Horo berukuran hampir dua meter, diikat di bagian atas ke helm. Juga bisa diikat di bagian atas baju zirah dan di bagian bawah ke pinggang.
Selain itu, mon—lambang klan—dicat atau disulam di permukaan horo. Lambang klan ini membantu mengidentifikasi sekutu dan musuh di tengah kekacauan pertempuran, berfungsi sebagai semacam panji. Horo juga digunakan untuk memberi tanda menyerah dengan mengikatkan talinya ke cincin di helm dan cincin lainnya di sanggurdi. Jadi, horo merupakan elemen simbolis dan praktis. Istimewa, dalam hal apa pun.
Karena itu, horo diperuntukkan bagi individu dengan status tertentu. Misalnya untuk tsukai-ban (ajudan) atau utusan yang bertugas menyampaikan instruksi kepada pasukan di tengah panasnya pertempuran.
Dalam dokumentasi, dituliskan bahwa ketika pembawa horo dikalahkan, ia biasanya dipenggal dan kepalanya dibungkus dengan jubah sutra. Tindakan ini mencerminkan praktik samurai berpangkat rendah, yang kepalanya dibungkus dengan kain sashimono.
Siapa pencipta horo?
Sering dikatakan bahwa horo diciptakan oleh Hatakeyama Masanaga, seorang daimyo yang bertempur dalam Perang Onin. Perang tersebut dimulai pada tahun 1467 dan berlangsung selama 1 tahun, membuka jalan bagi periode Sengoku, Era Negara-negara Berperang.
Singkatnya, horo berfungsi untuk tampil menonjol di tengah kekacauan medan perang. Selain itu, juga untuk melindungi sisi dan punggung samurai yang mengenakannya. Mungkin horo diperlukan sebagai keunggulan ekstra dalam pusaran pedang dan teriakan. Saat itu, mustahil untuk memprediksi dari mana pukulan fatal akan menyerang.
Horo juga berfungsi untuk melindungi bagian-bagian tubuh yang terekspos selama kemungkinan mundur. Hal ini sesuai dengan gambaran samurai yang bertempur sampai mati.
Sustainability: Arkeolog Berhasil Ungkap Hubungan antara Kesenjangan dan Keberlanjutan
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR