Agar panel surya dapat menangkap sinar matahari secara maksimal, diperlukan pengaturan sudut kemiringan dan orientasi yang dapat dilakukan secara manual pada waktu pemasangan, atau secara otomatis setelah pemasangan dengan menggunakan alat pelacak energi surya (sun tracker), yaitu perangkat yang memungkinkan panel surya berubah arah mengikuti jalur matahari untuk menangkap lebih banyak energi. Tapi penggunaan perangkat tersebut tentunya akan memakan biaya lebih tinggi.
James yang saat ini duduk di kelas 3 SMA ini mengatakan bahwa dari penelitian ke beberapa penyedia perangkat panel surya, diketahui bahwa pemasangan panel surya pada rumah huni di Indonesia selama ini hampir selalu dilakukan dengan sudut kemiringan 22.5 atau 35 derajat, yang dipilih dengan pertimbangan faktor kemiringan atap rumah genteng tanah liat di Indonesia.
Padahal, menurut James, hasil rata-rata keluaran daya yang diperoleh dengan sudut 10 derajat cukup optimal, menimbang posisi matahari juga berubah seiring waktu dari pagi ke sore hari, dan seiring musim..Hanay saja diperlukan teknis pemasangan yang bisa mengakomodasikan sudut kemiringan tersebut, misalnya berupa instalasi kerangka besi tambahan. Hal ini juga masih membutuhkan sosialisasi kepada penyedia maupun warga yang berniat memasang panel surya.
Beberapa penelitian mengenai sudut kemiringan dan faktor lain yang memengaruhi keluaran daya telah dilakukan sebelumnya. Antara lain oleh tim mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari Jombang dengan hasil sudut optimal 20 derajat, tim mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Manado dengan hasil sudut optimal 8 derajat, atau tim Politeknik Negeri Padang dengan hasil sudut optimal 15 derajat untuk menghasilkan data keluaran maksimal.
Menurut Ir. Djoko Untoro Suwarno, S.Si., M.T., dosen Fakultas Teknik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang membimbing James dalam penelitian, perbedaan hasil sudut kemiringan optimal dalam penelitian panel surya di berbagai daerah di Indonesia dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti intensitas sinar matahari, suhu udara yang berbeda-beda di setiap lokasi pada saat penelitian dilakukan, metodologi penelitian, dan kinerja perangkat panel surya yang digunakan.
Tantangan panel surya di Indonesia
Permasalahan utama dari penggunaan energi surya adalah ketidakstabilan daya yang dihasilkan karena sangat bergantung pada intensitas matahari, sehingga banyak faktor-faktor yang harus di pertimbangkan, tidak hanya sudut kemiringan, orientasi pemasangan yang tepat, tapi juga lokasi pemasangan nya apakah terhalang banyak pepohonan atau gedung lain sehingga menghalangi sinar yang diterima oleh panel. Keadaan cuaca apakah mendung berawan atau cerah, suhu udara di lokasi dan kualitas penyerapan daya atau effisiensi dari panel nya sendiri pun juga sangat mempengaruhi daya keluaran.
Sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia mendapatkan radiasi matahari langsung yang berintensitas tinggi, dengan perkiraan kapasitas potensial energi surya sekitar 112.000 Gigawatts-peak (GWp) per hari, sehingga memiliki potensi besar untuk memanfaatkan energi matahari dengan menggunakan teknologi panel surya.
Pada masa sekarang ini, dengan adanya pemanasan global, dunia dihadapkan oleh banyaknya tantangan, salah satunya adalah perlunya pemanfaatan sumber energi terbarukan, yaitu sumber energi yang cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Energi terbarukan dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alami tidak akan habis bahkan berkelanjutan jika dikelola dengan baik, kerap disebut juga sebagai energi bersih.
Matahari sebagai sumber energi terbarukan sangat berpotensi untuk menggantikan bahan bakar fosil. Hal ini dikarenakan bahan bakar fosil tidak dapat digunakan selamanya karena sumbernya yang terbatas dan dapat habis suatu waktu, selain itu bahan bakar fosil menyebabkan pencemaran lingkungan.
Baca Juga: Inovasi Panel Surya Guna Memecahkan Masalah Energi dan Pangan
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR