Kekhawatiran akan kekurangan pasokan energi juga menjadi perhatian utama pemerintah Tiongkok, karena dapat memicu ketidakpuasan publik. Selain itu, Tiongkok masih kesulitan untuk sepenuhnya mengintegrasikan produksi listrik dari energi terbarukan yang terus meningkat ke dalam jaringan listriknya.
Tiongkok belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk meninggalkan batu bara sepenuhnya. "Memang, negara ini berjanji untuk sepenuhnya menghapus bahan bakar tersebut, tetapi sejauh ini janji-janji ini tampak tidak lebih dari retorika untuk menenangkan audiens domestik yang khawatir tentang polusi udara," unkap Dais.
Kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang dipensiunkan hanya mencapai 1,1 GW pada paruh pertama tahun 2024, menurut laporan Carbon Brief. Jumlah ini jauh dari cukup untuk mencapai target penghapusan 30 GW kapasitas tenaga batu bara selama periode "rencana lima tahun" ke-14. Tiongkok perlu menghilangkan 17,7 GW kapasitas tenaga batu bara dalam 15 bulan mendatang untuk memenuhi target tersebut.
Undang-undang energi baru yang digembar-gemborkan di Tiongkok juga menimbulkan kekhawatiran. Meskipun undang-undang ini menekankan pada peran sumber energi non-fosil, namun juga menyerukan penggunaan batu bara secara berkelanjutan untuk pembangkit listrik.
Hal ini akan mengabadikan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam undang-undang dan memberikan pemerintah provinsi lebih banyak wewenang untuk menyetujui proyek tenaga batu bara baru.
Meskipun perizinan untuk proyek tenaga batu bara baru melambat pada paruh pertama tahun 2024, belum ada jaminan bahwa tren ini akan berlanjut. Pemerintah Tiongkok bahkan menetapkan target untuk memesan sekitar 80 GW proyek tenaga batu bara pada tahun 2024, menurut China5e.com. Jika target ini tercapai, data paruh kedua tahun 2024 kemungkinan akan mengecewakan.
"Hal ini juga menjawab pertanyaan: Apakah Tiongkok menghentikan kecanduan batu baranya pada tahun 2024? Sayangnya, jawabannya adalah tidak. Tahun ini bisa jadi lebih dari itu," pungkas Dais.
KOMENTAR