Kisah oleh Mifrah Disni Meiliska
Nationalgeographic.co.id—Di bawah sinar matahari pagi yang hangat, suara ketukan dari lumpang dan alu terdengar berirama di dapur kedai jamu Ginggang. Tempat ini bukan sekadar dapur, melainkan benteng kecil yang menjaga ketahanan pangan dan kesehatan lokal melalui jamu, warisan budaya secara turun-temurun. Kedainya berlokasi di Jalan Masjid No.32, Kauman, Gunungketur, Pakualaman, Kota Yogyakarta.
Pagi tadi, Ike Yulita Astiani yang akrab disapa Yayuk baru saja kembali dari pasar Beringharjo. Tangannya membawa tas yang berisi rempah-rempah segar. Senyum puas menghiasi wajahnya saat ia memasuki dapur, membawa pulang kunyit, jahe, dan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk meramu jamu.
Dengan penuh semangat, ia bergabung dengan Ndarsih dan Poni, para perempuan paruh baya yang lincah, tengah meramu jamu dari bahan-bahan berkualitas. Proses ini tidak hanya sekadar pekerjaan, melainkan sebuah ritual yang menyatu dengan tradisi.
Yayuk sebagai keturunan dari generasi kelima, salah satu keluarga yang meneruskan warisan kedai jamu Ginggang, menyimpan kisah panjang tentang tempat ini.
“Awalnya, jamu ini dijual oleh nenek moyang saya yang merupakan Tabib Ndalem secara berkeliling dengan digendong atau kerap disebut jamu gendong, hingga kini hadir dalam bentuk kedai, Mbak,” kata Yayuk menjelaskan kepada saya sambil menyiapkan rempah-rempah untuk ditumbuk. Ia menambahkan bahwa nama "Ginggang" diturunkan dari frasa bahasa Jawa "tan genggang", yang bermakna agar "tanpa jarak" seupaya tidak ada jarak antara keraton dan masyarakat.
Dengan latar belakang sebagai Abdi Ndalem Keraton Pura Pakualaman yang mendapat mandat sebagai tabib, nenek moyang Yayuk menanamkan nilai-nilai kemandirian dan ketahanan pangan yang kini terus dilestarikan.
Sementara itu, Ndarsih dan Poni, dengan penutup kepala dan celemek batik yang sudah pudar warnanya, tampak sedang sibuk menumbuk rempah-rempah di atas lumpang tadi. Tangan mereka yang mulai keriput tak kehilangan ketangkasan saat mereka memproses kunyit, mengeluarkan aroma tajam khas yang memenuhi ruangan. Dari tungku kayu bakar yang terus membara, asap tipis mengepul, menghangatkan udara sekitar.
Ndarsih lalu dengan penuh konsentrasi memipis jahe di atas pipisan batu licin. Setiap gerakan yang mantap dan hati-hati membawa rempah itu menjadi setengah halus, siap untuk diramu menjadi minuman berkhasiat. Dalam setiap tetes jamu yang dihasilkan, tersimpan bukan hanya rasa, tetapi juga sejarah, tradisi, dan harapan para perempuan yang gigih menjaga warisan nenek moyang mereka.
“Ini bukan hanya soal minuman kesehatan,” kata Ndarsih sambil terus memipis, “ini adalah kehidupan kami.” Di dapur ini, warisan jamu telah terjaga selama kurang lebih satu abad, diwariskan dari generasi ke generasi. Di tangan para perempuan seperti Yayuk, Ndarsih dan Poni, warisan leluhur ini bukan hanya dilestarikan, tetapi juga menghidupi mereka.
Dalam budaya Jawa, jamu memiliki tempat khusus di lingkungan keraton. Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, terdapat ahli jamu yang disebut Tabib Ndalem, yang secara khusus bertanggung jawab untuk meramu obat dan minuman herbal bagi keluarga raja dan bangsawan.
Baca Juga: Sejarah Manusia: Tradisi Kesehatan Kuno yang Dipraktikkan hingga Kini
Tabib Ndalem ini memegang peran penting, bukan hanya karena kemampuan mereka dalam mengolah tanaman herbal menjadi obat, tetapi juga karena pengetahuan mereka tentang racikan khusus yang diwariskan secara turun-temurun. Racikan-racikan jamu ini dirancang untuk menjaga kesehatan, vitalitas, dan keseimbangan energi para anggota keraton.
Sosoknya memiliki keistimewaan karena menguasai pengetahuan herbal yang tidak dimiliki sembarang orang. Mereka dipercaya untuk meracik obat yang bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga untuk tujuan spiritual, seperti menjaga kesucian diri atau meningkatkan daya tahan dalam menjalani tanggung jawab besar sebagai pemimpin.
“Penggunaan jamu oleh kalangan keraton ini menunjukkan bagaimana jamu memiliki kedudukan yang istimewa, sekaligus menunjukkan kepercayaan kuat pada kekuatan tanaman lokal sebagai penyembuh alami hingga saat ini,” kata Ndarsih yang sedang mencuci jahe sebelum dipipis.
“Iya, Mbak. Lha wong selain di kedai jamu, saya di rumah juga rajin bikin jamu untuk keluarga, kok. Karena kami percaya jamu bisa membantu meningkatkan imun dan mengobati berbagai keluhan, seperti pegal linu, hipertensi, bahkan sekadar untuk mengatasi rasa lelah,” tukas Poni menimpali sambil meneruskan menumbuk kunyit dengan lumpang dan alu sendirian.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dulunya LIPI, juga menyebutkan keanekaragaman hayati Indonesia memiliki potensi mengatasi tantangan penyakit infeksi. Berdasarkan kajian BRIN, terdapat 90 jenis obat-obatan alami yang berkhasiat sebagai anti-bakteri. Kemudian 70 jenis bermanfaat untuk anti-kanker, dan anti-inflamasi sebanyak 50 jenis.
Akar tradisi jamu diyakini telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-8. Bukti tertulis tentang keberadaan jamu ditemukan dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur yang digambarkan sejumlah orang sedang memberikan pertolongan kepada seorang laki-laki yang sedang sakit dengan cara memijat kepalanya, menggosok perut dan dadanya, serta ada yang membawa mangkuk obat.
Kisah meracik jamu dengan sejumlah tanaman yang masih dimanfaatkan sebagai bahan ramuan pun tergambar di dalamnya, antara lain tanaman semanggi, pandan, maja, dan jamblang. Hal ini menunjukkan praktik penggunaan tanaman obat dan ramuan herbal oleh masyarakat setempat dan menandakan bahwa sejak dahulu, nenek moyang bangsa Indonesia sudah memiliki pengetahuan tentang manfaat tanaman lokal untuk kesehatan.
Sejak abad ke-15, Nusantara juga telah dikenal sebagai Kepulauan Rempah, jalur maritim yang membawa kekayaan tanah ini ke seluruh dunia. Sehingga, Kekayaan rempah ini tidak hanya membangun identitas Nusantara di masa lalu, tetapi juga menjadi kunci dalam ketahanan pangan Indonesia yang saat ini menghadapi tantangan global.
“Seiring era globalisasi, pemanfaatan obat herbal terus meluas ke seluruh dunia. Melimpahnya keanekaragaman hayati menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan industri herbal,” kata Indi Dharmayanti, Kepala Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam webinar bertema “Saintifikasi Jamu: Mengungkap Warisan Budaya untuk Menyehatkan Bangsa” di Jakarta pada Agustus 2022.
“Akan tetapi, dibutuhkan landasan riset yang kuat dari berbagai aspek. Di bagian hulu perlu didorong riset dalam penyediaan bahan baku yang cukup, bermutu, dan berkelanjutan,” lanjutnya.
“Saintifikasi juga bisa menjadi jembatan untuk menyediakan bukti ilmiah dari jamu-jamu yang sudah lama digunakan masyarakat. Harapannya, dengan adanya bukti ini, pelayanan kesehatan bisa menggunakannya,” tambah Danang Ardianto, Peneliti Ahli Muda Kementerian Kesehatan masih dalam webinar yang sama.
Tanaman-tanaman seperti jahe dan temulawak yang tahan terhadap perubahan cuaca menjadi pilihan utama bagi para peracik jamu seperti Yayuk dan karyawannya. Mereka terus berupaya menggunakan rempah lokal, yang tak hanya berkhasiat tetapi juga lebih ramah iklim, mendukung petani lokal dengan ekosistem yang berkelanjutan. “Saya dari dulu selalu belanja rempah-rempah di pasar Beringharjo. Selain dekat, harganya juga murah,” kata Yayuk, “saya juga sudah punya langganan pemasok dari petaninya langsung.”
“Setiap bahan yang kami pilih memiliki khasiatnya sendiri. Kami berusaha untuk memanfaatkan rempah-rempah lokal yang ada,” kata Ndarsih sambil mengaduk rempah-rempah yang tengah direbus di tungku kayu bakar dengan perlahan tapi pasti.
Namun, laporan dari Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tentang Climate Change and Food Security in Indonesia, perlu diperhatikan bahwa perubahan iklim global telah mengganggu pola tanam yang diwariskan secara turun-temurun. Di tengah tantangan perubahan iklim dan ketergantungan pada impor pangan, jamu menawarkan solusi berbasis lokal yang kaya akan manfaat.
Bersama petani lokal, Yayuk, Ndarsih, dan Poni menerapkan metode pertanian berkelanjutan untuk menjaga ekosistem lokal dan memastikan bahwa rempah-rempah tetap berkualitas tinggi dengan adanya Lumbung Mataraman. Mengacu filosofi “nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur” atau “menanam apa yang bisa dimakan, makan apa yang ditanam”, Lumbung Mataraman diandalkan jadi kearifan lokal Yogyakarta untuk menghadapi berbagai fenomena perubahan iklim ke depan.
“Lumbung Mataraman sebagai simbol kearifan lokal, sejak dahulu menjadi contoh kolektif dalam menjamin ketersediaan pangan. Filosofi ini tetap relevan menghadapi tantangan ketahanan pangan global. Dengan mengoptimalkan potensi lokal dan bijak mengelola sumber daya, kita dapat memenuhi hak pangan secara adil dan berkelanjutan,” kata Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X turut mengajak masyarakat untuk menjadikan Festival Lumbung Mataraman 2024 sebagai momentum kebangkitan ketahanan pangan DIY.
Selain itu, pengembangan pangan lokal dan pengurangan ketergantungan pada bahan impor, seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, juga menjadikan jamu sebagai solusi efektif untuk diversifikasi pangan. Diversifikasi ini bukan hanya penting untuk ketahanan pangan, tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap berbagai risiko, seperti perubahan iklim, gangguan pasokan, dan penyakit tanaman.
Hal ini sejalan dengan apa yang dibahas dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia edisi-2 bertema “Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?” pada Kamis, 10 Oktober 2024. Pembahasannya menyoroti pentingnya diversifikasi pangan, termasuk melalui tanaman lokal yang berkhasiat.
“Diversifikasi atau penganekaragaman terutama pada tanaman lokal yang sesuai dengan iklim dan kebutuhan lokal adalah langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan mendukung keberlanjutan,” jelas Jarot Indarto selaku Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/ Bappenas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2025–2045 yang menjadi narasumber dalam forum tersebut.
Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), diversifikasi tanaman ini dapat dilakukan dengan menanam berbagai jenis rempah dan tanaman obat sehingga petani dapat memperkecil risiko jika satu jenis tanaman terpengaruh oleh perubahan iklim.
FAO juga menyatakan bahwa tanaman rempah seperti jahe dan temulawak memang dikenal adaptif terhadap perubahan iklim. Jahe, misalnya, dapat tumbuh dalam kondisi suhu yang lebih panas dan dengan curah hujan yang bervariasi, yang membuatnya sesuai untuk dibudidayakan di berbagai wilayah.
Kondisi serupa juga berlaku pada temulawak, yang bisa beradaptasi dalam lingkungan tropis dengan kelembaban tinggi dan tanah yang subur. Keunggulan adaptasi ini menjadikannya pilihan yang ideal dalam menghadapi iklim yang semakin ekstrem.
Menurut FAO juga bahwa diversifikasi tanaman juga berperan penting dalam menjaga stabilitas pasokan bahan baku jamu. Dengan mengintegrasikan berbagai jenis tanaman dalam satu ekosistem, risiko kegagalan panen akibat perubahan iklim dapat ditekan. Praktik ini tidak hanya meningkatkan ketahanan terhadap cuaca ekstrem, tetapi juga membantu menjaga kesuburan tanah dan mencegah hama serta penyakit tanaman
Selain perannya dalam ketahanan pangan, jamu juga menjadi sarana pemberdayaan perempuan. Seperti halnya kegiatan di kedai jamu yang tidak hanya menciptakan produk, tetapi juga membangun jaringan sosial yang kuat.
Dalam setiap langkah, Yayuk, Ndarsih, dan Poni membuktikan bahwa kolaborasi dapat menghasilkan solusi yang lebih tepat untuk kebutuhan lokal, memperkuat ikatan sosial di tengah perubahan zaman. “Kami saling mendukung satu sama lain. Ini adalah kekuatan komunitas kami,” kata Yayuk menekankan.
Lebih dari itu, jamu juga memberi peluang bagi perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Lewat industri jamu, perempuan seperti Yayuk, Ndarsih, dan Poni tidak hanya menjaga kesehatan komunitas mereka, tetapi juga berperan aktif sebagai pelaku ekonomi yang menemukan kemandirian finansial melalui racikan tradisional.
“Di Indonesia, peranan perempuan dalam perekonomian semakin hari makin signifikan. Pada sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM), 53,76 persen pelakunya perempuan dan 97 persen pekerjanya pun perempuan. Sementara itu, kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional ialah 61 persen. Pada bidang investasi, kontribusi perempuan 60 persen,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam seminar nasional “Ekonomi dan Keuangan Syariah” pada April 2021 di Jakarta.
“Ekonomi keluarga saya jadi terbantu, Mbak, dengan saya bekerja di kedai jamu Ginggang ini. Bahkan saya juga bisa menyekolahkan anak-anak saya sampai tinggi,” tukas Poni yang telah bekerja sejak gadis hingga kini berusia lebih dari 50 tahun.
Yayuk, pengelola kedai jamu Ginggang pun merasakan kemandirian secara finansial melalui industri jamu. “Dulu saya hanya membantu ibu saya, tapi sekarang, inilah cara saya menghidupi keluarga saya sekaligus menjaga kelestarian pangan lokal agar tetap urup,” ujarnya dengan tenang dan ramah tetapi penuh kebanggaan.
Di tengah tantangan krisis pangan global, Ndarsih menegaskan, “Dengan jamu, kami menyediakan alternatif sehat berawal dari keluarga hingga masyarakat sekitar. Kami ingin semua orang memiliki akses pada minuman berkhasiat yang menyehatkan.” Dalam situasi ini, jamu telah bertransformasi dari sekadar minuman tradisional menjadi simbol harapan dan pilihan bagi masyarakat.
Ini terbukti dalam penelitian tentang tingkat penerimaan jamu oleh masyarakat pada 2016 yang dilakukan Andriati dan R.M. Teguh Wahjudi dalam Jurnal UNAIR. Hasil penelitian dari 160 kuesioner pada masyarakat di Surabaya, Madura dan Magetan secara acak (random) menyatakan bahwa tingkat penerimaan jamu di masyarakat sebagai alternatif ramuan herbal semakin meningkat sebanyak 58 persen. Bahkan mayoritas meminumnya secara reguler dan merekomendasikannya kepada orang lain.
Dalam praktiknya, melalui industri jamu seperti kedai jamu Ginggang ini mampu membuka peluang ekonomi yang signifikan, khususnya bagi perempuan dan komunitas lokal. Kemandirian ekonomi ini tidak hanya menciptakan stabilitas tetapi juga memberdayakan perempuan seperti Yayuk, Ndarsih, dan Poni dalam peran mereka sebagai penggerak ekonomi lokal.
“Ini membuktikan bahwa para perempuan mampu terlibat dalam proses produksi hingga konsumsi, peduli terhadap isu kesehatan, ulet dan konsisten, multiperan, bahkan penentu konsumsi dan gizi keluarga. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Kehadiran Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) peduli,” kata Puji Sumedi Hanggarawati dalam Forum Bumi.
Lebih jauh lagi, dengan adanya produksi jamu, Puji Sumedi Hanggarawati selaku Manager Program Pertanian KEHATI mengatakan bahwa hal ini mampu melestarikan kearifan lokal dan keanekaragaman hayati Indonesia, yang memiliki lebih dari 5.529 sumber daya hayati tanaman pangan.
“Perlu diingat juga ya Mbak, bahwa jamu juga tidak hanya terdiri dari rempah-rempah saja tetapi juga dari bunga, daun, hingga biji-bijian. Dengan mendorong produksi hingga konsumsi jamu, masyarakat mempertahankan tradisi pengobatan lokal dan menjaga keberagaman tanaman yang esensial untuk ketahanan pangan di masa depan,” jelas Yayuk yang kini sudah rapi karena akan bersiap ke kedai untuk berjualan. Saya pun antusias mengikutinya.
Dalam penelitian yang dilakukan Andriati dan R.M. Teguh Wahjudi juga menyebutkan bahwa pemerintah lokal memiliki peran strategis dalam mengelola herbal melalui inovasi kebijakan untuk pelayanan kesehatan di masyarakat lokal. Terdapat juga urgensi untuk melakukan pendampingan, penelitian, pengurangan pajak, metode yang lebih canggih dalam budidaya tanaman herbal, standarisasi herbal, dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan herbal.
“Saya merasa zaman sekarang sudah banyak yang jualan jamu. Apalagi dengan berbagai inovasi produk dan kemasannya,” ungkap Yayuk sambil mengelap botol-botol jamu, “makanya kami harus putar otak bagaimana caranya biar tetap laku di zaman modern seperti sekarang.”
“Apalagi sekarang ada tantangan untuk mengenalkan kepada anak muda apa itu jamu. Selama ini mereka beranggapan bahwa jamu itu minuman kuno dan pahit,” kata Yayuk dengan wajah prihatin. “Mereka juga lebih suka makanan dan minuman manis dengan kemasan lucu-lucu. Dengan kondisi ini, kami biasanya akan melakukan inovasi tampilan kemasan yang ramah lingkungan dan varian lain dengan tetap mempertahankan resep racikan asli karena itulah ciri khas kami. Kami juga jualan di e-commerce biar mereka bisa beli secara daring, Mbak.”
Saya pun penasaran ingin mencoba jamu Ginggang asli dan akhirnya mencicipi jamu galian putri. “Bagaimana, Mbak rasanya?” tanya Yayuk sambil memperhatikan ekspresi saya saat meminum jamu. Saya pun mengatakan bahwa rasanya aneh karena ini adalah kali pertama saya mencoba jamu galian putri, tapi saya suka dengan rasa manisnya dari gula asli. “Galian putri bermanfaat lho, Mbak untuk kesehatan perempuan seperti mengurangi nyeri haid, meningkatkan kesuburan, dan masalah kesehatan reproduksi perempuan lainnya,” lanjut Yayuk. Saya pun jadi semangat untuk menghabiskan segelas jamu tersebut.
“Rempah-rempah ini adalah jati diri kami,” ujar Yayuk sambil menunjukkan rempah-rempah dalam tampah, “kami menjaga tanah dan warisan ini agar tetap hidup, tidak hanya untuk kami, tetapi untuk generasi mendatang.” Dengan memanfaatkan sumber daya lokal, mereka memastikan bahwa ketahanan pangan berbasis rempah tetap terjaga di tengah dunia yang semakin tergantung pada produk impor.
Bagi Yayuk, Ndarsih, dan Poni jamu bukan sekadar bisnis; ia melambangkan ketahanan, kemandirian, dan kekuatan perempuan Indonesia. Dalam setiap gelas jamu yang mereka sajikan, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan, tidak hanya bagi diri mereka tetapi juga untuk generasi mendatang.
Kisah ini terpilih sebagai Juara Ketiga Kompetisi Menulis Forum Bumi-2: Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia? Kolaborasi National Geographic Indonesia dan Yayasan KEHATI.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR