Nationalgeographic.co.id—Salah satu upacara tradisional Minangkabau berhubungan dengan kepercayaan yang masih bisa dilihat sekarang ini adalah upacara tabuik yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat.
Refisrul dalam Tabuik Ceremony; Religious Ritual of Pariaman Community sebagaimana dimuat dalam jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya mengungkap bahwa upacara tabuik yang diadakan setiap tahun pada tanggal 1-10 Muharam dan dilakukan oleh masyarakat daerah Pantai Barat Sumatera, yaitu Bengkulu, Maulaboh, Barus, Natal dan Pariaman.
"Sekarang ini, tradisi itu hanya dilaksanakan dan digemari hanya oleh masyarakat di Pariaman dan Bengkulu, sementara daerah-daerah lainnya tidak melaksanakan lagi," ungkapnya.
Upacara tabuik dilaksanakan dalam rangka memperingati syahidnya Husein bin Ali bin Abi Thalib (cucu nabi Muhammad) di Padang Karbala yang ditandai dengan usungan keranda tabuik sebagai simbol jasad Husein.
Upacara tabuik merupakan personifikasi dari kisah Perang Karbala yaitu peperangan yang terjadi antara Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan Raja Yazid bin Muawiyah dari Syam yang terjadi pada bulan Muharam tahun 61 H di tanah Arab.
Upacara tabuik menjadi salah satu identitas budaya yang dimiliki oleh masyarakat dan daerah Pariaman, sebagaimana tercermin dari ungkapan berikut ini:
Pariaman tadanga langang,
Batabuik mangkonyo rami
Dek sanak tadanga sanang
Baolah tompang badan diri
Pariaman terdengar lengang
Batabuik makanya ramai
Mendengar sanak sudah senang
Bawalah menumpang badan diri
"Dulunya perayaan tabuik dilakukan bangsa Cipei atau Keling (Tamil Islam) dan dianggap sebagai peristiwa sakral (terbunuhnya seorang Imam yang sangat dikagumi) bagi kaum Syi’ah khususnya dan umat Islam lain umumnya," papar Refisrul.
Peristiwa itu sangat menyedihkan terutama bagi pengikut kaum Syiah yang sangat fanatik terhadap Imam Husein, sehingga dimanapun mereka berada tetap memperingati peristiwa tersebut dengan batabuik atau menyelenggarakan upacara tabuik.
Menurut Refirsul, pengikut Syi’ah pada umumnya terdapat di Irak dan Iran. Sementara budaya tabuik mulanya berasal dari Irak, lalu menyebar ke Iran, India, Aceh, Bengkulu, dan Pariaman.
Baca Juga: Tidak Ada 'Rumah Makan Padang' di Padang, Bagaimana Persebarannya Bermula?
Pelaksanaan tradisi atau upacara tabuik ini di Pariaman dimulai pada tahun 1824 Masehi dan menjadi permainan anak nagari (masyarakat). Perayaan tabuik ini didukung oleh Belanda yang pada intinya memanfaatkan untuk kepentingan politiknya mengadu domba masyarakat, mengingat dalam upacara ini terjadi cakak (perkelahian) sesama peserta tabuik.
Dahulu jumlah tabuik yang ditampilkan mencapai 8 buah namun sekarang hanya 2, bahkan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, perayaan tabuik tidak lagi secara rutin diselenggarakan, bahkan pada tahun 1969 sampai 1980 perayaan tabuik sempat terhenti hingga akhirnya terlaksana kembali.
Pelaksana Teknis Upacara Tabuik
"Penyelenggaraan upacara tabuik dilakukan setiap awal bulan Muharam (tahun baru Islam) pada tanggal 1 sampai dengan 10 Muharam atau selama 10 hari," jelas Refisrul. Lima hari merupakan kegiatan inti (upacara) sedangkan 5 harinya lagi merupakan kegiatan fisik (pembuatan tabuik).
Pembuatan fisik (keranda) tabuik pada hakikatnya telah dimulai beberapa hari sebelum tanggal 1 Muharam yakni dengan membuat daraga. Sedangkan pembuatan kerangka tabuik memerlukan waktu berhari-hari yang harus siap menjelang tabuik naik pangkat pada tanggal 10 Muharam.
Sebelum memulai pekerjaan terlebih dahulu bahan-bahan pembuatan kerangka tabuik didarahi (diberi darah) dengan maksud supaya orang yang mengerjakan tidak mendapat musibah.
Biasanya, pembuatan kerangka tabuik dilakukan setelah pengambilan tanah sampai dengan tabuik siap untuk naik pangkat, yang berlangsung dari tanggal 2 hingga 9 Muharam.
"Pemimpin atau penyelenggara teknis upacara tabuik pada masa dahulu adalah orang bangsa Cipei dan keturunannya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi atau sudah berbaur dengan masyarakat Pariaman."
Secara teknis, penyelenggaraan setiap tahapan upacara tabuik dilaksanakan oleh pawang tabuik dan orang orang siak (alim). Pawang adalah orang yang ahli dan banyak mengetahui tentang tatacara penyelenggaraan upacara, sedangkan orang siak merupakan orang yang ahli atau banyak mengetahui tentang ajaran agama Islam.
Prosesinya dimulai dengan mengambil tanah, dilakukan pada tanggal 1 Muharam. Pengambilan tanah yang dimulai dan diakhiri dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh orang siak. Keberangkatan rombongan dari rumah tabuik menuju lokasi pengambilan tanah diiringi dengan musik tabuik dan dimeriahkan dengan atraksi tabuik lenong.
Baca Juga: Bangsa Penjelajah 'Minangkabau' dengan Falsafah Merantau yang Mendarah
Musik tabuik terdiri dari satu buah tasa dan enam buah gendang. Pada gendang tasa itulah terletaknya kekuatan sakti yang membuat para anak tabuik setiap kali bertemu dengan anak tabuik yang lain pasti berkelahi. Hal ini dikenal dengan istilah gendang berbunyi cakak (perkelahian) dan setelah gendang berhenti perkelahian pun berhenti.
Perkelahian yang terjadi pada musim tabuik tidak membawa efek sampingan artinya tidak terjadi dendam /permusuhan yang berlarut-larut, hanya sebatas disaat itu saja. Selesai upacara tabuik mereka berteman seperti biasa lagi, seolah-olah tidak ada terjadi apa-apa.
Pengambilan tanah dilakukan oleh pawang dengan menyelam ke dasar sungai dan dibantu oleh 4 orang anggota. Tiga orang diantaranya sebagai saksi dan berada di dekat tempat pawang menyelam, sedangkan satu orang lagi berdiri di tepi sungai memegang belanga untuk menampung tanah yang telah diambil dari dasar sungai.
Sebelum pawang terjun ke sungai mengambil tanah, terlebih dahulu dia membakar kemenyan dan membaca mantra-mantra. Dalam perjalanan pulang rombongan tabuik akan bertemu dengan rombongan tabuik yang lain di tengah-tengah perbatasan wilayah.
Pada pertemuan itulah terjadinya “cakak” (perkelahian) antara kedua rombongan tersebut dengan saling melempari batu yang terkadang mengakibatkan luka-luka.
Tanah yang telah di ambil sesampainya di daraga diletakkan pada suatu tempat yang disebut dengan pusara, yang diibaratkan seolah-olah makam Imam Husein. Setelah pengambilan tanah, dilanjutkan dengan pekerjaan fisik yaitu pembuatan kerangka tabuik.
Kemudian mengambil batang pisang, dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Muharam. Tanggal 5 Muharram dilakukan penanaman batang pisang secara simbolis pada malam hari dan pada tanggal 6 Muharam keesokan harinya baru dilakukan pengambilan sekaligus pemancungan batang pisang yang pelaksanaannya pada sore hari.
Maatam, dilakukan pada tanggal 7 Muharam dilanjutkan dengan Maarak panja/jari-jari dan Maarak sorban, dilakukan pada waktu malam hari tanggal 8 Muharam.
Tabuik naik pangkat, dilakukan dinihari menjelang subuh pada tanggal 10 Muharam, siangnya mulai Ma-oyak tabuik dan berlangsung sampai menjelang tabuik dibuang ke laut. Membuang tabuik, dilakukan sore menjelang magrib sekitar jam 18.00 pada tanggal 10 Muharram.
Hari terakhir tanggal 10 Muharram merupakan acara puncak dari rangkaian upacara tabuik yang ditandai dengan kegiatan maoyak tabuik.
Baca Juga: Cerita Sekerat Rendang: Benarkah Adaptasi Cara Memasak Portugis?
Tabuik setinggi lebih kurang 7-8 meter itu digoyang-goyang (oyak), keatas, kekiri dan kekanan serta diputar-putar. Setelah Tabuik Pasar dan Tabuik Subarang bergandengan, barulah dimulai maoyak tabuik secara berganti-gantian ataupun secara serentak.
Pada waktu ini peserta tabuik maupun penonton akan meneriakkan kata-kata “hoyak Hosen” berulang kali. Cara ma-oyak tabuik yaitu dengan menghentak-hentakan tabuik secara berulang-ulang dan dilakukan oleh anak tabuik, yang biasanya adalah para pemuda.
Ma-oyak tabuik tidak saja terjadi pada tempat tersebut tetapi di sepanjang jalan menuju pantai. Setiap jarak 100 meter, tabuik itu dioyak dengan diiringi oleh sorakan pendukung kedua tabuik itu.
Sekitar pukul 18.00 WIB ketika matahari mulai terbenam, iringan tabuik sampai ke tepi pantai untuk dibuang ke laut. Secara bersama-sama tabuik digotong ke laut, hingga kira-kira air laut mencapai sebatas dada tabuik dilepaskan seakan-akan burak terbang membawa arak-arakan ke langit.
Upacara pembuangan tabuik ditutup dengan doa pelepas arak-arakan, dan dengan dibuangnya tabuik ke laut berarti usailah sudah upacara tabuik. Setelah terbuangnya tabuik maka para penonton berbondong-bondong pulang dan dalam hati masing-masing mengenangkan peristiwa itu.
Ritual Keagamaan dan Budaya
Pelaksanaan upacara tabuik merefleksikan kesedihan atas kematian Imam Husein dan kekejaman tentara Yazid.
Rangkaian upacara tabuik tersebut melibatkan tokoh masyarakat (alim ulama, cerdik pandai, dan pemuka adat), pemimpin upacara, pawang, pemain musik, pemuda, pekerja tabuik dan penonton.
Para pemuda yang menjadi anggota penyelenggara tabuik lazim juga disebut dengan anak tabuik atau anak bijunu. Mereka berjumlah 40 orang dan memiliki pakaian seragam berwarna kuning.
Pakaian berwarna kuning itu merupakan pakaian kebesaran dari anak tabuik. Para anak tabuik itu pada waktu maarak panja menjadi pemegang (pembawa) bendera sebagai pertanda bagi masyarakat akan tabuiknya.
Bagi masyarakat Pariaman, upacara tabuik merupakan warisan budaya yang tetap dipelihara hingga sekarang, dan menjadi andalan di bidang pariwisata bagi pemerintah dan masyarakat setempat.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR