ketika keluar dari Tiongkok. Di sisi lain, kebutuhan ekspresi budaya mereka harus tetap lestari untuk memberikan penghormatan pada leluhur. "Maka tokwi beradaptasi menjadi batik sebagai bentuk adaptasi pada lingkungan sekitar dan adaptasi pada bahan-bahan lokal yang ada di sekitarnya."
Karena mereka tiba di Lasem, tokwi pun menyesuaikan dengan tradisi batik. Bagi saya, ruangan tokwi ini menarik karena membandingkan tokwi beragam generasi. Sulistiyono, pemilik Rumah Batik Nyah Kiok, memamerkan tokwi warisan kakeknya, dibuat sekitar 1900. Rudi Siswanto, pemilik Rumah Batik Kidang Mas, memamerkan tokwi yang diduga dibuat pada 1960-an. Kemudian, sebagai pembanding lawas dan kini, dipamerkan pula tokwi warisan Sigit Witjaksono, pendiri Rumah Batik Sekar Kencana. Saat ini rumah batik itu dikelola oleh Mak Marpat, istri mendiang.
Peranti lawas dan pengetahuan yang terampas
Di ruangan paling belakang, pengunjung menyaksikan kain-kain batik yang berjaya menurut urutan tahun, mulai 1900-an dari beberapa rumah batik. Sebagai contoh, koleksi batik empat negeri milik Rumah Batik Kidang Mas dan koleksi batik gringsing milik Rumah Batik Nyah Kiok yang yang saat ini tidak lagi dibuat di Lasem.
Pengunjung pameran dapat menyaksikan peralatan membatik seperti canting dan cap yang pernah digunakan rumah-rumah batik di Lasem. Agik N.S., salah satu pengurus Museum Nyah Lasem dan Yayasan Lasem Heritage-Kesengsem Lasem, menampilkan koleksi beragam bentuk canting yang sudah tidak digunakan dan sudah tidak lagi diproduksi pada masa sekarang.
Agik mendapatkannya dari pedagang barang bekas. Menurutnya, canting-canting beragam bentuk ini berasal dari Desa Babagan, yang sejak dahulu sampai sekarang menjadi perkampungan batik milik orang-orang Tionghoa.
"Canting-canting ini ada yang menyebut canting cap, ada yang menyebut canting tutul," kata Agik. "Canting ini digunakan untuk isen2 batik lawas—1870 hingga awal abad 20—karena perannya sudah banyak tergantikan oleh cap batik."
"Apakah ada yang tertarik merevitaliisasi canting-canting ini sehingga bisa digunakan kembali?" tanya Agni. "Mungkin ini bisa menginspirasi kita untuk melahirkan batik Lasem napas baru." Menurutnya, tradisi batik—sebagai budaya tak benda—bisa berubah sesuai dengan konsesi atau kesepakatan komunitas masing-masing yang menjadi pelindung, dan tentunya melibatkan banyak pihak dalam pelestariannya.
Pameran ini bertujuan untuk memperkenalkan kembali akar batik Lasem dari aspek sejarah, motif, budaya, serta peran para pelakunya dalam membentuk ekosistem batik yang dinamis. Apabila kita mengenali kembali akar budaya batik Lasem, proses pelestariannya sebagai warisan budaya takbenda diharapkan lebih inklusif dan berkelanjutan. "Melalui pameran ini kami juga mengajak kolaborasi untuk merawat budaya, kota, dan lingkungan hidup kita menghadapi tantangan perubahan iklim," kata Agni.
Baca Juga: Langka! Prasasti Beraksara Han Ditemukan di Area Permakaman Lasem
Pertobatan budaya, napas baru batik Lasem
"Saya ingin bercerita tentang proses panjang menghadirkan kain ini kembali ke Lasem," kata Direktur Museum Nyah Lasem Feysa Poetry saat membuka pameran ini melalui konferensi daring dari London. "Kain-kain ini pulang—dipinjamkan sebentar—dan Museum Nyah Lasem bangga menjadi host atas kain-kain yang bersejarah dan memiliki memori yang sangat lekat dengan lanskap budaya Lasem."
Berkaitan dengan sejarah dan budaya Lasem, Ayos Purwoaji selaku Kepala Kurator Pameran Kembali Lasem, Kembali ke Akar mengungkapkan bahwa batik-batik dalam pameran ini berasal dari seratus tahun silam. Koleksi itu sejatinya juga menunjukkan kejayaan batik Lasem dalam jejaring perdagangan kosmopolit hingga ke Sumatra, Singapura, dan Malaysia. Ia menambahkan bahwa batik telah menempatkan Lasem sebagai salah satu kota pesisir penting yang terhubung dengan pusat-pusat perdagangan besar di masa silam.
"Kita berharap pameran ini bisa memberikan semacam pengingat tentang sejarah batik Lasem, bagaimana batik Lasem berkembang selama berpuluh-puluh tahun, baik motif dan ragam hiasnya," ujar Ayos.
Ayos juga mengungkapkan bahwa batik Lasem menampilkan ragam puspa dan satwa sarat perlambang untuk keselarasan hidup manusia, yang mewakili kedekatan masyarakatnya dengan ekologi. Pameran ini turut menunjukkan kepada kita perkembangan kreativitas seniman-seniman Lasem seabad silam.
"Namun, alam yang dahulu mengilhami batik Lasem kini mengalami kemerosotan kualitas akibat pencemaran lingkungan, terutama dari limbah pewarna sintetis," ungkap Ayos. Perkara ini mengingatkan kita pada "pertobatan ekologis" yang menempatkan alam sebagai bagian penting dalam kelestarian hidup manusia. "Kami ingin memantik diskusi bagaimana dampak ekologis industri batik di Lasem terhadap kehidupan hari ini."
Dalam pengantar pameran, Ayos mempertanyakan apakah batik Lasem harus berubah ketika lanskap kawasannya berubah. Sebagian corak puspa atau satwa dalam batik Lasem telah menghilang karena sebagian puspa atau satwa itu sudah sulit dijumpai dalam keseharian warganya. "Ini menjadi momen untuk mempertanyakan , adakah yang disebut pakem dalam batik Lasem?" Ayos bertanya. "Setiap zaman melahirkan seniman batik dengan gaya unik yang merefleksikan realitas dan budaya masyarakatnya, sehingga motif-motif batik Lasem terus berkembang seiring dengan perubahan zaman."
Batik Lasem dalam perspektif para pamong negeri
"Suatu hal yang kita apresiasi bersama atas upaya untuk melestarikan budaya yang sudah begitu lama dan menjadi kebanggaan," kata Ndari Surjaningsih selaku Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah yang membuka pameran Kembali Lasem, Kembali ke Akar.
"Batik juga memiliki makna yang begitu dalam, masing-masing memiliki cerita yang bisa menjadi sumber bagi kegiatan kebudayaan dan pariwisata," ujarnya. "Hal ini bisa menjadi upaya untuk mengembangkan ekonomi rakyat."
Baca Juga: Komunitas Pelestarian Lasem Selamatkan Nisan-Nisan Tionghoa Kuno yang Tercampakkan
Ndari mengungkapkan alasan Bank Indonesia mendukung perhelatan Museum Nyah Lasem. Pertama, menurutnya, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menjaga kestabilan nilai rupiah, dalam bentuk menjaga inflasi atau kenaikan harga-harga, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota. Kedua, menjaga nilai tukar rupiah.
"Dalam menjaga stabilitas rupiah ini tentunya harus diikuti pengembangan ekonomi daerah," ujarnya. "Dari situ akan membentuk pondasi ekonomi yang kuat karena berkait penyediaan produksi barang dan jasa. Tentunya, salah satu bentuk dari pengembangan ekonomi ini adalah pengembangan UMKM, salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia."
Salah satu perhatian Bank Indoensia dalam usaha kecil dan menengah adalah pembinaan rumah-rumah batik. Ndari mengatakan bahwa pembinaan itu tidak hanya di Lasem, tetapi juga di kota-kota lain seperti Surakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan Tegal. Programnya antara lain peningkatan kapasitas, baik keahlian maupun pemasarannya. Harapannya, para pembatik mampu berdaya saing dan mampu menjual produk dengan memanfaatkan sarana-prasarana pemasaran yang ada saat ini.
"Ini menjadi satu program dari Bank Indonesia untuk bagaimana meningkatkan kapasitas pembatik, dan bagaimana para pembatik memiliki jangkauan pasar yang luas," ujarnya.
Batik merupakan salah satu warisan budaya yang sudah masuk dalam warisan budaya tak benda di UNESCO. Selain batik, sejatinya UNESCO telah mengakui warisan budaya tak benda yang meliputi wayang, keris, angklung, tari saman, noken, tiga tari tradisional Bali, pinisi, tradisi pencak silat, pantun, dan jamu sebagai budaya sehat.
"Apabila kita berbicara budaya tak benda itu tidak membicarakan bendanya," kata Hartanti Maya Krishna sebagai Pamong Budaya Kementerian Kebudayaan, "tetapi berbicara bagaimana melestarikannya dan mendorongnya menjadi bagian yang berkontribusi bagi ekonomi dan sosial, pariwisata, dan budaya.
Hartanti mengatakan bahwa komunitas pemilik budaya merupakan pihak yang paling utama dalam pelestarian budaya tak benda. Pun, saat ia mengajukan daftar warisan budaya tak benda ke UNESCO, pertanyaan mereka adalah siapa komunitas yang berperan dalam melestarikan budaya tersebut. Ia berkata, "Itu pasti selalu yang pertama kali ditanyakan."
Afan Martadi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Rembang, memiliki impian, "Batik Lasem mendunia dari sisi produk, histori dan budaya, serta mampu menggerakkan ekonomi kreatif di Kabupaten Rembang."
Ia berharap dalam arah pembangunan masa depan, sudah sepantasnya Lasem menjadi salah satu gerbong untuk mengusung perekonomian nelayan, ekonomi kreatif, pariwisata, batik dan sebagainya. "Tentu saja ini dibutuhkan suatu kajian yang mendalam," ujarnya. "Banyak kajian yang kami mulai tahun ini tentang desain masterplan budaya parwisata Lasem."
Baca Juga: Marga Han, Kisah Kesohoran Tionghoa Peranakan yang Berawal dari Lasem
Saat ini Bappeda mendorong isu-isu strategis dalam visi misi kedua calon kepala daerah Kabupaten Rembang yang akan berlaga dalam Pilkada November tahun ini. Menurutnya, calon-calon kepala daerah itu telah memasukkan Lasem sebagai salah satu program strategis mereka. "Dan, tentu saja suatu hal yang menarik karena Lasem memiliki potensi yang besar dari sisi budaya, sisi sejarah, sisi seni, dan sebagainya," ungkapnya.
Sebagai warga Lasem, ia memahami bahwa kotanya memiliki lanskap budaya dan arsitektur bersejarah. Perihal rencana tata kota Lasem, ia menginginkan "pengembangan Kota Pusaka Lasem menuju Cagar Budaya sesuai tingkatan dan tahapannya."
Tentunya, ia mewanti-wanti, dengan memperhatikan tiga substansi: Tetap menjaga kelestarian budaya (benda dan tak benda); pelindungan, dan pemanfaatannya.
Dalam pengantarnya dalam pembukaan pameran, ia mengatakan, "Pada intinya Bappeda akan hadir di dalam melakukan fasilitasi, memerbitkan regulasi, melahirkan kebijakan-kebijakan dan penganggaran."
Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem, Gus Afan—sapaan akrabnya—mengatakan bahwa sarung batik Lasem sudah sangat dikenal di kalangan santri dan kyai. "Itu kita dorong untuk menjadi produk unggulan dan menjadi komoditas nasional serta mendorong kiprah pesantren di tingkat nasional maupun internasional—salah satunya melalui batik yang kaya dengan sejarah dan seni," ujarnya.
Mutaqin, Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Rembang, mengatakan ia bertugas untuk menggiatkan upaya pelestarian dan pelindungan, baik budaya benda maupun tak benda.
Untuk mencapainya, ia akan menurunkan ke dalam tataran teknis bagaimana merefleksikan cara melestarikan budaya, baik benda maupun tak benda—dalam konteks ini adalah batik Lasem.
Alih-alih sekadar ajakan, ia memilih untuk lebih mengutamakan langkah-langkah pemerintah, baik tekstual maupun konkret. Pemerintah kabupaten, kata Mutaqin, sangat berkomitmen untuk melestarikan apa yang menjadi budaya warisan kita berupa batik Lasem. "Karena kita memiliki potensi luar biasa," ujarnya.
Ia menambahkan, "Tidak hanya berupaya melestarikan, tetapi juga bagaimana memberikan kontrobusi batik Lasem terhadap giat ekonomi bagi para pelaku, penikmat, serta masyarakat yang ada di Lasem dan sekitarnya."
Batik sebagai 'spesies kunci'
Jargon 'spesies kunci' lazim dalam praktik pelestarian ekologi, yakni organisme yang berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kehadiran atau ketiadaan spesies ini dapat berdampak besar terhadap struktur dan fungsi ekosistemnya. Kita pun bisa menganalogikan batik sebagai spesies kunci dalam pelestarian budaya.
Boleh dibilang, batik memegang peran kunci dalam menjaga keberlanjutan budaya Indonesia serupa spesies kunci yang menjaga keseimbangan ekosistem. Keberadaan batik telah membantu menjaga kebanggaan dan identitas nasional, mendukung ekonomi lokal, membangkitkan pariwisata budaya, mewariskan nilai dan tradisi pembuatan batik, melestarikan seni dan kerajinan.
Apa yang bisa dilestarikan apabila kita melestarikan batik? Ada sederet elemen budaya dan tradisi lainnya yang turut lestari: Simbol dan pesan di baliknya, cara dan teknik pembuatan, peralatan batik, tanaman pewarna, arsitektur rumah batik, sejarah batik dan kota, arsip warga, tokoh-tokoh perintis batik, tarian atau tradisi yang menggunakan batik, pelestarian satwa dan puspa dalam motif batik, tradisi tutur atau cerita rakyat terkait batik.
Baca Juga: Semangat Kartini Mengembalikan Pesona Rona Wastra Batik Lasem
Menemukan Kembali Jiwa Kota
Semenjak pagi hingga jelang malam, Museum Nyah Lasem tampak menyala-nyala. Berandanya yang luas dan teduh telah menjadi ajang berbagi cerita dan belajar membatik sepanjang dua hari itu. Ruang-ruang dalamnya yang simetris, menjadi ruang-ruang pamer yang mengekalkan memori warga tentang sejarah dan kehidupan sosial rumah-rumah batik di Lasem. Museum ini juga berkisah tentang upaya dan pencapaian warga Lasem demi mencari jati diri kota mereka melalui penyelisikan arsip—surat-surat yang nyaris terlewat.
Singkat kata, museum ini menampilkan narasi-narasi tentang kebudayaan Tionghoa Lasem dan kebudayaan babah dan nyonya, sesuai nama museum ini.
Sebutan "nyah" merupakan kependekan dari "nyonyah", yakni perempuan Tionghoa yang sudah bersuami. Semisal pada suatu masa pernah seorang perempuan Tionghoa Lasem mendapat julukan "Nyah Persen" lantaran gemar memberi persenan atau bonus uang kepada orang-orang yang bekerja dengannya. Jadi nama museum ini mengingatkan kita pada perempuan-perempuan Tionghoa di Lasem masa silam, dengan segala aspek kehidupannya—dari urusan anting, ceting, sampai canting.
"Museum Nyah Lasem diinisiasi oleh Afnantio Susantio almarhum," ujar Agni, "yang menginginkan dan mendedikasikan rumah ini untuk menyimpan memori-memorinya terutama keluarganya yang membatik, mereka yang terlibat dalam pekerjaan membatik, dan para pekerja dalam rumah batiknya."
Sekitar satu dekade silam, Lasem belum sesemarak sekarang. Ruas-ruas jalan yang menyekat-nyekat permukimannya masih tampak kuno. Saat itu saya berjumpa dengan Baskoro "Pop", pegiat pelestarian pusaka di Rembang. Ia menyarankan saya bermalam di rumah yang sudah lama tak dihuni. Kemudian saya berkenalan dengan pemiliknya, Susantio.
Akhirnya saya bermalam di rumah bergaya Art-Nouveau yang saat itu ruangan-ruangannya tampak berdebu. Rumah itu satu pekarangan dengan rumah Cina-Hindia yang megah—tetapi sunyi, gelap, dan misterius ketika malam tiba. Kabarnya, rumah itu milik leluhur Susantio yang memiliki Perusahaan Batik Tio Swan Sien. Setahu saya, Susantio menyandang nama Tio Sian Gwan.
Hari ini saya menjumpai kedua bangunan itu masih terjaga, namun tampak lebih berseri-seri dan berenergi. Ada kehidupan di balik dinding-dindingnya. Rumah Art-Nouveau itu menjadi Guest House Nyah Lasem yang nyaman dan berpenyejuk udara, sedangkan rumah Cina-Hindia di sebelahnya menjelma Museum Nyah Lasem yang sarat sejarah pecinan ini. Ketika Festival Babaran Batik Lasem, rumah dan pekarangannya begitu sibuk menerima tetamu.
Pun, manusia-manusianya turut berubah. Baskoro tampak lebih segar berbinar memandu tetamunya menjelajahi Lasem. Ia pun tampil sebagai salah satu pengurus Yayasan Lasem Heritage dan komunitas Kesengsem Lasem. Namun, saya merasa kehilangan Susantio, yang wafat jelang pertengahan tahun ini. Keduanya merupakan tokoh penting di balik berdirinya Museum Nyah Lasem pada delapan tahun silam. Kerja-kerja keduanya telah menemukan kembali jiwa kota yang nyaris hilang.
Agik, yang juga mengelola Warung Nyah Lasem di sudut museum, mengungkapkan bahwa manfaat dari upaya pelestarian batik setidaknya telah dirasakan warga. "Tamu-tamu luar kota yang mendatangi langsung ke rumah-rumah batik di Lasem," ujarnya. "Kalau dulu biasanya hanya pedagang yang kulakan batik."
Ia juga mengamati kebangkitan rumah-rumah batik di Lasem. "Pembatik juga sudah banyak bermunculan, sekarang lebih multietnis, ya," ujarnya. "Dari pembatik ini menggambarkan perkembangan batik dan usaha pelestarian yang dilakukannya."
Ketika perhelatan Babaran Batik Lasem menyemarakkan pecinan kuno ini, saya justru lebih banyak berdiam atau duduk menyendiri di sudut pekarangan museum. Kepala saya terasa penuh dengan kecamuk pertanyaan: Apakah selama satu dekade ini Lasem semakin mencerahkan sebagai teladan pelestarian kota? Atau, perubahannya baru sebatas lampu-lampu benderang yang tiang-tiangnya dipaksa berjajar di tepian jalan?
Satu hal yang pasti, pameran Kembali Lasem, Kembali ke Akar memberi saya pemahaman baru tentang makna "pulang": menemukan keramahan, kehangatan, dan kebersamaan di Lasem.
Barangkali serupa dengan perasaan kakek leluhur saya, yang pernah berjejak di pecinan ini pada pertengahan abad ke-18. Kakek, seorang Jawa, menerima sambutan hangat dan bersahabat dari warga Tionghoa Lasem. Bahkan, mereka menghidangkan rupa-rupa makanan ketika ia dan laskarnya bersiap merebut benteng VOC di tepian Sungai Lasem.
Lasem laksana rumah bagi siapapun yang singgah.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR