Nationalgeographic.co.id— Kebaya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai busana nasional. Kebaya juga kerap dikenakan masyarakat Indonesia dalam berbagai acara resmi seperti wisuda, pernikahan, pesta, dan acara resmi kenegaraan.
Kebaya menjadi produk yang terbentuk dari hibridasi beragam budaya karena jika ditilik dari faktor historis, diperkirakan kebaya mendapat pengaruh dari India, Cina, Belanda dan Portugis.
Selain di Indonesia, kebaya juga tersebar di semenanjung melayu, yaitu Malaysia dan Singapura. Menurut sejarawan Denys Lombard, asal-usul kata “kebaya” berasal dari kata “abaya” dalam bahasa Arab yang artinya busana.
Khususnya dalam sejarah pakaian Indonesia, ada berbagai pengaruh, termasuk masuknya bangsa Eropa dan Islam ke Indonesia yang turut menjadi faktor penting terjadinya perubahan cara berpakaian perempuan.
Dalam makalah berjudul "Kebaya dan Perempuan: Sebuah Narasi Tentang Identitas" (Senirupa Wacana vol 6 Juli 2018), Nita Trismaya mengungkap bahwa sebelumnya, perempuan menggunakan kemben untuk menutupi tubuh mereka. Kebaya kemudian menjadi pakaian sehari-hari dengan desain sederhana dan terbuat dari bahan katun mori.
"Pada periode 1500-an hingga awal 1800-an desain kebaya belum bervariasi, masih berbentuk blouse dengan berlengan panjang dan menggunakan bahan kain tenun mori," tulis Nita.
"Masuknya bangsa Eropa terutama Belanda ke Indonesia, ikut mempengaruhi desain kebaya di masa itu dengan memunculkan variasi bahan tekstil seperti beludru, sutra, dan lace," lanjutnya.
Pada tahun 1910 hingga 1980, kebaya mengalami perubahan estetik akibat modernisasi yang mempengaruhi desain, proporsi, ragam hias, material kain, dan detail pengaplikasiannya.
Pada dasarnya, pakem kebaya yang diambil dari tradisi Jawa adalah adanya bukaan di bagian depan (tidak pakai ritsleting) dengan bahan tekstil bebas, kain panjang (jarik), dan rambut disanggul.
Namun jika ditinjau dari kesejarahannya, kebaya digunakan tidak saja oleh perempuan di Jawa sebagai pakaian sehari-hari, tetapi juga oleh perempuan Belanda dan peranakan Belanda yang menetap di pulau Jawa.
Baca Juga: Jadi Kuil Apa yang Berhak Menyandang Gelar Terbesar, Termegah dan Tertua pada Zaman Yunani Kuno?
"Bagi perempuan Jawa itu sendiri, kebaya menjadi penanda perbedaan kelas dan status antara priyayi dan rakyat biasa yang dicapai melalui bahan tekstil untuk kebaya dan kain bawahannya," ungkap Nita.
"Sedangkan antara perempuan Belanda dengan perempuan pribumi di pulau Jawa, perbedaan tersebut tampak dari model kebayanya," lanjutnya.
Warna kebaya untuk perempuan nonpribumi adalah putih dan berenda dengan kain batik yang diproduksi dengan motif pengaruh budaya Eropa. Adapun model kebaya perempuan pribumi tidak mengenakan renda dan bewarna selain putih, dipadu kain batik sesuai pakem tradisional.
Baik perempuan Belanda maupun perempuan pribumi menggunakan kebaya sebagai penanda status yang berlaku di masa kolonial saat itu yang mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan rasnya melalui pakaian.
Nita juga mengungkap bahwa menjelang perang kemerdekaan dan bangkitnya nasionalisme Indonesia, perempuan pribumi Jawa mengenakan kebaya sebagai simbol anti kolonial.
Sementara itu, perempuan Belanda mengenakan pakaian Barat sebagai penanda status mereka sebagai orang Eropa di mana saat itu pemakaian kebaya dianggap rendah dan identik dengan pribumi.
Kebaya dari Masa ke Masa
Eksistensi dan pasang surut kebaya juga diungkap Talitha Nagata dan Yan Yan Sunarya dalam makalah bertajuk "Perkembangan Kebaya Kontemporer sebagai Trasformasi Budaya" (Seni & Reka Rancang Vol 5, No.2, April 2023).
"Kebaya sempat ditinggalkan karena bentuknya yang dianggap kuno dan tidak modern," tulis mereka mengutip isi makalah karya Fitria & Wahyuningsih.
"Masa pasang surut kebaya terjadi saat pergantian pemerintahan Jepang dan ketika masuknya pengaruh budaya Pop dari Eropa yang memunculkan berbagai trend fashion pada tahun 1970-an," jelas mereka.
Antara tahun 1942-1946, perkembangan kebaya melambat akibat kondisi ekonomi yang buruk dan kurangnya bahan tekstil di masa itu.
Baca Juga: 10 Tahun YKAN: Dorong Kolaborasi dalam Konservasi demi Indonesia Lestari
Setelah tahun 1946, kebaya mengalami perubahan estetik kembali karena hilangnya stratifikasi sosial dan menjadi populer di semua kalangan masyarakat. Pada masa itu, desain kebaya berubah dengan bentuk siluet, pemakaian kancing, tekstil, dan bentuk kerah yang berbeda.
Seusai kemerdekaan terutama di masa Orde Lama, pemerintahan Soekarno yang sedang mencari identitas budaya nasional Indonesia sebagai negara yang baru merdeka memutuskan mengangkat kebaya sebagai busana nasional.
Selain itu, budaya tradisional seperti kebaya menjadi salah satu media perlawanan orang Indonesia terhadap budaya Barat yang dikhawatirkan menjadi penyebab terkikisnya budaya asli Indonesia.
Pada masa orde baru, pemerintahan Soeharto menggunakan kebaya sebagai bentuk pengekangan kebebasan perempuan melalui konsep ibuisme.
Kebaya dipersempit fungsi dan pemaknaannya melalui kelompok Dharma Wanita dan PKK, dan pemakaian kebaya pada acara-acara resmi dan kenegaraan dengan model yang dipakemkan.
Tien Soeharto menjadi patron bagi perempuan Indonesia yang berkebaya. Di sisi lain, pemakaian kebaya sebagai pakaian sehari-hari mulai ditinggalkan kaum perempuan yang lebih memilih pakaian modern yang berkiblat pada budaya Barat.
Pakaian Barat menjadi simbol modernitas kaum perempuan terutama yang menetap di kota besar seperti Jakarta dengan alasan kebaya identik dengan sifat “tidak praktis” dan mengurangi kebebasan bergerak.
Seiring dengan perkembangan zaman, pengaruh modernisasi semakin memengaruhi perkembangan kebaya. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, gaya modern dan tren fashion dari Eropa mulai memasuki Indonesia dan mempengaruhi arus mode di Indonesia yang berubah ke arah gaya barat.
Hal ini menyebabkan minat pada kebaya menurun karena masyarakat lebih menyukai tampilan yang modern pada saat itu.
Namun, pada tahun 2000-an kebaya kembali populer dengan tampilan baru yang bermunculan dan desainer merancang kebaya dengan berbagai bahan kain, motif, aksesoris, dan detail aplikasi payet.
Baca Juga: Kerbau Betina Suka 'Nongkrong' dengan Teman yang Punya Kepribadian Mirip
Setelah Orde Baru runtuh, yang ditandai dengan masa reformasi, bentuk dan fungsi kebaya mengalami perubahan. Dengan berembusnya angin kebebasan dan euforia demokrasi, model kebaya semakin beragam dan berangsur meninggalkan pakemnya, terutama di kalangan generasi muda.
Perubahan tersebut muncul bersamaan dengan munculnya para desainer yang mengusung tema kebaya modern. Selain itu, ada kecenderungan model kebaya menjadi lebih tertutup (sopan).
Hal itu terjadi seiring dengan dinamika bangkitnya paham ajaran Islam, misalnya kebaya model kutubaru yang bef-nya ditinggikan agar tidak menampakkan belahan dada.
Lebih jauh, gaya kebaya muslim berupa padanan kebaya dan kerudung yang menutup rapat seluruh rambut di kepala, leher dan dada, mulai bermunculan.
Kebaya sebagai Jati Diri Perempuan
Victoria Cattoni, seorang visual artist asal Melbourne, Australia, dalam wawancara oleh Nita pada 2018 silam, menyebut bahwa kebaya juga menjadi media representasi tersendiri bagi seorang perempuan.
Dalam pembacaan Cattoni terhadap kebaya yang dikenakan perempuan Bali, ia mendapatkan kesan feminin sekaligus seksi.
"Banyak hal yang menarik dalam kebaya yang dikenakan perempuan Bali, mulai dari perasaan mendalam, identitas keperempuanan, hingga kenangan," katanya.
Cattoni membuat proyek ‘Reading the Kebaya’ yang berfokus pada keindahan model kebaya itu sendiri dan tubuh yang memakainya. Model kebaya Bali, yang menjadi awal ketertarikan Cattoni, memang menampakkan bentuk tubuh perempuan pemakainya.
Hal ini sejalan dengan penelitian Aprilia Dewi yang berjudul "Kebaya sebagai Media Presentasi Diri Perempuan Bali di Kelurahan Ubud, Gianyar", di mana ia meyebut bahwa kebaya di Bali pada masa kini mengalami pergeseran makna.
"Pergeseran ini timbul karena tidak hanya digunakan untuk kegiatan adat dan keagamaan tetapi juga telah berubah menjadi simbol identitas dan media presentasi diri ‘siapa dia’ sehingga dapat membedakannya dari orang lain," jelasnya.
"Kebaya dengan sendirinya menjadi media para perempuan untuk menunjukkan konsep dirinya sebagai orang Bali. Bahkan, perilaku perempuan Bali mengalami perubahan yakni membuat mereka melakukan berbagai cara agar selalu tampil cantik dan ideal."
Pada ranah nasional, kebaya bukan semata-mata milik budaya Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) karena terdapat juga di wilayah lain yakni Jawa Barat (Sunda), Madura, Bali, Lombok, Maluku, Minahasa, Sumatra Utara dan Sumatra Barat apabila dilihat kesamaan dasar rancangan busananya.
Identitas perempuan melalui kebaya dalam masyarakat urban masa kini mengartikulasikan identitas yang multikultural. Kebaya tidak lagi dianggap sebagai produk budaya tradisi Jawa, tetapi telah menjadi bagian dari fashion yang menarasikan kebaya sebagai bagian dari gaya hidup.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR