Nationalgeographic.co.id—Perayaan Natal bisa menjadi simfoni kenikmatan indrawi. Mulai dari manisnya permen tongkat, aroma pohon pinus, bunyi lonceng, hingga kerlap-kerlip lampu. Bagi sebagian orang, suara ikan yang sedang digoreng menjadi suara khas di selama perayaan Natal. Perayaan Tujuh Ikan atau Feast of the Seven Fishes merupakan tradisi unik yang dipraktikkan oleh orang Italia di Amerika.
Dari mana sebenarnya perayaan ini berasal, dan bagaimana perayaan ini menjadi populer di Amerika Serikat? Mengapa ikan dan mengapa jumlahnya ada tujuh? Berikut kisah nyata dari Perayaan Tujuh Ikan.
Asal-usul Italia
Perayaan Tujuh Ikan merupakan tradisi yang dijunjung tinggi oleh banyak orang Amerika keturunan Italia. Mereka menikmati sekitar tujuh hidangan laut yang berbeda pada Malam Natal. Di Malam Natal, keluarga akan menghidangkan baccala (ikan kod asin), calamari fritti (cumi goreng tepung) dengan saus lemon dan marinara. Juga ada escarole isi, ikan smelt goreng, scungilli (keong) dalam salad hidangan laut dingin, dan kerang oreganata isi.
Anda tidak akan mendengar tentang “festa dei sette pesci” di Italia, kata Michael Di Giovine, profesor antropologi di Universitas West Chester Pennsylvania. Di Italia, hari raya ini disebut “la vigilia”, “malam” Natal. Dan ikan hanya dimakan di Italia Selatan pada hari raya ini.
Namun perayaan tersebut berkembang menjadi perayaan khas Italia Amerika selama seratus tahun terakhir.
Pada pergantian abad ke-19, imigrasi Italia meledak. Imigran Italia berjumlah 300.000 pada tahun 1880-an dan melonjak menjadi 2 juta pada tahun 1900. Para imigran Italia berada jauh dari keluarga besar dan anak-anak mereka tumbuh serta menikah dengan orang Amerika. Maka, Perayaan Tujuh Ikan berevolusi dari la vigilia menjadi sesuatu yang jauh lebih mewah. Di Giovine mengatakan perayaan itu adalah cara untuk membedakan diri mereka, bak sebuah penanda identitas.
Perayaan Tujuh Ikan juga menjadi tradisi untuk memperkuat ikatan dengan keluarga saat ini dan leluhur di masa lalu.
Saat ini, ada banyak penafsiran tentang pesta tersebut sebanyak jumlah pesertanya, kata Di Giovine.
Mengapa ikan dan mengapa ada tujuh?
Sebagian besar imigran Italia datang ke Amerika Serikat pada pergantian abad ke-19. Mereka berasal dari pedesaan Italia Selatan. Saat Italia bersatu pada tahun 1861, warganya memperoleh kebebasan baru dari kaum aristokrat yang melemah. Mereka datang ke Amerika karena ada lapangan pekerjaan (dari pembangunan rel kereta api hingga gedung pencakar langit) dan mobilitas. Teman dan keluarga menemukan kesuksesan dan membawa orang-orang yang mereka cintai ke Amerika Serikat.
Ada yang mengatakan bahwa ikan dipilih untuk perayaan tersebut karena ikan sangat melimpah bagi keluarga miskin di Italia Selatan. Yang lain mengatakan laut melambangkan hubungan antara orang Italia Amerika dengan rumah lama mereka. Yang lain lagi mengatakan ikan disajikan hanya karena dianggap sebagai afrodisiak.
Meskipun banyak keluarga tidak lagi mengaitkan perayaan itu dengan tradisi Katolik, kemungkinan ada penjelasan religius untuk makanan laut tersebut. Umat Kristen pertama menggunakan ikonografi ikan untuk menunjukkan tanda keanggotaan. Dalam satu kisah Alkitab , Yesus mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan menjanjikan pengikut yang berlimpah kepada para pengikut. Saat itu Yesus memerintahkan pengikutnya untuk menjadi “penjala manusia”. Hingga hari ini, Paus mengenakan “cincin nelayan”.
Tujuh juga merupakan angka suci: angka ini merupakan angka sakramen dan dosa berat. Dalam Alkitab, Yesus secara ajaib memberi makan sekelompok orang dengan tujuh roti dan ikan.
“Jika dikonsumsi dalam kelipatan tujuh, ikan menjadi simbol yang sangat mengakar untuk menguduskan dan menghidupkan kembali kelompok yang berlimpah. Juga menjanjikan kelimpahan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang,” ungkap Di Giovine
Tradisi selalu berkembang
Budaya Italia sangat regional, dengan komunitas kecil yang mengkhususkan diri pada makanan tertentu. Italia Utara dan Tengah tidak makan ikan pada Malam Natal. Gelombang imigran pada pergantian abad ke-19 berasal dari Selatan. Kelompok ini memiliki pengaruh Spanyol pada bahasa dan makanannya. Ikan, minyak zaitun, cuka, kacang-kacangan, tomat, dan makanan yang digoreng adalah makanan dari Italia Selatan. Makanan yang digoreng misalnya pizza fritta (pizza pocket) dan zeppoles (donat)
Pada tahun 1900-an, sentimen anti-Italia tinggi dan orang Italia dari berbagai daerah disatukan oleh orang luar daerah. Akhirnya, tradisi juga bercampur menjadi satu untuk menghasilkan citra makanan khas Italia yang “di-Amerika-kan”. Sama seperti pizza hingga cannoli, yang keduanya merupakan makanan khas daerah di Italia.
Setelah Perang Dunia II, orang Italia diterima sebagai anggota masyarakat Amerika. Mereka pindah ke pinggiran kota. Anak-anak mereka bersekolah bersama orang-orang dari latar belakang lain, dan TV dipopulerkan. Selera masyarakat pun menjadi homogen. Bahasa dan agama cepat hilang dalam situasi ini, kata Di Giovine. Dan makanan bisa menjadi cara untuk memisahkan diri dan Anda dapat “menggunakannya” kapan saja.
Penulis dan sutradara Robert Tinnell membuat komik pada tahun 2004 tentang pengalamannya dengan Perayaan Tujuh Ikan. Tumbuh besar di Virginia Barat Tengah Utara, ia mengingat nenek buyutnya yang menyelenggarakan perayaan tersebut. Setelah sang nenek meninggal, kakeknya dan laki-laki lain dalam keluarga mengambil alih. Kehidupan rumah tangga yang maskulin itu adalah sesuatu yang juga dilakukan oleh para imigran Italia pertama karena kebutuhan. Laki-laki datang ke Amerika terlebih dahulu, tanpa istri dan anak perempuan mereka.
Namun, pengetahuan tentang tempat berbelanja, kapan menyiapkan, cara memasak, sejarah di balik hidangan, dan tradisi keluarga menjadi tanggung jawab para ibu. Pengetahuan itu diwariskan kepada putri mereka, kata Di Giovine. Kaum wanita juga kemungkinan besar yang memiliki keputusan akhir dalam membuat perubahan pada resep. Seiring berjalannya waktu, keluarga sering mengubah menu agar lebih mudah, murah, berlimpah, dan lebih mengakomodasi pantangan makanan.
“Kami tidak kaya. Saya melakukan beberapa hal yang seharusnya ada di meja makannya,” kata Tinnell, merujuk pada nenek buyutnya. “Namun, istri saya senang mencoba hal-hal baru. Beberapa tahun lalu, kami mengambil tiram dan menaruhnya di luar di atas api terbuka; kami memanggangnya di dalam cangkangnya. Keluarga saya tidak pernah melakukan itu. Namun, saya tidak akan menukar waktu yang saya habiskan bersama ayah mertua, saudara laki-laki saya, dengan semua anak-ana. Hal itu merupakan adalah hal baru. Dan itulah yang penting di sini, kebersamaan dan pengalaman bersama itu.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR