Siapa pun yang mampu menguasai ombak dan memamerkan kemahirannya akan mendapatkan rasa hormat dari kalangan atas.
Sekarang, dengan hilangnya sistem kapu, siapa saja bisa berselancar di mana pun mereka mau, menggunakan papan selancar dengan ukuran dan jenis apapun.
Meski begitu, selancar tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Hawaii, yang memiliki sejarah panjang dalam olahraga ini.
Bagaimana Papan Selancar Pertama Dibuat?
Masyarakat Hawaii kuno sangat memperhatikan aturan yang mengatur hampir semua aspek kehidupan mereka, termasuk pembuatan papan selancar.
Pembuatan papan selancar dianggap sebagai pekerjaan sakral yang harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Hanya tiga jenis pohon yang dianggap cocok untuk membuat papan selancar: koa, 'ulu, dan wiliwili.
Pohon-pohon ini dipilih dengan teliti, dan setelah itu, sebuah persembahan spiritual berupa ikan dimasukkan ke dalam lubang pohon sebelum proses pembuatan dimulai.
Papan selancar yang dibuat pada masa itu sangat berat, bahkan mencapai 175 pon. Hanya peselancar dari kalangan tertentu yang diperbolehkan menggunakan papan panjang (hingga 24 kaki), sementara orang biasa hanya dapat menggunakan papan yang lebih pendek (sekitar 12 kaki). Pembatasan ini mencerminkan status sosial dalam masyarakat.
Orang Polinesia kuno tidak hanya ahli dalam membuat papan selancar, tetapi juga dalam membuat rakit dan kano untuk kegiatan sehari-hari, seperti memancing. Keahlian ini berkembang karena hubungan erat mereka dengan laut.
Dengan berjalannya waktu, norma sosial ini pun mulai menghilang, dan hari ini siapa pun dapat memilih papan selancar sesuai keinginan mereka.
Meskipun banyak yang belum kita ketahui tentang sejarah selancar, kita tahu bahwa olahraga ini memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat Polinesia kuno, baik dari segi gaya hidup maupun agama.
Dahulu, selancar bukan hanya olahraga, tetapi juga sebuah ritual yang mengandung makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Source | : | collectionsofwaikiki.com |
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR