Nationalgeographic.co.id—Sebuah terobosan proses baru menjanjikan peningkatan signifikan dalam kemampuan batuan hancur untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dari udara.
Metode ini berpotensi merevolusi teknik penghilangan karbon yang sudah banyak diterapkan saat ini, yaitu enhanced rock weathering (ERW) atau pelapukan batuan yang ditingkatkan.
ERW memanfaatkan mineral silikat alami, seperti basal, yang secara alami bereaksi dengan air dan CO2 untuk membentuk material karbonat padat. Proses alami ini dikenal sebagai pelapukan batuan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa dengan menyebarkan batuan silikat yang telah dihancurkan di lahan pertanian, kita dapat meningkatkan jumlah karbon yang diserap oleh tanah, sekaligus memberikan manfaat tambahan berupa peningkatan hasil panen bagi petani.
Meskipun ERW tampak menjanjikan, seorang peneliti dari Universitas Stanford, California, bernama Matthew Kanan, menyampaikan pandangan yang lebih hati-hati. Ia berpendapat bahwa manfaat karbon dari ERW selama ini mungkin terlalu dibesar-besarkan.
Menurutnya, silikat alami tidak mengalami pelapukan dengan cukup cepat untuk dapat menyerap jumlah karbon yang signifikan dari atmosfer. "Data sangat jelas: mereka tidak lapuk pada tingkat yang berguna," tegasnya.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, Kanan dan rekannya, Yuxuan Chen, yang juga berasal dari Universitas Stanford, mengembangkan sebuah metode inovatif untuk mengubah silikat menjadi mineral yang jauh lebih reaktif.
Hasil penelitian mereka yang diberi judul "Thermal Ca2+/Mg2+ exchange reactions to synthesize CO2 removal materials" tersebut sudah diterbitkan di jurnal Nature, pada 19 Februari lalu.
Mereka percaya bahwa peningkatan reaktivitas ini akan mempercepat laju pelapukan, menjadikan ERW sebagai solusi iklim yang lebih efektif dan layak. Proses yang mereka kembangkan terinspirasi dari produksi semen dan memungkinkan pembuatan magnesium oksida dan kalsium silikat.
Kanan menjelaskan proses inti dari inovasi mereka: "Anda dapat mengambil sumber kalsium dan silikat magnesium, memanaskannya, dan akhirnya menghasilkan kalsium silikat dan magnesium oksida."
Ia menambahkan, seperti dilansir laman New Scientist, "Reaksi inti adalah apa yang kita sebut pertukaran ion, yaitu saat kita menukar magnesium dengan kalsium."
Baca Juga: Pertama di Dunia, Kapal Minyak Buatan Tiongkok Ini Mampu Hisap Karbon
Keunggulan dari proses ini, menurut Kanan, adalah dihasilkannya material yang sangat reaktif. "Alasan itu kuat adalah karena sekarang kalsium silikat reaktif dan begitu pula magnesium oksida," jelasnya.
"Saya memasukkan satu hal reaktif dan saya mendapatkan dua hal keluar." Hasilnya, material yang dihasilkan ini mampu melapuk ribuan kali lebih cepat dibandingkan dengan silikat standar.
Proses produksi material reaktif ini menggunakan kiln yang perlu dipanaskan hingga suhu 1400°C untuk menjalankan reaksi. Saat ini, energi untuk pemanasan tersebut kemungkinan besar berasal dari gas alam.
Hal ini menimbulkan tantangan karena proses tersebut berpotensi menghasilkan emisi karbon yang signifikan.
Namun, Kanan memberikan solusi bahwa emisi karbon yang dihasilkan dapat ditangkap langsung dari sumbernya atau diimbangi dengan menyisihkan sebagian dari mineral reaktif yang dihasilkan untuk menangkap emisi karbon di tempat lain.
Setelah memperhitungkan seluruh emisi yang terlibat dalam produksi material, hasil perhitungan menunjukkan bahwa setiap 1 ton material reaktif yang dihasilkan mampu menghilangkan sekitar 1 ton karbon dioksida dari atmosfer.
Saat ini, para peneliti mampu memproduksi 15 kilogram batuan reaktif per hari. Langkah selanjutnya, mereka berharap untuk mengembangkan ide ini menjadi sebuah usaha komersial dengan menjual material reaktif tersebut kepada petani untuk digunakan di lahan pertanian mereka.
Bantahan akan efektitivitas ERW
Rachael James, seorang ahli dari Universitas Southampton di Inggris, menanggapi klaim dari pihak Kanan yang menyatakan bahwa ERW konvensional tidak efektif.
James dengan tegas membantah klaim tersebut dengan menunjuk pada berbagai studi kasus terdokumentasi yang menunjukkan keberhasilan uji coba pelapukan yang ditingkatkan.
Meskipun demikian, James menyambut baik segala inisiatif yang bertujuan untuk mempercepat proses pelapukan silikat. Ia menekankan urgensi tindakan dalam menghadapi krisis iklim saat ini.
Baca Juga: Sustainability: Bukan Anggaran, Singapura Lebih Pilih Pangkas Emisi Karbonnya
James menyatakan, “Apa pun yang dapat kita lakukan untuk mempercepat laju pelapukan akan sangat bermanfaat, karena krisis iklim membutuhkan tindakan sekarang. Pelapukan adalah proses yang lambat secara inheren dan, terus terang, saya lebih suka melihat penghilangan karbon dioksida yang berarti dalam skala waktu 10 tahun daripada 50 tahun.”
Namun, James juga menyampaikan peringatan terkait potensi tantangan yang mungkin timbul. Ia menyoroti kemungkinan adanya masalah dalam peningkatan produksi dan distribusi mineral yang diperlukan untuk proses ERW.
Lebih lanjut, James mempertanyakan apakah penggunaan mineral dalam sistem pertanian dapat menjamin bahwa seluruh karbon yang berhasil ditangkap akan terkunci secara permanen.
Senada dengan James, Phil Renforth dari Universitas Heriot-Watt di Edinburgh, Inggris, turut memberikan pandangannya mengenai proposal ini. Renforth menilai bahwa proposal tersebut merupakan ide yang cerdas dan menjanjikan.
Akan tetapi, ia menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami secara komprehensif bagaimana proposal ini harus diimplementasikan secara efektif.
“Mereka pada dasarnya menghasilkan mineral semen, yang mungkin bukan mineral kandidat ideal untuk penambahan ke tanah pertanian,” ungkap Renforth.
Four Pests Campaign: Kala Pemberantasan Hama Justru Picu Kematian Puluhan Juta Warga TIongkok
KOMENTAR