Ketika pemukim Eropa tiba di Hawaii, budaya selancar sempat meredup. Orang Hawaii didorong menjauhi tradisi mereka, dan para pemukim Kristen menganggap selancar sebagai aktivitas yang tidak pantas.
Namun, bagi penduduk asli Hawaii, laut dan selancar adalah bagian dari jiwa mereka. Meski ditekan, mereka tidak pernah benar-benar berhenti berselancar. Menjelang akhir abad ke-19, pariwisata mulai tumbuh, dan selancar kembali menjadi daya tarik utama.
Peran Selancar dalam Budaya dan Sejarah Hawaii
Dalam bahasa Hawaii, kata "selancar" adalah he'e nalu, yang secara harfiah berarti "meluncur di atas ombak." Tidak mengherankan jika olahraga ini berasal dari masyarakat yang sangat terhubung dengan laut.
Namun, bagi orang Polinesia kuno, berselancar lebih dari sekadar hiburan. Pada masa itu, selancar memiliki makna yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan pandangan kita tentang olahraga ini saat ini.
Di masyarakat Polinesia kuno, ada pemisahan yang jelas antara kelas atas dan kelas bawah. Pembagian ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk di mana dan bagaimana seseorang boleh berselancar.
Kode kapu—sebuah sistem aturan yang ketat—menentukan siapa yang boleh berselancar di area tertentu dan papan selancar seperti apa yang boleh digunakan.
Para kepala suku dan anggota kelas atas biasanya memilih ombak terbaik untuk diri mereka sendiri, sementara rakyat biasa hanya diperbolehkan berselancar di area yang sudah ditentukan.
Bahkan panjang papan selancar mereka pun dibatasi—papan selancar kelas bawah hanya sepanjang 12 kaki, sementara papan selancar untuk kelas atas bisa mencapai 24 kaki. Ini bukanlah selancar santai seperti yang kita kenal sekarang.
Meski ada pembatasan ketat ini, berselancar memiliki dimensi spiritual yang mendalam bagi masyarakat Hawaii. Olahraga ini bukan sekadar cara untuk bersenang-senang, melainkan juga sarana untuk berdoa kepada para dewa.
Proses berselancar itu sendiri dianggap sebagai ritual yang sakral. Selain itu, berselancar juga digunakan untuk membuktikan keberanian, keterampilan, dan kekuatan.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Fakta Praktik Menciutkan Kepala di Pasifik dan Amazon
Source | : | collectionsofwaikiki.com |
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR