Kemudian yang kedua adalah puasa berkepanjangan, yakni puasa yang berlangsung lebih dari dua hari hingga beberapa minggu.
Karena berisiko bagi sebagian orang, puasa berkepanjangan sebaiknya dilakukan dengan pengawasan tenaga medis untuk memastikan keamanannya.
Namun demikian, tidak peduli jenis puasanya, tubuh akan merespons kekurangan asupan energi dengan berbagai mekanisme adaptasi.
Meski puasa dikaitkan dengan beberapa manfaat kesehatan, seperti peningkatan sensitivitas insulin dan perbaikan metabolisme, ada juga potensi risiko, terutama jika tidak dilakukan dengan tepat.
Selain itu, pola makan tetap menjadi faktor penting. Apapun jadwal puasa yang diterapkan, memilih makanan bergizi saat berbuka dan sahur adalah kunci untuk mendapatkan manfaat optimal dari puasa.
Apa yang terjadi pada tubuh saat puasa?
Tubuh manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi, termasuk saat tidak mendapat asupan makanan dalam waktu tertentu. Ketika berpuasa, terjadi berbagai perubahan dalam sistem metabolisme dan seluler. Berikut adalah beberapa respons tubuh saat berpuasa:
1. Perubahan Sumber Energi
Biasanya, tubuh mendapatkan energi dari makanan, terutama dengan mengolah karbohidrat menjadi gula sederhana (glukosa). Glukosa yang tidak langsung digunakan akan disimpan di hati sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak dalam sel lemak.
Selama beberapa jam pertama berpuasa, tubuh menggunakan cadangan glikogen sebagai sumber energi utama. Namun, ketika glikogen mulai habis, tubuh beralih ke sumber bahan bakar lain melalui proses yang disebut metabolic switch.
Saat glukosa tidak lagi tersedia, tubuh mulai memecah lemak menjadi keton, yang kemudian digunakan sebagai energi oleh sel-sel tubuh. Ketika kadar keton dalam darah meningkat, tubuh memasuki kondisi yang disebut ketosis.
Baca Juga: Ekspedisi Laut Jawa: Dina Salat dan Puasa di Kedalaman 7.000 Meter
Source | : | Zoe Health Study |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR