Nationalgeographic.co.id—Dalam upayanya untuk memperlambat laju perubahan iklim, Pemerintah Selandia Baru tengah mempertimbangkan potensi besar yang dimiliki oleh "karbon biru".
Rencana Pengurangan Emisi terbaru untuk tahun 2026-2030 yang akan dirilis pada bulan Desember 2024 diperkirakan akan secara eksplisit menyebutkan potensi pemanfaatan laut, khususnya ekosistem lamun, bakau, dan spesies laut lainnya sebagai penyerap karbon yang efektif.
Versi rancangan rencana yang telah dirilis awal tahun ini telah menyoroti peran penting dari "penyerap" karbon alternatif seperti karbon biru.
Hal ini dianggap sebagai upaya untuk memperkuat langkah-langkah mitigasi iklim yang telah ada sebelumnya, yang umumnya lebih berfokus pada penyerapan karbon dari sektor daratan seperti transportasi, industri, dan pertanian melalui penanaman pohon.
"Namun, penggunaan karbon biru sebagai bagian dari perhitungan emisi bukanlah tanpa tantangan," papar Eloise Gibson di laman RNZ (Radio New Zealand).
Meskipun ekosistem seperti lamun, bakau, dan rumput laut memiliki kemampuan luar biasa dalam menyimpan karbon dalam jangka waktu yang lama, aktivitas manusia yang merusak, seperti penangkapan ikan menggunakan pukat dasar, justru dapat melepaskan karbon yang telah tersimpan tersebut kembali ke atmosfer.
Zona Ekonomi Eksklusif Selandia Baru yang luas menyimpan cadangan karbon yang sangat besar di dalam sedimen lautnya. Oleh karena itu, gangguan terhadap ekosistem laut, sekecil apapun, berpotensi melepaskan sejumlah besar karbon dan mengkompensasi upaya-upaya pengurangan emisi lainnya.
Tak semudah membalikkan telapak tangan
Karbon biru sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada semua karbon yang tersimpan di ekosistem laut dan pesisir, mulai dari rumput laut yang menjulur di bawah permukaan hingga sedimen di dasar laut yang dalam.
Di Selandia Baru, partai politik NZ First telah gencar mengampanyekan pengakuan resmi terhadap karbon biru dalam perhitungan iklim nasional.
Upaya ini membuahkan hasil dengan tercapainya kesepakatan koalisi antara NZ First dan partai Nasional yang memasukkan komitmen untuk "memajukan pekerjaan pengakuan berbagai bentuk sekuestrasi karbon, termasuk karbon biru".
Baca Juga: Bagaimana Program 'Blue Carbon' di Kolombia Buat Masyarakat Semringah?
Namun, pengakuan terhadap karbon biru tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam sistem perhitungan emisi global, karbon biru hanya diakui jika ada upaya aktif dari manusia untuk meningkatkan jumlah karbon yang tersimpan.
Misalnya, penanaman kembali lamun atau perlindungan terhadap muara dianggap sebagai aktivitas yang dapat meningkatkan penyerapan karbon. Sebaliknya, proses alami seperti kebakaran hutan yang melepaskan karbon tidak akan diperhitungkan.
Lebih lanjut, Rancangan Rencana Pengurangan Emisi Selandia Baru menyoroti perlunya penelitian yang lebih mendalam sebelum karbon biru dapat dimasukkan dalam Skema Perdagangan Emisi.
Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dalam mengukur dengan tepat berapa banyak karbon yang sebenarnya diserap oleh ekosistem laut ketika kita melakukan aktivitas seperti menanam spesies laut atau melindungi muara.
Peran besar laut dalam menstabilkan iklim
Rebecca Mills, direktur pelaksana The Lever Room, sebuah konsultan yang fokus pada dampak karbon, menyoroti potensi luar biasa lautan dalam membantu menstabilkan iklim Bumi.
"Terdapat persepsi umum bahwa sebagai negara kecil, kontribusi Selandia Baru terhadap perubahan iklim tidak signifikan. Namun, jika kita melihat luas wilayah laut kita, kita menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab yang besar terhadap planet ini. Lautan berperan krusial dalam mengatur iklim global dan memiliki kapasitas untuk menjadi baik sumber maupun penyerap karbon."
Mills menjelaskan bahwa lautan telah menjadi benteng pertahanan kita selama ini.
Dengan menyerap sebagian besar panas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan menyerap sebagian besar karbon dioksida yang kita emisikan, lautan telah memberikan kita waktu yang sangat berharga untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tanpa keberadaan lautan, dampak pemanasan global yang kita rasakan saat ini akan jauh lebih parah.
Potensi lautan tidak hanya terbatas pada kemampuannya menyerap karbon. Tumbuhan laut, energi terbarukan berbasis laut, dan sumber pangan laut rendah karbon adalah beberapa contoh potensi lainnya yang dapat kita manfaatkan.
Pemerintah Selandia Baru telah menyatakan komitmennya untuk memanfaatkan potensi laut dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Namun, kebijakan yang diambil sejauh ini seringkali menimbulkan pertanyaan.
Baca Juga: Blue Carbon: Gara-gara Mikroplastik, 'Keperkasaan' Mangrove Bakal Terganggu
Keputusan untuk mempercepat penambangan pasir di lepas pantai Taranaki, misalnya, telah menghambat pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai.
Dinamika yang kompleks
Rencana pemotongan karbon di Selandia Baru memang telah mengidentifikasi mangrove pantai dan lamun sebagai ekosistem yang memiliki potensi besar dalam menyimpan karbon. Namun, untuk dapat memanfaatkan potensi ini secara optimal, diperlukan lebih banyak data dan bukti ilmiah.
Dr. Robert Hickson dari Blue Carbon Services, dengan dukungan hibah Smart Ideas Pemerintah, tengah melakukan penelitian untuk mengukur kapasitas penyimpanan karbon pada rumput laut yang dibudidayakan di peternakan kerang.
Melalui penelitian ini, Hickson berharap dapat membangun model yang mampu memprediksi jumlah karbon yang berhasil mencapai perairan dalam dan tersimpan dalam jangka waktu yang panjang.
Perairan dalam, dengan kedalaman lebih dari 1.000 meter, merupakan tempat yang ideal untuk menyimpan karbon karena minimnya pergerakan air. Karbon yang tersimpan di kedalaman ini dapat bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun tanpa terurai dan kembali ke atmosfer.
Namun, perjalanan karbon dari permukaan laut menuju perairan dalam bukanlah hal yang mudah. Karbon organik yang berasal dari rumput laut dan detritus lainnya harus melewati berbagai tantangan, mulai dari proses dekomposisi oleh bakteri dan organisme laut lainnya di perairan dangkal, hingga dinamika arus laut yang kompleks.
Hickson menggambarkan proses ini sebagai "menjalani rintangan". Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah karbon yang berhasil mencapai perairan dalam, seperti jenis rumput laut, metode budidaya, kondisi lingkungan, dan jarak ke perairan dalam.
Untuk memaksimalkan potensi penyimpanan karbon, Hickson menyarankan agar budidaya rumput laut dan kerang dilakukan di perairan yang lebih dalam, sekitar 10 kilometer dari garis pantai.
Dengan demikian, karbon yang dihasilkan oleh ekosistem budidaya ini akan memiliki jarak tempuh yang lebih pendek menuju perairan dalam, sehingga mengurangi risiko dekomposisi sebelum mencapai tempat penyimpanan yang aman.
Paradoks yang mengkhawatirkan
Menghitung karbon biru ternyata bisa menjadi sebuah paradoks yang mengkhawatirkan.
Geoffroy Lamarche, seorang ilmuwan kelautan sekaligus penasihat sains utama untuk komisaris lingkungan Parlemen Selandia Baru, mengungkapkan fakta mengejutkan: Selandia Baru memiliki cadangan karbon sebesar 2,2 miliar ton yang tersimpan di dasar lautnya. Sayangnya, harta karun karbon ini justru menyimpan ancaman yang signifikan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2022 atas inisiatif Kantor Komisi Parlemen untuk Lingkungan, terungkap bahwa terdapat tumpang tindih yang signifikan antara deposit karbon kaya di sedimen laut dengan area yang menjadi sasaran penangkapan ikan menggunakan pukat dasar.
Metode penangkapan ikan yang destruktif ini berpotensi mengganggu sedimen laut dan melepaskan karbon yang telah tersimpan selama ribuan tahun kembali ke atmosfer.
"Risiko terbesar terhadap cadangan karbon laut kita adalah penangkapan ikan dengan pukat dasar," tegas Lamarche. Ia menjelaskan bahwa aktivitas penangkapan ikan ini dapat mengaduk-aduk sedimen laut yang kaya akan karbon, menyebabkan pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah besar.
Fiordland, misalnya, merupakan wilayah yang kaya akan karbon namun relatif aman dari ancaman penangkapan ikan dengan pukat dasar. Sebaliknya, Teluk Hauraki, yang juga kaya akan karbon, sangat rentan terhadap gangguan akibat aktivitas manusia.
Limpasan tanah dari daratan sekitar yang kaya akan karbon mengalir ke teluk ini dan terakumulasi di dasar laut. Ketika sedimen dasar laut terganggu, karbon yang tersimpan di dalamnya dapat dengan mudah terlepas ke lingkungan.
"Teluk Hauraki merupakan contoh klasik dari wilayah yang berisiko tinggi," kata Lamarche. "Di satu sisi, kita memiliki cadangan karbon yang sangat besar, namun di sisi lain, kita juga memiliki tingkat aktivitas manusia yang tinggi, termasuk penangkapan ikan dan berbagai jenis gangguan lainnya."
KOMENTAR