"Bagi perempuan Jawa itu sendiri, kebaya menjadi penanda perbedaan kelas dan status antara priyayi dan rakyat biasa yang dicapai melalui bahan tekstil untuk kebaya dan kain bawahannya," ungkap Nita.
"Sedangkan antara perempuan Belanda dengan perempuan pribumi di pulau Jawa, perbedaan tersebut tampak dari model kebayanya," lanjutnya.
Warna kebaya untuk perempuan nonpribumi adalah putih dan berenda dengan kain batik yang diproduksi dengan motif pengaruh budaya Eropa. Adapun model kebaya perempuan pribumi tidak mengenakan renda dan bewarna selain putih, dipadu kain batik sesuai pakem tradisional.
Baik perempuan Belanda maupun perempuan pribumi menggunakan kebaya sebagai penanda status yang berlaku di masa kolonial saat itu yang mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan rasnya melalui pakaian.
Nita juga mengungkap bahwa menjelang perang kemerdekaan dan bangkitnya nasionalisme Indonesia, perempuan pribumi Jawa mengenakan kebaya sebagai simbol anti kolonial.
Sementara itu, perempuan Belanda mengenakan pakaian Barat sebagai penanda status mereka sebagai orang Eropa di mana saat itu pemakaian kebaya dianggap rendah dan identik dengan pribumi.
Kebaya dari Masa ke Masa
Eksistensi dan pasang surut kebaya juga diungkap Talitha Nagata dan Yan Yan Sunarya dalam makalah bertajuk "Perkembangan Kebaya Kontemporer sebagai Trasformasi Budaya" (Seni & Reka Rancang Vol 5, No.2, April 2023).
"Kebaya sempat ditinggalkan karena bentuknya yang dianggap kuno dan tidak modern," tulis mereka mengutip isi makalah karya Fitria & Wahyuningsih.
"Masa pasang surut kebaya terjadi saat pergantian pemerintahan Jepang dan ketika masuknya pengaruh budaya Pop dari Eropa yang memunculkan berbagai trend fashion pada tahun 1970-an," jelas mereka.
Antara tahun 1942-1946, perkembangan kebaya melambat akibat kondisi ekonomi yang buruk dan kurangnya bahan tekstil di masa itu.
Baca Juga: 10 Tahun YKAN: Dorong Kolaborasi dalam Konservasi demi Indonesia Lestari
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR